🥰Dua Puluh

90 15 0
                                    

Bakda Isya, Ali dan Ajeng duduk di ruang tamu sembari bercakap-cakap santai. Membahas percetakan yang sudah kembali lancar. Para pelanggan lama kini kembali lagi. Terlebih lagi, promosi online yang dilakukan Hilmy, sungguh sangat membantu.

Secangkir teh dan kopi yang masih mengepulkan uap, tersedia di meja. Meskipun sudah hampir empat bulan tinggal di Daarul Mujtahidin, pun keadaan perut yang semakin membesar, Ajeng masih menyiapkan sendiri segala keperluan Ali. Termasuk memasak, meskipun ada Homsiya yang membantu. Hanya perihal kebersihan saja dibantu beberapa kebulen.

Tak hanya membahas perihal percetakan, Ajeng pun membicarakan tentang Naina. Beberapa hari setelah kepulangan Naina kala itu, dia memang sempat menceritakan tentang perempuan itu kepada Ali. Ternyata, apa yang Ajeng perdebatkan waktu itu, bukan hal yang keliru. Meskipun ... mungkin cerita Naina tak sepenuhnya benar. Hanya saja, siang tadi, Naina kembali menghubungi dan menyampaikan sebuah kabar yang ... entah bisa dianggap menggembirakan atau menyedihkan. Naina benar-benar berpisah dengan suaminya. Dan kini, dia tinggal bersama sang ayah, menumpang di rumah kakak lelakinya.

"Akhirnya, Naina bisa mengumpulkan keberanian untuk memperjuangkan nasibnya." Ajeng mengembuskan napas yang terkesan penuh rasa lega.

"Iya. Memang tak mudah untuk bisa membuat keputusan. Apalagi, jika cerita masa lalu perempuan itu benar adanya. Pasti akan menjadi beban tersendiri baginya." Ali mengangkat alis dan memiringkan kepala.

"Awalnya, aku hampir saja menceritakan perihal masa laluku padanya, Mas. Tapi, untung saja aku segera ingat ucapanmu. Jadi, aku mengurungkannya." Ajeng meraih teh pada gelas lantas menyesapnya perlahan.

"Selalu ingat kata-kataku! Jangan pernah menceritakannya kepada siapa pun. Bukan karena malu dan menghindar. Tapi, ini perihal pengampunan Allah." Tatapan Ali sangat tajam dan suaranya bersungguh-sungguh.

"Tentu saja. Insyaallah. Meskipun awalnya ... aku sempat ragu. Apakah ceritaku yang tak terlalu jelas itu, bisa membuatnya memiliki kemantapan hati untuk memutuskan. Tapi ... Alhamdulillah, dia mampu." Lagi. Satu embusan napas keluar dari pernapasan Ajeng.

"Cerita motivasi darimu itu, cuma satu dari banyak hal yang menjadi pertimbangan perempuan itu. Yang pasti, keputusan akhir berasal dari kemantapan hati yang merupakan ma'unah dari Allah." Ali menggeleng pelan sembari tersenyum.

"Ya, bener juga. Dan—"

Tiba-tiba, bunyi ketukan pada pintu menyentakkan keduanya. Ali melongok ke arah pintu. "Sepertinya ada tamu."

"Iya." Cepat-cepat, Ajeng beranjak sembari meraih cangkir teh miliknya. Lalu, berlalu ke dalam rumah.

Segera, Ali membuka pintu. Ternyata, Hilmy sudah berdiri di depan pintu. Dia tersenyum seraya mengulurkan tangan. "Maaf, Ra. Malam-malam ke sini."

Ali menyambut uluran tangan sahabat baiknya itu. "Ayo, masuk-masuk."

Ali mempersilakan Hilmy duduk, lantas berlalu ke dalam rumah. Meminta tolong pada Ajeng untuk membuatkan kopi dan mengeluarkan beberapa kaleng makanan ringan. Kemudian, segera kembali ke ruang tamu.

"Ada apa, nih? Kok tumben malam-malam." Ali duduk pada sofa, berhadapan dengan Hilmy.

"Ehm ... ini, Ra. Tadi siang saya kedatangan tamu. Kiai Mudzakkir dari Surabaya.

"Oh, pamannya sampean juga, kan, beliau itu." 

"Iya, paman jauh. Masih sepupu jauh Abah saya." Hilmy membenahi posisi duduknya, sedikit lebih santai dan bersandar pada sandaran sofa. "Ini ... hubungannya sama percetakan, Ra. Jadi, tadi beliau ke rumah itu, meminta saya untuk pindah ke Surabaya. Membantu di pesantren beliau. Dan—"

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang