Chapter 6

738 126 42
                                    

Udara dingin menerobos pori-pori, disertai cahaya hangat yang menerpa kelopak matanya melalui celah jendela berongga. Suara dari kesibukan di pagi hari, samar-samar terdengar di telinga, membuatnya mau tak mau membuka mata, hanya untuk menyadari kalau ia telah terbaring sendirian dengan tubuh tertutup oleh selimut.

Ketika kesadarannya kembali utuh, Hinata tak bisa menahan diri untuk terus menyembunyikan wajahnya.

Kejadian semalam masih begitu nyata. Dia bisa mengingat dengan jelas tubuhnya yang bersentuhan dengan pemuda itu. Kulit bertemu kulit. Bagaimana area-area sensitifnya dijamah dalam buaian. Setiap kali dia membuka matanya yang berkilau, selalu ada dua iris mata biru menatap teduh kepadanya. Kemudian, dorongan dan tarikan lembut terus berlanjut, sementara kedua matanya tidak pernah lepas darinya.

Meskipun netra pemuda itu diliputi berbagai macam emosi kompleks, Hinata tetap bisa merasakan kehangatan.

Setiap kali dia berusaha mendorong pemuda itu untuk memberinya sedikit kelonggaran, dia berujung ditangkap dalam perlindungannya. Kedua tangannya yang kokoh memegangi pinggangnya. Membuatnya menggeliat dan meloloskan erangan karena kenikmatan yang menggelegak dalam dirinya.

Awalnya, dia hanya bisa membayangkan melalui buku-buku romansa yang sering dibaca teman kantornya di waktu luang mereka dulu. Tidak sampai dia melalui pengalaman tersebut seorang diri.

Sungguh, kata-kata saja tidak bisa menerjemahkan seluruh emosinya semalam. Dia mengetahui fakta itu dengan baik, kalau pikirannya kesulitan menghubungkan Uzumaki Naruto yang biasa dia kenal sebagai Tuan di tanah Byakuren adalah pemuda yang sama, dengan pria yang penuh nafsu mencumbu dan membisikkan hal-hal manis padanya semalam.

.

.

Selain kantuk, jua lelah, pesta semalam turut menyisakan segudang pekerjaan rumah. Cangkir dan piring yang belum beres dicuci, sampah-sampah sisa makanan menumpuk, botol-botol sake berserakan, lucunya, seorang pelayan laki-laki mendapati celana dalam wanita di area balai pertemuan—entah milik oiran siapa itu.

"Hinata, bawa ini ke dapur ya!"

"Baiik! " Hinata mendorong kereta kayu, mengangkut cangkir dan gelas yang masih tersisa di antara deretan tembikar. Menumpuknya secara hati-hati, dan membawanya ke tempat cuci.

Di sana sejumlah pelayan perempuan tengah menunggu. Ada yang mengelap perabot hasil cucian, ada yang menumpuknya ke dalam peti guna disimpan kembali.

.

"Teko ini di simpan di sini. Nampan-nampan di atas—ah!" Lantaran terlalu tinggi, Hinata kesulitan meletakkan benda tersebut di rak paling atas. Dia baru pertama masuk gudang penyimpanan perkakas. Ia tidak tahu jika almarinya dibuat tinggi-tinggi.

Nampan itu nyaris jatuh andai seseorang tidak membantu menahannya.

"Seharusnya kau meminta bantuan orang lain untuk meletakkan barang-barang ini, Hinata."

"Sai?" Hinata tidak sadar kapan Sai masuk.

"Biar kubantu. Ambil barang-barang yang di sana."

Sai yang memiliki tinggi badan 173 senti saja masih bernjinjit ketika meletakkan barang-barang tersebut.  Apalagi dirinya?

"Terima kasih."

"Apa ada lagi?" pertanyaan Sai terputus manakala tak sengaja memandang bekas merah kebiruan di leher Hinata. 

Dia sempat menunduk, sebelum melanjutkan kalimat yang tidak cukup tepat bila sekadar disebut basa-basi. 

"Aku tidak melihatmu semalam." Suara dingin Sai seolah mampu mengiris punggung Hinata. Membuat perempuan itu menoleh.

River Flows In YouWhere stories live. Discover now