🥰Tujuh Belas

95 14 0
                                    

Ajeng membenahi posisi, duduk lebih santai pada kursi penumpang depan. Dia membuka barzanji kecil yang diambil dari atas dashboard mobil-Ali memang selalu meletakkan sebuah barzanji kecil pada dashboard. Lalu, membacanya dengan suara sangat lirih, hampir tak terdengar. Mobil melaju perlahan, pendingin berembus sejuk pada pagi menjelang siang yang sebenarnya sudah mulai terasa panas.

"Kok akhir-akhir ini jadi rajin banget ngaji dan belajar selawatannya? Aku lihat tiap ada waktu luang, kamu selalu membaca dan mengulang apa yang sudah dipelajari." Suara Ali membuat Ajeng menoleh pelan.

"Ucapanmu kala itu, selalu terngiang di telingaku, Mas." Ajeng menutup barzanji dan meletakkannya kembali pada dashboard.

"Yang mana? Aku nggak ingat." Ali memasukkan gigi dan menambah kecepatan ketika mobil sudah menapak jalan raya beraspal hitam.

"Bagaimana Allah akan membuat dunia mengabaikan aib-aib hamba ketika tobatnya diterima. Dan ... kisah pelacur yang melahirkan tujuh orang Nabi." Ajeng menunduk dan mendaratkan telapak tangan pada perut. "Buah hati kita sudah hampir lima belas minggu. Sebentar lagi empat bulanannya. Aku hanya ingin dia menjadi manusia baik dengan nasib baik." Suara terdengar Ajeng lirih dan bergetar.

"Insyaallah, semua pasti terkabul. Kau ibunya, doamu adalah yang paling utama untuk buah hati kita." Ali memutar kemudi ke kanan di pertigaan.

Suasana hening beberapa saat. Hanya terdengar deru mobil dan Ajeng yang sibuk dengan perutnya. Membelainya beberapa kali dan melangitkan doa.

Tiba-tiba, suara Ali kembali memecah kebisuan. "Tapi, Sayang, satu hal yang harus kita ingat mulai saat ini hingga seterusnya. Kau tahu mengapa aku selalu mengatakan bahwa kau tak pernah tinggal di Surabaya? Seolah-olah ingin menyangkal delapan tahun yang telah kau lalui itu."

Perlahan, Ajeng menoleh. Keheranan, dia memiringkan kepala. "Kenapa?"

"Aib yang telah Allah tutupi rapat-rapat, jangan sampai kita buka dengan sengaja. Apalagi ... membukanya dengan rasa bangga. Karena, hal itu bisa menjadi penyebab diurungkannya ampunan yang seharusnya diterima seorang hamba." Lelaki yang baik dan penyayang itu menoleh sesaat lantas kembali fokus mengemudi. Tatapannya mengesankan keseriusan terhadap kalimat-kalimatnya.

Ajeng mengernyit. "Bagaimana mungkin ada orang yang bangga dengan aib dan dosanya, Mas? Sampai saat ini, aku sama sekali tak ingin ada orang yang tahu tentang masa laluku. Bahkan, aku ingin melupakannya. Menghapusnya kalau bisa."

"Bukankah banyak orang-orang yang dengan entengnya menceritakan dosa masa lalu dengan dalih motivasi?" Sebelah ujung bibir Ali terangkat dengan pandangan masih lurus ke jalanan.

"Bagaimana mungkin aib bisa menjadi motivasi?" Ajeng menatap suaminya lekat-lekat dari samping.

"Untuk menghibur dan memberi harapan bagi pendosa lain bahwa ampunan Allah itu nyata, seseorang bisa tanpa sadar menceritakan dosa-dosa masa lalu dengan detail, kan? Padahal, tak harus begitu. Cukup katakan bahwa pernah melakukan dosa yang sangat besar, tanpa harus menjelaskan dengan detail dosa macam apa yang telah diperbuat.

"Karena, setiap orang yang pernah mendengar tentang dosa itu, akan menjadi saksi dan penuntut yang akan memberatkan hisab di hari pembalasan nanti. Antara aku dan kamu, cukup dengan tak perlu membahas itu berulang-ulang. Kau telah berniqab, kau telah menjalani tobat. Masa lalu itu tak ada. Sama sekali tak ada." Ali kembali menoleh dan menatap belahan jiwanya lekat-lekat beberapa saat. Lalu, mengerjap sekali dan kembali fokus mengemudi.

Ajeng menghela napas dalam. Dia membenahi posisinya, kembali mendaratkan tangan di perut seraya menunduk. Perihal dosa dan ampunan, semua memang hanya hak Allah.

"Oh, ya, Mas, Syaikhona Kholil itu siapa, sih? Aku nggak tahu. Aku cuma tahunya tempat itu merupakan destinasi wisata religi." Ajeng kembali menoleh ke arah sang suami.

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiWhere stories live. Discover now