Chapter 2

857 168 30
                                    

Malam itu, suara sirine memecah hirup-pikuk. Tim penyelamat dikerahkan untuk mencari sang desainer.

Pencarian dimulai sekitar satu jam usai polisi yang menjadi saksi melaporkan aksi lompat Hinata. Sontak, tim Lumiere hingga keluarga yang datang larut dalam jerit tangis. Semua tidak menyangka bahwa perempuan yang berada di usia keemasan itu memiliki niatan bunuh diri—terlepas dari semua kesuksesannya.

Di pagi buta, tim penyelamat dibantu oleh pemadam kebakaran mulai berani turun ke sungai. Menyisir dari hulu hingga hilir. Namun, sampai matahari meninggi tubuh Hinata tak jua ditemukan, seolah eksistensinya hilang, lenyap bersamaan dengan derasnya debit air.

Hyuuga Hikari—ibu Hinata— berkali-kali pingsan di tepi sungai. Wanita paruh baya itu memeluk pakaian anaknya erat-erat. Meneraki nama sang putri hingga suaranya pecah, nyaris kering kerontang akibat terlalu lama menangis.

Hikari belum bisa menerima kenyataan, bahwa putri kebanggaannya menghilang. Di sampingnya, anggota tim Lumiere turut membantu memberi kekuatan. Walau Temari, Kurotsuchi, Tenten, hingga Shisui sendiri masih terpukul atas kejadian ini. Baru semalam mereka minum bersama, jika bunuh diri, rasanya tidak mungkin.

Shisui kentara meremat tangannya keras-keras—menyesali mengapa ia tak jadi mengantar sang ketua semalam.

Mereka bersimpuh bersama di atas rumput di tepi sungai. Berdoa, mengharap semoga mukjizat masih ada. Mereka yakin, selama keberadaan tubuh Hinata belum dikonfirmasi, artinya harapan hidup itu masih ada. Sisanya tinggal berserah diri, sebagai bentuk tafakur agar Hinata dapat kembali dengan selamat.

.

.

[River Flows in You]

.

.

"Kau pikir ... kau memiliki hak untuk itu?"

Hinata bisa merasakan sensasi dingin merambat dari dagunya hingga ke ujung kepala, menegangkan syaraf otak, hingga rasanya rambutnya nyaris berdiri. Kontras dengan rasa takut, dadanya dipenuhi perasaan panas. Nuraninya terpukul karena sikap sekonyong-konyong satan berkedok pria tampan.

Agaknya, pria di hadapannya tengah merendahkannya sebagai seorang manusia. Atau ... pria ini sungguh tidak tahu hukum dan hak asasi manusia?

Hinata menjawab, "Semua manusia di dunia berhak mendapatkan perlindungan dari aparatur negara. Undang-undang juga menjamin kami untuk membela diri melalui kuasa hukum. Sekalipun Anda telah menyelamatkanku, aku bisa saja menuntut Anda atas tuduhan pengancaman." Ucapnya heroik. Padahal, sudut matanya awas, mengamati sekitar dengan perasaan tegang.

Mengapa semua orang bersujud seolah tidak ada hari esok?

Ada tawa renyah yang keluar dari bibir Naruto, seolah perkataan Hinata barusan adalah lawakan paling lucu yang pernah dia dengar. Namun, bagi orang yang mengenalnya, tawa ini dapat dikatakan sebagai mimpi buruk, karena mengandung unsur yang lebih mematikan dari seteguk getah Oleander.

"Kau ... seharusnya paham situasimu, Nona. Kau pikir, tengah berbicara dengan siapa? Siapa kau hingga berani berkata tentang hukum di depanku?"

Kali ini, Hinata tertegun. Terlepas dari rasa takutnya, dia merasa pria ini sedang mempertanyakan hal yang tidak memerlukan jawaban. Bahkan, orang buta dan tuli pun bisa tahu siapa dia.

Seberapa buruk jaringan internet di kediaman ini sampai-sampai berita akan desainer kondang macam dia-tidak tahu?

"Tentu saja, aku adalah aku. Hyuu-maksudku, Hinata." Dia menjawab. Suaranya yang teguh dan jernih, terdengar seperti lullaby di depan dewa kematian dengan simfoni yang tidak pada tempatnya. Unsur nada yang salah kaprah.

River Flows In YouWhere stories live. Discover now