Bab 30: Perseteruan

237 65 19
                                    

"Nah, sudah. Lain kali, jangan nekat lagi. Bunuh diri itu terlarang. Kamu ingin selesai masalah di dunia, tapi malah dapat masalah yang lebih parah di akhirat nanti."

Aika hanya dapat duduk diam di brankar UKS selama luka di pergelangan tangannya oleh perawat jaga. Dia tidak punya energi. Sekat tirai dibuka setelah perban membalut pergelangan tangan Aika dengan rapi, pertanda bahwa penanganan telah selesai. Sosok perawat wanita yang kira-kira berada di pertengahan usia 30 pun melangkah menjauhi Aika untuk membersihkan dan merapikan alat-alat medis yang sebelumnya dipakai. Namun, tak berselang lama, Pak Andra datang ke sekat brankar Aika dan kembali menutup tirai untuk menjaga privasi.

"Bagaimana keadaan kamu?" tanya pria itu, setengah dingin setengah lembut.

Aika menunduk dan menggelengkan kepalanya. Bagaimana pula gadis itu dapat menatap gurunya sendiri dalam keadaan seperti ini? Ia sungguh malu atas apa yang telah dilakukannya.

"Aika." Pak Andra sudah tahu namanya karena melihat bet nama di seragam Aika. "Saya tanya tadi."

"Saya gak apa-apa, Pak," cicit Aika akhirnya. "Maaf sudah buat repot...."

"Saya lebih baik dibuat repot sekarang daripada kehilangan siswi karena bunuh diri di sini. Itu akan lebih merepotkan."

Gadis itu menunduk makin dalam. "Maaf." Tidak ada lagi yang bisa terucap karena rasa bersalah dalam diri menyeruak hebat setelah mendengar pernyataan tegas Pak Andra.

"Saya tidak butuh permintaan maaf kamu," ujar Pak Andra. "Saya mau kamu terbuka jika ada masalah, bukan asal ambil tindakan sesat. Saya tahu kalau beberapa waktu lalu kamar kamu yang melapor mengenai kertas teror. Itu menjadi topik yang cukup besar di SMAKSA, terutama di kalangan staf, dan sampai sekarang belum ada titik terang tentang siapa atau mengapa hal itu terjadi. Bukti CCTV anehnya menghilang. Ini kasus yang cukup serius, Aika. Jika tindakan yang kamu lakukan sekarang berhubungan dengan teror itu, siapa tahu kamu tertekan atau stres, maka lebih baik kamu terbuka agar saya dan staf lain dapat membantu. Informasi apapun sangat penting."

Bukannya terbuka seperti yang diinginkan Pak Andra, bahu Aika malah bergetar pelan. Air mata yang Aika kira sudah habis mendadak berkumpul dan memberontak keluar begitu saja, membahasi pipinya. Bagaimana pula Aika bisa berterus terang? Dia yang sudah sekarat malah bunuh diri betulan dalam versi lain. Aika tidak berani. Isakan-isakan lemah terdengar sesekali sementara pandangan Aika buram sepenuhnya karena air mata yang tak henti-hentinya mengalar. "Maaf.... Maaf...," bibir pucat gadis itu bergumam berkali-kali.

"Aika, jangan seperti ini.... Menangis tidak akan menyelesaikan masalah."

Aika masih terlalu histeris dalam tangisnya untuk merespon. Jangankan untuk menjawab, untuk sekadar merangkai kata saja bibirnya tak mampu. Mental gadis itu betul-betul sudah jatuh.

Namun, sepertinya Pak Andra belum paham. "Aika? Kamu dengar saya? Jika kamu takut masalah ini akan tersebar, maka kamu bisa cerita pada saya saja. Saya tidak akan membicarakannya dengan guru-guru lain. Yang penting kamu tidak menanggung beban ini sendiri."

"M-maaf, Pak.... Saya--saya gak sanggup cerita s-sekarang," isaknya lirih. Bahkan suaranya hampir mirip bisikan saja di akhir. "Saya takut...."

"Takut apa? Takut siapa?"

Takut semuanya.

Kembali, Aika tidak menjawab dan hanya menangis. Helaan napas berat pun terdengar dari pria dewasa di dekatnya. "Ya, sudah. Tidak apa-apa." Aika merasakan pundaknya ditepuk-tepuk dengan lembut. "Untuk sekarang, kamu kembali ke kamar dan tenangkan diri dulu. Saya akan memastikan kejadian ini menjadi rahasia. Kamu tidak akan mendapat masalah karena sudah mencoba bunuh diri. Tapi ...," Pak Andra menunduk di hadapan Aika agar dapat melihat wajah gadis yang sedang menunduk itu dengan jelas," ... jika nanti masalahnya semakin lebar, kamu harus mencoba terbuka pada saya, oke? Biarkan saya membantu kamu untuk mencari jalan keluarnya."

S M A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang