🥰Sebelas

115 16 0
                                    

Langkah Ajeng tiba-tiba terhenti. Dia seketika memegang perut bagian bawah sembari meringis menahan nyeri. 

"Kenapa, Neng?" Suara Homsiyah yang terdengar khawatir, membuat Ajeng menoleh. Masih meringis.

"Nggak apa-apa. Santai saja! Ini biasa terjadi pada wanita hamil, kok." Ajeng mengulas senyum tipis. Dia pun mengangkat kedua alis, lantas berusaha berdiri tegak.

Homsiyah hanya mengangguk-angguk, seolah-olah mengerti. Semoga saja gadis itu percaya dan menganggap hal semacam itu wajar. Yang jelas, selama acara berlangsung, tak boleh sama sekali tampak mencolok, atau kejadian serupa yang terjadi baru saja, akan kembali terulang.

Satu helaan napas, dan Ajeng kembali melangkah. "Ayo!" Nyeri dan tegang masih terasa. Tapi ... masih bisa ditahan. 

Berusaha mengejar Mbuk Bariroh, Ajeng mempercepat langkah. Kakak ipar baik hati itu terus saja mengajak Bik Asma mengobrol. Entah apa yang diobrolkan. Sesekali, wajah ramahnya menyunggingkan senyum, menoleh ke arah Ajeng yang berjalan sedikit di belakang iparnya itu. Lalu, berisyarat dengan alis yang terangkat. Penuh syukur, Ajeng hanya membalas dengan senyum tipis.

Para tamu berjalan ke arah yang sama, bangunan luas serupa pendopo. Berada di antara bangunan bertingkat yang mengelilingi. Sepertinya, bangunan-bangunan itu adalah kamar para santri perempuan. Tampak beberapa santri menyambut dengan menyalami para undangan. 

Ummi menghentikan langkah lantas berbalik. "Bing, berikan oleh-olehnya sama penerima tamu! Lalu, kalian ikut ke tempat para kebulen berkumpul!" Ummi berisyarat kepada Homsiyah dan temannya yang dijawab dengan anggukan.

Homsiyah pamit pada Nengnya dengan nada suara teramat lirih yang dijawab dengan anggukan. Tak ada Homsiyah, harapan satu-satunya adalah Mbuk Bariroh.

Para undangan duduk melingkar dalam dua shaff. Ajeng duduk di sebelah kiri Mbuk Bariroh. Sementara Ummi dan Mbuk Zainab berada di sebelah kanannya, pada karpet empuk yang terhampar. Mereka berada pada shaf pertama.

Acara berlangsung cukup khidmat. Diawali dengan pembacaan Yasin dan dilanjutkan dengan pembacaan selawat. Kata Mbuk Bariroh, ini adalah Selawat Barzanji.

Penuh usaha, Ajeng mencoba mengikuti bacaan Yasin dan Barzanji, meskipun memang mengalami banyak kesulitan. Tapi, beberapa kali Mbuk Bariroh membisikkan kalimat-kalimat yang menenangkan. "Bergumam saja, Dik! Seolah-olah membaca. Nanti, minta belikan Barzanji ke Ali. Minta ajari juga, ya?"

Allah sangat baik. Di tengah ketidaknyamanan dengan perut yang masih sedikit nyeri, pun sikap Ummi dan Mbuk Zainab, ada Mbuk Bariroh yang menenangkan.

Acara usai sekitar jam setengah sebelas siang. Riuh, para undangan beranjak dan melangkah ke luar  aula. Ajeng tetap duduk emok pada tempatnya, menunggu Ummi yang tak menunjukkan tanda-tanda hendak beranjak. Mungkin saja, beliau masih menunggu keadaan lebih tenang.

Beberapa perempuan menghampiri Ummi untuk beramah-tamah. Kebanyakan setengah baya dengan perempuan muda yang membersamai. Dan melihat ini, Ajeng menggeser posisi, sedikit menjauh dan mundur. Semoga orang-orang itu tak menyadari dan bertanya seperti Bik Asma tadi.

Mbuk Bariroh menoleh dan tersenyum seolah mengerti. Dia ikut menggeser posisi dan mengajak adik iparnga, mengobrol ringan.

"Yang hadir ini, saudara-saudara kita semua, Dik." Mbuk Bariroh menepuk pelan lutut Ajeng.

"Semua?" Ajeng membulatkan mata beberapa saat, lantas mengedar pandangan, memerhatikan para undangan yang masih riuh.

"Iya. Kami biasanya menikah dengan kerabat sendiri. Mbuk Zainab itu sebenarnya adalah sepupu jauh Ummi. Dulu, aku memanggilnya Bik Zainab. Tapi, karena menikah dengan Kak Ammar, jadinya aku sekarang memanggilnya dengan sebutan Mbuk.  Sangat jarang ada yang menikah dengan orang luar. Ada pun biasanya istri kedua dan seterusnya." Mbuk Zainab terkekeh sembari menutup bibir.

