🍁 Surat perjanjian

27.5K 2.2K 16
                                    

Bagian dua puluh satu
.
.
.

Tandai typo!

Tandai typo!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


🍁🍁🍁

Sudah larut malam. Namun, perasaanku masih tidak tenang.

Perkataan pak Rafka waktu di kamar Apik terus berputar-putar di kepalaku, berulang-ulang layaknya kaset bekas yang kualitasnya sudah rusak. Di tambah lagi, omah yang sepertinya masih kecewa walau tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Tapi aku tahu, wajahnya itu masih marah pada kami.

Ya Allah, apa tidak ada cara lain selain menikah? Kalau itu memang satu-satunya cara supaya omah tidak kecewa pada kami. Tolong beri aku alasan untuk menerima pak Rafka. Karena sampai saat ini aku belum menemukan alasannya.

"Arghhh," aku menutupi semua tubuh ini dengan selimut. Menimpa wajah dengan bantal. Ingin sekali berteriak menghempaskan semua pikiran yang kacau.

Tok..tok..tok..

Aku terdiam dan langsung melirik ke arah pintu kamar dan beranjak naik ke arah jam dinding. Aku merasa dejavu dengan suara ketukan pintu malam hari seperti ini.

Entah itu mantan brengsek yang tidak diundang datang ke rumah dan berniat jahat atau Apik dengan pekerjaan rumahnya.

Buru-buru aku turun dari ranjang. Menghampiri pintu yang handle nya sudah bergerak-gerak pelan.

Pemandangan serupa kini menyapa mataku kembali. Apik dengan piyama tidurnya persis seperti malam itu. Namun, bedanya sekarang piyama yang digunakan berwarna maroon.

"Ada apa?" Tanyaku sambil berjongkok mensejajarkan tinggi kami berdua.

"Apik gak bisa tidur. Mau sama kakak," gumamnya setengah sadar. Bahkan matanya sudah menyipit dan hampir menutup.

Apa dia ngelindur? Tiba-tiba ingin tidur denganku begini. Aku menggapai tangannya dan membawa Apik memasuki kamar ini.

Memang kondisinya sudah mengantuk. Apik tanpa disuruh sudah naik ke atas kasur duluan.

Ada-ada saja.

Aku ikut merangkak dan tidur di samping Apik. Sudah beberapa jam tertidur tapi, tidur Apik sangat gelisah. Keringat di mana-mana, kedua alisnya mengkerut, bibirnya juga terbuka dan gemetar.

Bingung apa yang harua dilakukan. Aku merengkuh Apik kedalam pelukan. Mengusap punggungnya yang bergetar. Aku juga singkirkan selimut yang menutupi tubuh kami karena Apik berkeringat.

"Mama," lirihnya.

Mama? Dia kangen mamanya lagi?
Aku langsung mengeratkan pelukan. dan mengusap beberapa keringat yang membasahi kening anak ini.
Dia kangen mamanya, tapi kenapa malah ke sini?

"Mama," gumamnya lagi.

"Iya sayang mama di sini." Tidak ada kalimat lain yang terlintas di benakku. Mungkin itu bisa menenangkan Apik.

Tiga Laki-laki Dalam Hidupku [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang