BAGIAN 2: Hari Pertama

8 0 0
                                    

Ini adalah hari pertama bagi Jiya untuk kembali menginjakkan kakinya di sekolah setelah seminggu belakangan ia menikmati masa libur semester satu. Ia berjalan dengan senyum bahagia menuju ruang guru dengan sebuah map hitam berisi rapor di pelukannya, bukan tanpa alasan, setelah melewati beberapa bulan di sekolah yang sebenarnya bukan menjadi tujuan utamanya, ia berhasil menaikkan nilainya meskipun masih berada di posisi peringkat ketiga di kelasnya.

Hal itu sudah cukup baginya saat ini, karena sejak duduk di sekolah dasar, ia belum pernah merasakan mendapat peringkat di kelasnya. Jangankah peringkat kelas, tidak mendapat nilai di bawah KKM yang mengharuskan untuk ikut remedial saja ia sudah sangat bersyukur. Apalagi ketika ia benar-benar bisa meraih peringkat tiga besar, perjuangannya seperti dibayar dengan hasil yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

"Selamat pagi, Pak. Saya mau mengembalikan rapor yang sudah ditanda tangani." Katanya dengan sopan sambil meletakkan map hitamnya di atas meja Danu.

"Terima kasih, Jiya. Hari ini kamu mulai bimbingan ya, temui Bu Ira di perpustakaan karena beliau yang akan menjadi tutor kamu sampai olimpiade nanti."

Gadis itu menggangguk sambil tersenyum. "Baik, Pak, Saya permisi ke kelas dulu untuk ambil alat tulis." Katanya lalu meninggalkan ruang guru.

Masih ada waktu beberapa menit lagi sebelum bel jam pertama berbunyi, ia kembali ke kelasnya untuk mengambil buku dan beberapa alat tulis yang diperlukan. "Mia, aku titip tas ya. Hari ini aku belajar di perpustakaan, nanti kalau ada tugas atau apapun itu, tolong kasih tau. Oke?" Jiya mengedipkan matanya sebelum melenggang keluar dari kelas menuju perpustakaan.

Suasana perpustakaan masih cukup sepi, hanya ada seorang laki-laki sebagai asisten perpustakaan yang usianya belum kepala tiga. Gadis berwajah oriental itu menyipitkan matanya untuk memfokuskan pandangan pada name tag di seragam asisten perpustakaan yang bertuliskan "Heri Dewanto".

"Selamat pagi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Heri memecahkan lamunan Jiya.

"Hah?" Jiya mengedipkan matanya beberapa kali. "Ah, saya hari ini ada bimbingan untuk olimpiade di sini, tapi yang lain belum datang ya, Pak?" Tanyanya sambil mengedarkan pandangan ke penjuru perpustakaan.

"Oh, bimbingan Bu Ira ya? Ibunya masih di luar, duduk dulu aja, Mbak."

Jiya hanya menggangguk dan memeluk bukunya semakin erat karena berada di ruangan sunyi dengan orang asing membuatnya canggung sekaligus takut, ini benar-benar situasi yang membuatnya tidak nyaman. Untungnya tidak lama setelah itu ada seorang siswa yang masuk dengan alat tulis di genggamannya. Jiya menatap siswa yang sedang berbicara dengan Pak Heri, ia merasa pernah bertemu siswa itu sebelumnya, tapi di mana?

Matanya beralih ke buku yang sedang ia pegang karena siswa itu akhirnya menoleh ke tempat Jiya duduk, sedangkan gadis berkacamata itu pura-pura membaca buku agar tidak ketahuan sedang memperhatikan seseorang, hal itu seperti sudah menjadi kebiasaan baginya.

"Hai, kamu bimbingan olimpiade ekonomi juga, kan?" Tanya siswa itu sambil menatap Jiya yang masih pura-pura fokus membaca, padahal pikirannya sudah kemana-mana.

Yang ditanya justru gelagapan. "I-iya ... Kak," jawabnya sambil melihat badge di lengan kanan yang menunjukkan angka romawi XI.

Siswa yang ternyata kakak kelasnya itu hanya mengangguk dan menarik kursi untuk duduk di depan Jiya. Kini ruangan itu berisi tiga orang, namun Jiya justru merasa semakin tidak aman berada di satu ruangan bersama orang asing, apalagi saat ini dia perempuan satu-satunya di ruangan itu. Jantungnya berdegup semakin kencang, Jiya menegakkan bukunya yang terbuka lebar di atas meja untuk menghalangi pandangannya agar tidak langsung menatap kakak kelasnya itu. Oh, bener ternyata. Kami pernah satu sekolah di SMP, sekarang dia jadi kakak kelasku lagi. Mau nyapa tapi aku malu, belum tentu dia kenal aku juga, Jiya membatin.

"Selamat pagi! Maaf ya, saya terlambat. Ayo, Farah, duduk di situ." Kedatangan wanita berusia 40-an dan siswi perempuan membuyarkan lamunan Jiya, ia menurunkan bukunya dan duduk dengan postur yang lebih baik.

Seorang siswi dengan badge XI duduk tepat di sebelahnya, Jiya dan siswi itu saling melemparkan senyum. Suasana yang sudah menegangkan bagi Jiya, kini justru semakin tegang karena baginya ini adalah hal yang baru, pertama kalinya ia belajar dengan cara seperti ini.