"Hah? Kedua dan seterusnya?" Ajeng kembali membulatkan mata. 

"Jangan kaget begitu! Di sini banyak yang melakukannya. Tapi, semoga kita bukan termasuk istri-istri yang harus hidup dipoligami. Amin ...." Mbuk Bariroh mengusapkan telapak tangan ke wajah. Pun dengan Ajeng.

Lagi, rasa nyeri kembali hadir. Kini intensitasnya semakin sering. Pun, sepertinya ada yang keluar dari alat vital. Tapi, mungkin hanya perasaan saja. Ini harus bisa ditahan. Sebentar lagi juga akan segera pulang.

Sebuah desisan akhirnya keluar dari bibir. Ajeng kembali meringis untuk beberapa saat. 

"Kamu kenapa?" Mbuk Bariroh mengernyit menatap Ajeng. Pun dengan Ummi dan Mbuk Zainab yang seketika melongok dengan tatapan serupa.

Berusaha tampak baik-baik saja, Ajeng menggeleng pelan. "Hanya ingin ke kamar mandi. Nggak masalah. Sebentar lagi pulang, kan?"

"Kamu ini, kok, nggak bilang. Ayo, kita ke kamar mandi!" Mbuk Bariroh beranjak, lantas mendekati Ummi dan meminta izin.

Ummi mengernyit dan menatap Ajeng sekilas dengan sudut mata, lalu mengangguk. Sementara Mbuk Bariroh membimbing adik iparnya untuk melangkah ke luar aula. 

Samar-samar, terdengar suara perempuan yang bertanya kepada Ummi. "Itu siapa."

Ajeng hanya menunduk, tak menoleh. Untuk kali ini, biar Ummi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan kerabat yang ingin tahu. Apa pun jawabannya, itu semua adalah urusan Ummi. Tak perlu didengar agar tak semakin menjadi beban pikiran.

Ajeng berjalan beriringan bersama Mbuk Bariroh sembari terus menahan nyeri di perut, menuju lorong kecil yang akhirnya berhenti di depan pintu cukup besar yang terbuka. Rupanya, ini pintu samping rumah keluarga pengasuh pesantren ini.

"Ini rumah Man Mukhlas, paman kita. Dia adik Abah. Kita nggak usah kembali ke aula. Nanti, Ummi yang akan menyusul ke sini." Mbuk Bariroh membuka alas kaki dan masuk rumah setelah mengetuk pintu dan berucap salam.

Ada beberapa perempuan yang duduk pada kursi kayu berlapis spons di ruangan yang mirip seperti ruang tamu samping rumah Abah. Pun ternyata, Bik Asma juga berada di ruangan ini. Mereka menjawab salam hampir serentak. Dan tentu saja, mereka menatap Ajeng dengan tatapan yang mengesankan penasaran.

"Mau ke kamar mandi." Mbuk Bariroh berisyarat sembari menarik pergelangan tangan Ajeng dan melangkah sedikit lebih cepat.

Lagi, terdengar bisik-bisik setelahnya. Entah, apa yang mereka bicarakan. Mungkin saja, kali ini Bik Asma yang akan lebih banyak menerangkan.

"Nah, ini kamar mandinya. Aku tunggu di ruangan tadi, ya?" Mbuk Bariroh berisyarat dengan tangan ke arah dua pintu khas kamar mandi yang berjajar. "Ini sama-sama kamar mandi, kok. Masuk saja!"

Ajeng mengangguk dan segera masuk ke pintu sebelah kiri. 

Setelah menggantung tas, Ajeng segera melepas celana dalam. Semoga saja tak ada masalah. Tapi, ketika telah terlepas, tampak bercak pada celana dalam. Ya Allah .... apa lagi ini? 

Dan belum juga selesai dengan keterkejutan, lamat-lamat terdengar dua orang perempuan mengobrol.

"Kok, bisa tiba-tiba Ali menikah? Bukannya dia dijodohkan dengan Dik Iin, putrinya Man Ahkam?"

"Ali, kan, kabur karena tak mau. Mungkin saja itu pacarnya. Dia yang kabur sama Ali."

"Mungkin saja. Perempuan itu cantik sekali. Jauh dibanding Dik Iin."

"Tapi, meskipun cantik, kalau aku, sih, mending Dik Iin. Dia jelas-jelas keturunan baik-baik dan berilmu. Satu bujhu' juga dengan kita, kan?"

"Ya, siapa tahu yang ini juga berilmu dan putri Kiai."

"Ah, putri Kiai mana yang mau lari sama tunangan orang? Mana mungkin boleh sama orang tuanya, kan?"

"Ya ... bener juga, sih."

Gusti ... ternyata begitu sulit untuk diterima di keluarga ini. Mereka yang kebanyakan memang memiliki hubungan kekerabatan, pun merupakan orang-orang terhormat dan berilmu.

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang