「2.7: Ini adalah harinya」

263 45 5
                                    

.
.
.
.
.

SAMAR-SAMAR, kelopak mata itu bergerak, sampai akhirnya terbuka

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SAMAR-SAMAR, kelopak mata itu bergerak, sampai akhirnya terbuka. Meski tidak langsung terbuka sempurna, yang jelas lelaki yang sudah lama tidak bangun ini pada akhirnya siuman. Mata sayu itu bergerak ke kanan dan ke kiri hanya untuk memastikan di mana ia berada sekarang. Hingga pandangannya bersitatap dengan sepasang mata penuh kecemasan, menatap pilu ke arahnya. Butuh waktu untuk Manaf mengembalikan kesadarannya secara utuh. Tidak ada yang diingat kecuali hal terakhir yang ia lakukan.

Semua secara mendadak menjadi gelap gulita, ketika pukulan Bapak mengenai wajahnya. Tubuhnya seketika oleng, Manaf terhuyung ke belakang yang mana ada sebuah meja di sana. Kepalanya terbentur ujung meja dan itu yang membuat Manaf kehilangan kesadarannya. Meski tidak bohong, tubuhnya juga kewalahan menerima siksa yang Bapak beri.

Lalu, ketika sadar. Manaf mendapati dirinya sendiri terbaring di atas lantai yang dingin—posisinya tetap sama dengan semalam. Tentu saja, mana mungkin Bapak mau memindahkannya.

Tubuhnya sakit buka main, tidur di lantai dingin tanpa alas tidur berhasil membuat tubuh Manaf linu. Ia berusaha meregangkan tubuhnya, tetapi itu semakin membuatnya sakit.

Langkah lemah Manaf, membawanya ke meja makan. Tenggorokannya terasa sangat kering dan begitu ia meneguk segelas air putih rasa sakit langsung menjalar di area rahang. Manaf sedikit kesulitan ketika membuka mulutnya.

Sakit sekali.

Manaf hanya bisa mengaduh dalam diam. Seluruh tulangnya terasa remuk tidak bersisa. Napasnya sedikit tersengal, terdengar jelas dari deru napas yang tidak beraturan. Sorot sayu itu menatap jam dinding, yang mana jarumnya hampir menunjukkan pukul 7. Manaf tidak bisa santai lebih lama lagi. Lalu dengan sedikit sisa tenaga, Manaf berjalan ke kamar mandi untuk membasuh diri.

Selang beberapa saat, ia sudah selesai. Rapi dengan seragam sekolahnya. Terlihat segar, tetapi gerak-geriknya tidak bisa bohong kalau ia masih kesakitan.

Pintu rumah ia buka lebar-lebar, terpaan angin pagi langsung berembus ke wajah pucat Manaf. Ia berjalan ke sudut rumah kemudian berjongkok guna menyimpan sepiring makanan kucing.

“Dimakan, Gis,” titah Manaf. Buntalan bulu itu mengeong sebentar, lalu berlari dan menyantap jatah makanannya.

Manaf mengelus kepala Manggis, rasanya sudah lama ia tidak berinteraksi dengan makhluk berkaki empat ini. Pasalnya, kucing satu ini doyan sekali kelayapan dan akan pulang jika ingat makan saja. Dasar kucing.

Cukup lama Manaf berdiam diri di samping Manggis. Sampai kucing itu menghabiskan makanannya, ia baru sadar mungkin saja ia akan benar-benar terlambat kali ini. Manaf langsung bergegas, mengambil tas, kemudian mengenakan sepatu. Di ujung meja makan, Manaf melihat teh dalam teko bening berukuran kecil. Sepertinya itu masih baru, terasa dari suhunya yang masih hangat. Jadi, Manaf yang haus memutuskan untuk minum dulu, sebelum berangkat ke sekolah.

Aang Sayang Aa || Mark Lee & Lee Haechan Where stories live. Discover now