「O.O : Manaf dan Ibnu」

2K 194 170
                                    

GELAK tawa riuh menggema di tengah lapang, keluar dari mulut bocah lelaki berumur sepuluh tahun. Rasa senangnya tak bisa dibendung lagi, sebab hari ini, siang ini, ia berhasil mengendarai sepeda roda dua miliknya.

Latihan yang ia lakukan selama berhari-hari membuahkan hasil yang memuaskan. Rasa sakit akan luka yang ia dapat selama berlatih pun ikut sirna digantikan dengan rasa bahagianya.

“Ibnu! Pelan-pelan, nanti jatoh lagi kamu-nya.”

Bocah bernama Ibnu itu acuh, saat dinasehati. Sosok lelaki lain yang berdiri cukup jauh dari posisi Ibnu itu hanya bisa menghela napas. Ia putuskan untuk duduk sejenak karena merasa lelah setelah berlarian mengikuti kemana sepeda Ibnu bergerak.

“A Manaf! Aang udah pinter bawa sepedanya! Yuhu!”

Sorak kegembiraan kembali terdengar dari mulut Ibnu. Manaf—sosok yang memberi nasehat tadi—ikut gembira melihatnya.

Roda bulat dari sepeda Ibnu terus berputar dan berputar. Semakin kencang, dan itu sukses membuat Manaf sedikit cemas.

Terhitung baru satu jam lalu bocah lelaki yang memanggil dirinya sendiri dengan nama Aang lancar bersepeda. Bohong jika harus mengatakan kalau ia sudah mahir, cara memegang kemudi sepeda saja masih oleng ke kanan dan ke kiri. Membuat jantung Manaf berdebar sangat cepat.

Bibir ranum Manaf baru terbuka beberapa inci, hendak kembali menegur Ibnu. Namun, sayangnya, sebelum kalimat itu tersampaikan Ibnu sudah lebih dulu mencium mesra jalanan bertembok lapangan.

“Ibnu!” Buru-buru Manaf berlari menghampiri Ibnu yang sama sekali tak bergerak sedikit pun.

“Ibnu, kamu nggak apa-apa?” tanya Manaf. Raut wajahnya cemas bukan main.

Aduh ....” Ibnu merintih kesakitan. Tangannya ia ulurkan untuk memegang bagian wajah yang terasa ngilu.

“Aa, kan, udah bilang pelan-pelan bawa sepedanya, nggak mau denger, sih!” jengkel Manaf.

Ibnu memang teridam ketika ditegur oleh Manaf, tetapi bibirnya tidak bisa berbohong kalau ia merasa kesal. Sebab bibir itu sudah maju satu senti, belum lagi hati mungilnya ikut mengoceh.

“Ini lututnya sakit?” Ibnu hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.

Untungnya Manaf adalah kakak yang siap siaga dan selalu belajar dari kejadian sebelumnya. Melihat adiknya yang selalu terluka ketika berlatih, membuat Manaf tergerak untuk selalu menyimpan berbagai jenis obat merah yang ia simpan dengan apik di tas selempang kecil hitam miliknya.

“Tahan, ya? Bakal sakit dikit.”

Mendengar itu, Ibnu lantas spontan memejamkan mata. Bibir mungilnya ia gigit kuat-kuat tat kala obat merah itu jauh menetes tepat di atas lukanya.

“Udah, sakit?” tanya Manaf.

“Ng–nggak!”

Kekehan pelan keluar dari bibir Manaf. Lucu, mulut Ibnu mungkin berkata tidak tapi raut wajahnya sama sekali tidak berbohong.

“Di muka mana yang luka? Biar Aa kasih plaster.”

“Ini.” Telunjuk Ibnu menunjuk rahang kirinya yang sedikit berdarah. Setelah membersihkan luka tersebut dengan air bersih, Manaf langsung memasangkan plaster bergambar Doraemon tepat di mana luka itu berada.

“Udah, jangan nangis. Lukanya pasti cepet sembuh, kok.”

Ibnu menatap Manaf, kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri secara berulang. “No, no, no! Aang mana ada nangis? Aang kan, kuat nggak mungkin nangis. Luka gini mah, kecil, nggak sakit.”

Aang Sayang Aa || Mark Lee & Lee Haechan Where stories live. Discover now