🥰Empat Belas

104 16 0
                                    

Seketika, Ali menoleh ke arah Ajeng yang sudah berlalu dengan langkah cepat. "Ajeng—" Kalimat Ali terputus. Dia mengembuskan napas panjang dan menggeleng pelan beberapa kali. Kenapa Ajeng jadi terburu-buru begitu? 

Ali menjatuhkan pandangan pada pramuniaga yang membantu Ajeng tadi. Perempuan berseragam merah jambu itu sedang sibuk memasukkan sepatu ke kotaknya. Dia beranjak, lalu berdiri menghadap Ali sembari memasukkan kotak itu ke tas transparan. "Kata ibunya, sepatunya jadi yang ini." Pramuniaga itu memberikan tas berisi sepatu kepada Ali, lalu segera undur diri.

Berusaha tenang, Ali mengangguk sopan. Menatap pramuniaga yang sudah berlalu dari hadapan.

"Itu istrinya sampean, Ra?" Lelaki yang tadi menyapa Ali dan sempat kaget, kini menoleh sembari mengernyit.

"Iya. Sudah dulu, ya? Saya mau menyusul istri saya." Ali menepuk pelan lengan lelaki tegap berkumis itu. Bashir, mantan kebulen di pesantren Man Mukhlas itu hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis.

Ali segera berbalik dan melangkah cepat, menyusul perempuan yang yang kali ini bertingkah cukup aneh itu ke bagian pakaian dalam. Tak ada Ajeng. Ali menoleh ke kanan dan kiri. Memindai sekeliling. Masyaallah, sang istri malah duduk berjongkok di antara pakaian tidur yang digantung di rak yang menempel ke tembok. Dia menutup wajah dengan kedua tangan.

Masyaallah, apa yang terjadi sampai Ajeng melakukan ini di tempat umum? Sontak, lelaki yang keheranan sekaligus cemas itu melangkah cepat mendekatinya. Dia berjongkok segera sembari meletakkan belanjaan. "Kamu kenapa? Ayo bangun! Ini tempat umum." Nada suara Ali cukup lantang. Bahkan, terdengar seperti orang sedang marah.

Alih-alih mendongak dan beranjak, Ajeng malah menggeleng dan tetap pada posisinya. Bahkan, semakin dalam membenamkan kepala. Apa karena nada suara yang meninggi? Dia berpikir itu adalah bentakan atau amarah?

Ali meraih pergelangan tangan Ajeng. Oh, tubuhnya bergetar. Bahkan, terasa menegang. "Sayang ... kamu nggak apa-apa? Apa ada masalah?" Kini nada suara Ali melembut. 

Butuh beberapa menit hingga perempuan yang sangt dicemaskannya itu mau perlahan mendongak. Napas yang tadi sedikit memburu sudah sedikit lebih tenang. "Ayo kita cepat pergi dari sini. Aku nggak mau keliling kota sialan ini lagi. Si Mbah emang bener, aku nggak boleh menginjakkan kaki di tanah Madura. Tapi, kini aku malah tinggal di sini. Ini sudah nggak bener." Mata Ajeng menyipit dan suaranya bergetar. Tapi ... dia tak menangis.

"Baiklah, baiklah. Ayo kita pulang. Tapi, kita bayar ini dulu, ya?" Ali mengangkat tas belanja dan menunjukkannya pada sang istri.

"Nggak. Aku mau segera pergi dari tempat mengerikan ini. Antarkan aku ke mobil. Aku nggak mau di sini." Lagi. Napas Ajeng sedikit memburu.

"Oke, oke. Ayo, kita ke parkiran dulu. Kamu tunggu di mobil. Aku yang urus belanjaannya." Ali membimbing istrinya untuk beranjak.

Ajeng berjalan di samping Ali,  sedikit ke belakang. Gesturnya sangat aneh, seolah-olah ingin menyembunyikan diri. Dia mendekatkan diri pada suaminya sampai hampir menempel. Pun, menunduk sangat dalam dengan tangan yang menarik ujung kemeja bagian belakang.

Ali menghentikan langkah. Menoleh dan memperhatikan istrinya. Pasti ada sesuatu yang tak beres. Tapi apa? "Udah, udah. Nggak ada apa-apa, kok." Ali meraih telapak tangan Ajeng dan menggenggamnya, menyembunyikan tautan tangan mereka di belakang tubuh Ali.

Ali menitipkan sepatu dan beberapa belanjaan yang belum di bayar ke kasir. Lantas segera berlalu menuju tempat parkir.

Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, Ajeng masih dengan sikap yang sama. Bahkan, ketika turun dengan eskalator pun, dia tetap dengan posisi itu. Menunduk di belakang tubuh suaminya.

Baru ketika sampai di samping mobil, dia mulai tampak tenang. Ali membukakan pintu, dan Ajeng segera masuk. Tak lupa, Ali menyalakan mesin dan pendingin. Lantas, kembali berpesan bahwa semua akan baik-baik saja dan akan segera kembali.

