Chapter 5

822 133 38
                                    

"Kulitnya terasa dingin dan bibirnya memucat. Aku tidak tahu jenis racun apa itu, tapi kuharap ketua masih bisa bertahan."

"Apa mulutnya berbusa dan dia kejang-kejang? Jika benar, mungkin itu racun biji saga rambat. Biasanya butuh empat hari untuk sampai di titik fatal. Racun itu menyerang organ dalam secara perlahan, menyebar melalui pembuluh darah, merusak kandung kemih, pendarahan di mata, dan berakhir tidak tertol—"

"Tuan, berpeganglah yang erat! Aku sudah berjanji membawamu tiba sebelum fajar. Hyaaa!"

"...?!" Punggung sang tabib terdorong ke depan begitu Sai menghempas tali kekang kudanya dengan kuat. Secara otomatis, pria paruh baya bernama Ganryu tersebut melingkarkan tangannya di pinggang Sai.

Bulan seolah ditelan sang gegana. Langit pekat dengan warna hitamnya yang teguh tak membiarkan kejora berpendar barang sedetik. Semua bak sirna dibalik kabut. Menyisakan gemeresik dari lebatnya pohon di hutan.

Walau jalan terjal ini masih panjang, prediksi Sai, mereka akan tiba begitu kelir keunguan muncul di sisi timur.

.

Beberapa jam sebelumnya,

Ada satu nama yang kerap dielukan sebagai tabib paling hebat di Edo: pria berambut panjang hitam kebiruan yang dulunya merupakan tabib istana. Dari warta burung yang berembus, pria itu keluar sebab perbedaan prinsip dengan shogun yang baru. Dia juga pernah menjadi buronan para bushi lantaran Ganryu diduga meracuni adik ipar sang shogun.

Usai peradilan yang cukup panjang dan sempat disiksa di balik lengasnya bilik tahanan, Ganryu akhirnya bebas usai pelaku yang sebenarnya terungkap lewat resep racikan obat.

Kini, keberadaannya bak bunga randa tapak yang tertiup angin. Nomaden dan sulit ditemukan. Namun, bukankah tidak ada yang benar-benar sempurna dalam bersembunyi? Manusia memiliki naluri bertahan hidup yang pasti membuatnya sering mendatangi suatu tempat. Entah untuk mengisi perut, sekadar melepas dahaga, atau menggali informasi.

"Siapa kau?" saat itu ketika Sai mengetuk pintu rumahnya, purnama sedang terang-terangnya. Ganryu dapat melihat sosok samurai berkulit putih pucat dengan napas memburu berdiri di ambang pintu.

Berbeda dengan para bushi yang langsung mengacungkan katana ke wajahnya, Sai justru duduk bersimpuh dengan suara bergetar, memohon sang tabib mau menyelamatkan tuannya.

.

"Daimyo dari wilayah utara? Byakuren?"

Tak ada satu orang dewasa pun yang luput dari kabar seorang daimyo beriris mata safir yang dianggap memiliki mata kutukan. Bahkan kabar ini menyebar ke para remaja dan anak-anak sebagai ultimatum agar tak mendekat.

Di pasar-pasar, berita ini meruak secara masif dan buruk. Sisi positif orang-orang akan takut dengan sang daimyo, membuat jabatannya jadi sulit digoyahkan. Di sisi lain, citranya rusak akibat isu yang melekat. Mau apapun itu, memang ada yang berani mempertaruhkan takdir untuk mata yang mampu menularkan kesialan?

"Kau ingin aku mengobati tuanmu di tengah kabar buruk ini? Aku menolaknya. Lagipula masih banyak tabib di luar. Kenapa harus aku?"

Sai tak ingin mundur lagi. Bila dihitung, penolakan Ganryu ialah ketiga dari total tabib yang ia tawari. Sulit menemukan tempat tinggal Ganryu yang berada di tengah hutan. Tidak mungkin ia kembali begitu saja 'kan?

"Tuan, saya mohon. Saya akan memberi apapun permintaan Anda. Berapapun keping koin, emas, atau sebidang tanah di luar. Saya mohon ...."

Ganryu mengerutkan kening. Bukan perkara seberapa banyak yang sanggup pria di hadapannya ini berikan, melainkan, ia tak sudi jika harus mengulangi kejadian buruk seperti di istana. Kutukan mata safir itu, siapa yang dapat menebak malanya?

River Flows In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang