Chapter 4

1.1K 165 38
                                    

Ada berita burung yang tabu untuk diasah kebenarannya, tentang sebuah mata berwarna safir yang dianggap sebagai kutukan. Orang-orang percaya, jika kau menatapnya berlama-lama, niscaya sebuah hal buruk akan terjadi, entah kesialan atau paling fatal adalah kematian.

Berada dekat dengannya dianggap mencicipi neraka itu sendiri. Darah akan menggenang tiap kau mencoba bertapak di belakangnya. Dengan rasa takut yang mengancam, tidak tahu kapan dirimu bakal menjadi bagian atau salah satunya.

Semakin tidak konvensional, semakin sensasional kabar mencapai telinga manusia. Berita buruk agaknya jauh lebih cepat menyebar melebihi kecepatan rambatan api yang diterbangkan bersamaan dengan butiran duli.

Dari pasar, sudut-sudut gang, hingga rumah ke rumah, berita dari mulut ke telinga semakin tak terkendali. Para pembeli, pedagang yang keluar masuk pasar, hingga anak jalanan, tidak ada yang tidak membicarakan betapa beraninya seorang gadis belia menatap si mata kutukan.

.

.

.

"Kau ... dari mana saja?"

Tidak ada peribahasa terbaik untuk menggambarkan keadaan Hinata selain—sudah jatuh, masih tertimpa tangga.

Di gerbang utama, netra abunya bisa menangkap sosok tak asing yang berdiri sambil bersedekap di samping patung komainu. Mengenakan hakama berwarna cokelat dan jubah hitam yang hanya tersampir di pundak.

Uzumaki Naruto menatap dengan pandangan sanksi. Di hadapannya, gadis yang setahunya harus menyelesaikan rancangan malah tidak ada di tempat. Dia lupa kalau sedikit saja lengah, gadis itu mungkin saja berkhianat; pergi atau lari tanpa menjelaskan diri.

"Apakah kebetulan ada hujan badai di cuaca terik seperti ini?"

Hinata terenyak. Dia bisa menangkap sindiran yang diperhalus seringan butir-butir udara. Di saat seperti ini, dia merasa seperti herbivora di depan sang karnivora, yang tak mampu mengungkapkan poin vitalnya. Berbohong tetaplah menjadi opsi dominan, karena hidupnya masih bergantung pada keinginan pemuda ini.

"Aku ... terpeleset dan tidak sengaja jatuh ke sungai."

Naruto mengangkat salah satu alis. Mengingat beberapa kilas yang secara otomatis terlempar begitu saja di bibirnya. "Oh, kali pertama kau dibawa, kau juga jatuh ke sungai. Apakah jatuh ke sungai sudah menjadi hobimu sejak lama?"

Hinata hanya menghela napas, mencoba mengabaikan geraman sang karnivora seolah-olah dia tuli. Karena jika dia memperpanjang percakapan ini, dia tidak tahu kapan kalimat Naruto membunuhnya. Kata-kata Naruto adalah bahan bakar untuk kewarasannya seolah-olah melemparkan kayu kering ke dalam anglo yang masih memiliki percikan di dalamnya.

"Maaf, aku tidak bermaksud. Dan jatuh ke sana bukan merupakan hobiku." Hinata buru-buru meralat kalimatnya. "Maksudku—hobi adalah sesuatu yang harus diiringi oleh niat, tapi satu hal yang pasti bahwa ... apa pun dan bagaimana pun keadaanku, tidak ada satu niat pun untuk ingkar."—yang berarti dia tidak bermaksud kabur.

Hinata ber-ojigi, kemudian melewati Naruto seolah mereka tidak pernah berpapasan.

"Bibi Amayo dihukum sekarang. Dan itu salahmu." Ucapan Naruto yang dingin mengubah kebisuan menjadi lebih membekukan.

Mata Hinata memanas seiring berbagai macam pemberontakan yang samar-samar menumpuk di kepalanya. "Kau ... menghukumnya? Hanya karena bibi membiarkanku berbelanja sendiri?"

Ada tawa yang tak mampu terurai dari bibir Hinata. Pemuda ini, bukan hanya karnivora, melainkan sang omnivora yang siap menikam semua yang tertangkap oleh netranya.

River Flows In YouWhere stories live. Discover now