Setengah berlari, Ali menuju lantai dua untuk menyelesaikan pembayaran. Dan setelah semua selesai, cepat-cepat dia kembali ke tempat parkir sembari membawa tiga kantong plastik ukuran besar.

Tergesa-gesa, Ali membuka pintu penumpang tengah, meletakkan belanjaan di kursi penumpang. Satu embusan napas lega keluar dari pernapasan ketika Ajeng menoleh dan tersenyum tipis. Meskipun ... raut cemas masih tampak jelas.

Usai dengan belanjaan, Ali segera duduk di kursi kemudi. Sedikit memutar tubuh, menghadap pada sang istri. "Ada apa? Kenapa kamu jadi sepanik itu?"

"Lelaki yang ngobrol sama kamu tadi. Dia itu tetanggaku ketika di Surabaya dulu." Ajeng mengembuskan napas dalam. Dia menunduk sembari memilin-milin tali sling bag di pangkuan. Pun menggigit bibir bawah.

Seketika, Ali meraih tangan istrinya dan menariknya sedikit. Lalu, menepuk-nepuk pelan. "Sayang, dia tetanggamu di Surabaya atau siapa pun, aku pastikan semua akan baik-baik saja. Nggak akan ada masalah."

Ajeng seketika mengernyit menatap Ali. "Bisa jadi, dia sangat mengenalku, meskipun aku memang jarang berhubungan dengan tetangga."

Ali mengulas senyum tipis. Lantas, menggeleng pelan, menatap istrinya lekat-lekat. "Yang pertama, kamu sekarang berhijab. Penampilan yang jauh berbeda. Kedua, kamu sudah sangat jarang memakai make up, kan? Atau, apa kamu mau berniqab? Senyaman kamu saja."

"Berniqab, ya? Apakah berniqab karena takut aib itu nggak apa-apa? Aku berniqab bukan murni karena ingin menutup aurat. Tapi, hanya tak mau masa laluku diketahui orang." Ajeng menunduk sembari menggigit bibir bawah. "Apa ini bukan mengakali hukum agama dan menipu Tuhan?"

Ali tersenyum, dan menghela napas dalam. "Aurat itu ditutupi juga karena merupakan aib, Sayang? Aurat itu tak ubahnya aib. Sesuatu yang membuat malu jika ada yang melihatnya. Apa kamu nggak malu ketika auratmu terlihat?"

"Iya. Sekarang aku malu kalau tak berhijab keluar rumah. Padahal dulu nggak." Ajeng menatap lelaki yang selalu melindunginya itu dengan tatapan sendu.

"Nah ... itu. Pun menutup aib juga sebentuk ikhtiar kita, kan? Demi Abah, demi pesantren, demi calon buah hati kita."

"Apakah ... aku akan terus dicap sebagai perempuan kotor, Mas? Sampai kapan? Kenapa aku harus mengalami ini semua? Kenapa aku nggak bisa biasa-biasa saja seperti yang lain? Kenapa, Mas?" Tiba-tiba nada suara Ajeng meninggi

"Sayang ... tenang, dulu. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Apa kamu pernah berpikir akan menjadi istriku dulu? Apa kamu pernah berpikir akan punya keluarga?"

Ajeng menggeleng pelan. "Aku bahkan berpikir akan hidup sendiri sampai mati. Aku hanya berpikir, pasti akan berhenti dan pergi dari tempat Mami Reni, entah bagaimana caranya."

"Ternyata, yang terjadi apa? Kita bertemu dan menikah, kan? Kamu tahu nggak, guruku dulu berkata bahwa, ketika Allah telah menerima taubat seorang hamba, maka seluruh dunia akan melupakan aib-aibnya." 

Ajeng mengernyit dan memiringkan kepala. "Aku nggak mengerti."

"Kita hanya perlu untuk terus bertaubat kepada Allah. Dan salah satu tanda pertobatan kita diterima adalah, ketika aib itu terbongkar, dunia sudah tak menganggapnya sebagai aib. Kamu tahu, kan, ada Da'i dan Kiai yang memiliki masa lalu kelam? Tapi, ketika dia berbuat banyak dan terus berdakwah, umat sudah tak memerdulikan masa lalunya lagi."

"Apakah dosa-dosaku juga akan diampuni, Mas?" Nada suara Ajeng sangat lirih dan bergetar.

"Insyaallah. Pasti. Apa kau tak tahu bahwa dulu ada seorang pelacur yang bertaubat? Dia melahirkan tujuh putra yang semuanya menjadi Nabi. Itu artinya, Allah pasti menerima taubat kita." Senyum tipis kembali terulas di bibir Ali.

"Semoga saja." Ajeng menunduk. Telapak tangannya mendarat pada perut.

"Ya udah. Kita pulang, ya?" Ali melepas genggamannya dan berbalik.

"Terima kasih, ya, Mas. Mungkin, untuk berniqab akan kupikirkan lagi." Ajeng membenahi posisi. Duduk bersandar lebih santai. Dia mengembuskan napas cukup panjang.

Mobil berjalan perlahan, keluar dari area parkir menuju jalan raya.

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiWhere stories live. Discover now