"Kok pada tegang semua ya wajahnya? Santai aja, sepertinya akan lebih baik kalau kita kenalan dulu ya. Saya, Ira, yang menjadi tutor dan membimbing kalian selama pelatihan untuk olimpiade dua bulan yang akan datang." Ibu Ira memperkenalkan diri. "Kamu? Ayo perkenalkan diri, sebutkan nama dan kelasnya, setelah itu dilanjut Farah, dan yang terakhir si paling ganteng sendiri." Lanjut Bu Ira sambil mengetuk meja tepat di depan Jiya.

"Saya, Jiya Adwitiya, panggilannya Jiya, dari kelas X IPS 2." Jiya memperkanalkan diri dengan malu-malu.

"Saya, Anindya Farhana, dipanggil Farah, dari kelas XI IPS 1. Salam kenal." Ujar Farah memperkenalkan dirinya dengan anggun.

"Perkenalkan, nama saya Arisandi Febrian, boleh dipanggil Sandi atau San, saya dari kelas XI IPS 2." San menutup sesi perkenalan itu dengan senyum penuh karisma.

Semuanya ikut tersenyum, tak terkecuali Jiya. Meski begitu, ia masih merasa canggung apalagi teman setimnya ini merupakan kakak kelas yang mana berarti dialah yang paling kecil di antara mereka. Meski Jiya sudah pernah beberapa kali bertemu dengan San semasa SMP dulu, namun mereka tidak pernah mengobrol sebagai teman dekat. Begitu pula dengan Farah, Jiya saja baru bertemu Farah hari ini.

Setelah sesi perkenalan, mereka membuka bukunya masing-masing dan mulai mengerjakan soal dari yang sangat mudah, Bu Ira tidak ingin membuat anak bimbingannya stres di hari pertama mereka. Semuanya berjalan lancar, baik Jiya, Farah, dan San, ketiganya mendapat nilai yang memuaskan untuk soal-soal yang mereka kerjakan dan Bu Ira memberikan apresiasi untuk mereka semua.

"Good Job, anak-anak! Soalnya mudah semua, kan? Untuk hari ini kita hanya belajar materi kelas 10 sebagai dasar, besok kita belajar materi kelas 11, dan hari rabu kita belajar materi kelas 12. Mengerti?"

"Mengerti, Bu!" Jawab ketiga siswa itu serempak.

"Sebelum kita akhiri sesi hari ini, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, bimbingan ini akan dimulai dari pagi, jadi kalian mulai besok pagi tidak perlu ke kelas, langsung ke sini, belajar di sini. Saya akan berikan surat dispensasi kepada wali kelas kalian masing-masing. Jadi, selama bimbingan sampai saat olimpiade nanti, kalian dibebaskan dari belajar di dalam kelas, kecuali jika saya berhalangan hadir ke sekolah, kalian bisa ikut belajar di kelas seperti biasanya. Untuk materi di kelas, ulangan harian, atau pun kuis akan diberikan tugas pengganti. Tapi itu tergantung guru kalian masing-masing, bisa saja kalian tetap disuruh ikut ulangan susulan."

Ketiga siswa yang sebelumnya mendengarkan penjelasan Bu Ira dengan seksama, kini saling menatap satu sama lain, mereka dengan kompak menggangguk paham dengan penjelasan Bu Ira.

"Oke, itu aja untuk hari ini. Belajar yang baik dan persiapkan untuk bimbingan besok ya. Saya permisi." Bu Ira meninggalkan perpustakaan setelah kalimat terakhirnya.

Kini tersisa tiga siswa itu yang masih di dalam perpustakaan, bersama Pak Heri tentunya. San dan Farah merapikan buku juga alat tulis mereka, keduanya siap untuk pulang. Sementara Jiya masih berpura-pura sibuk membaca sesuatu di bukunya, padahal pikirannya sudah pergi entah ke mana.

"Aku pulang duluan ya, sampai ketemu besok!" San berdiri dari duduknya dan siap menggendong tasnya keluar. "Aku juga ya, sampai ketemu besok. Ayo Jiya, pulang!" ajaknya sambil tersenyum.

"Ah, iya, Kak. Duluan aja, sampai ketemu besok!" balas Jiya sambil tersenyum.

Setelah kedua kakak kelasnya keluar dari perpustakaan, Jiya menundukkan kepalanya dengan lemas, ia merasa gelisah setelah mendengar penjelasan Bu Ira tadi. Banyak hal yang berputar di kepalanya, selama dua bulan ke depan artinya akan sulit baginya untuk melihat Aska di kelas. Namun, bukan itu masalah utamanya, ia takut nilai yang sudah susah payah didapatkan akan turun jika dirinya tidak ikut kegiatan belajar di kelas.

Terlalu lama berpikir membuat Jiya tidak menyadari bahwa jam sudah menunjukkan pukul dua siang, perpustakaan sebentar lagi pasti akan ditutup. Sudah terlalu siang, teman yang biasa memboncenginya saat pulang sekolah pasti sudah pulang duluan, itu artinya ia harus naik angkutan umum. Ia merapikan barang-barangnya dengan cepat dan segera keluar dari perpustakaan untuk pulang ke rumah. 

I Need SomebodyWhere stories live. Discover now