Bagian 1: Tentang Rasa

13 1 0
                                    

Bagi sebagian orang, masa SMA adalah yang paling menyenangkan. Di mana seusia mereka bisa menghabiskan waktu untuk bermain, belajar, dan melakukan berbagai hal yang mereka suka, termasuk jatuh cinta. Hal itu berlaku juga untuk seorang gadis yang baru menginjakkan kakinya di bangku SMA, Jiyana Adwitiya, orang biasa memanggilnya dengan Jiya agar lebih singkat.

Jiya dengan ketidakpercayaan dirinya, mencoba untuk move on dari orang yang ia sukai sejak SMP. Saat ini, di sekolah baru, ia menemukan sosok baru yang mampu membuat hatinya kembali bergetar. Namun, harus ia sembunyikan rapat-rapat. Ia tidak tahu perasaannya akan bertahan berapa lama, entah hanya beberapa bulan atau bahkan hingga ia lulus, sama seperti tahun sebelumnya ketika ia menyukai teman SMP-nya.

Bukannya fokus pada materi yang dipresentasikan di depan, Jiya malah memusatkan matanya pada sesorang siswa yang berhasil mencuri atensinya sejak Masa Orientasi Siswa (MOS). Siswa laki-laki itu berdiri bersama empat orang lainnya di depan papan sambil menjelaskan materi yang sudah mereka susun untuk presentasi hari ini. Baju seragam putih abu-abu lengkap dengan badge nama Askala Gentari membalut tubuhnya yang altetis, tak lupa ikat pinggang dan dasi yang terikat sangat rapi di lehernya. Bagi yang tidak tahu, mungkin akan mengira siswa itu adalah anggota OSIS atau anak berprestasi. Namun, kenyataannya ia hanyalah seorang siswa biasa.

Presentasi berakhir dan siswa itu memberikan kesempatan bagi teman-temannya yang ingin memberikan pertanyaan atau tanggapan terhadap kelompok urutan kelima tersebut. Semuanya diam, sampai akhirnya guru mereka membuka suara dan meminta perwakilan dari kelompok lima untuk mencatat siapa saja nama-nama yang aktif dalam memberikan pertanyaan atau menanggapi presentasi mereka untuk diberi nilai tambahan.

Selagi teman-temannya saling berebut untuk memberikan pertanyaam, perhatian Jiya masih berpusat pada siswa yang berdiri ujung paling kiri. Saat seperti ini membuat Jiya merasa lebih leluasa untuk menatap siswa itu, tanpa harus mencuri-curi pandang dan menoleh ke bangku barisan belakang karena posisi bangku Jiya dan Askala berjauhan. Bangku Jiya tepat di depan papan tulis sementara bangku Askala berada di pojok belakang, tempat yang pas untuk tidur di sela-sela jam pelajaran.

Masih asik memandangi pujaan hatinya di depan, Jiya dikejutkan dengan senggolan di bahu kirinya yang reflek membuatnya menoleh ke samping. Tepat di sampingnya, ada teman sebangku yang menatapnya dengan penasaran dan bertanya, apa yang membuat gadis itu termenung. Jiya yang sedikit terkejut hanya bisa menggeleng pelan, tersipu malu sambil menunduk dan pura-pura membaca buku yang ada di meja untuk menyembunyikan wajahnya yang terasa sedikit panas karena malu. Kelas pagi itu berjalan dengan lancar, meskipun Jiya akhirnya fokus pada bukunya dan tidak lagi memperhatikan Askala.

Gadis itu menghela napas beberapa kali, waktu berlalu begitu cepat ketika mata pelajaran kesukaannya sedang berlangsung. Sebaliknya, waktu berlalu sangat lambat ketika mata pelajaran yang tidak begitu ia suka sedang berlangsung. Seperti saat ini, ketika pelajaran ekonomi sedang berlangsung, Jiya rasa sudah satu jam berlalu. Namun, jarum jam yang menempel di tangannya bergerak begitu lambat. Satu jam di kelas dengan mata pelajaran yang tidak disuka, rasanya seperti sudah berjam-jam terlewati tapi belum juga berakhir.

Pelajaran Ekonomi adalah salah satu kelemahan Jiya karena masih banyak hitungan di dalamnya. Bukan hanya itu, gurunya sempat memberi tugas bagi kelas Jiya untuk membuat produk dan kemudian menjualnya. Jiya yang belum terlalu mengenal teman sekelasnya sendiri akhirnya kebingungan meskipun kelompok sudah terbentuk, ia tetap mengerjakan tugasnya sendiri karena teman sekelompoknya tidak bisa diandalkan. Sebelumnya, Jiya pernah melakukan hal yang sama, membuat sesuatu dan menjualnya untuk menyalurkan hobi sekaligus untuk menambah uang jajan. Namun, itu tidak berlangsung lama karena ibunya tidak mengizinkan dia melanjutkan hal itu, takut nilai rapornya semakin terjun bebas karena fokusnya terbagi untuk hal lain.

Jiya berusaha melakukan yang terbaik untuk meningkatkan nilainya di semester awal masa SMA-nya ini. Otak yang pas-pasan membuat Jiya harus bekerja keras untuk berlari dan mengejar ketertinggalannya semasa SMP karena pada awalnya bukan sekolah ini yang menjadi tujuannya. Oleh karena itu, ia bertekat untuk meningkatkan prestasinya agar tidak dianggap sebelah mata oleh orang lain. Ia tidak suka belajar kecuali ada ujian, ia juga tidak suka berhitung, yang Jiya suka selain Askala Gantari adalah menghafal. Ingatannya yang cukup kuat membuat Jiya selalu mudah dalam hal menghafal, bahkan hal-hal yang tidak ingin diingat sekali pun tetap ia ingat. Namun, tidak jarang dia juga mudah lupa akan hal-hal kecil atau sesuatu yang baru saja terjadi.

Ini sudah jam istirahat, Jiya memilih tetap berada di dalam kelas sambil membaca novel elektronik dari ponselnya. Selagi matanya fokus pada ratusan kata di ponsel, pikirannya justru berkeliling entah berada di mana. Ia merasa ada sesuatu yang harus dilakukan, tapi ia juga lupa apa yang harus dilakukannya saat jam istirahat ini.

"Jiya, kamu gak ke ruang guru? Dicariin sama Pak Danu. Tadi, kan, disuruh ke kantor."

Jiya yang baru ingat langsung menepuk keningnya dengan lembut, kemudian mengangguk sebelum keluar dari kelas untuk pergi ke ruang guru, "Oh iya, makasi udah ngingetin!"

Gadis itu berjalan cepat sambil menunduk karena berjalan sendirian membuatnya tidak nyaman, Jiya tidak suka menjadi pusat perhatian. Sesampainya di depan ruang guru, Jiya mengetuk pintu perlahan dan membukanya, ia berjalan masuk sambil mencari meja wali kelasnya.

Matanya menangkap seorang pria paruh baya yang sedang sibuk dengan beberapa buku di hadapannya, Jiya menghampiri meja itu dan menyapa guru yang sekaligus adalah wali kelasnya dengan suara pelan agar tidak mengganggu guru yang lain. Pria dengan name tag Danu itu menoleh dan menyisihkan pekerjaannya. Pak Danu meminta Jiya duduk sebelum membahas tentang apa yang membuat Jiya dipanggil ke ruang guru.

Jantung Jiya berdegup kencang sampai ingin copot. Kepalanya sudah penuh oleh berbagai macam pertanyaan, ia takut tidak sengaja membuat masalah dan akhirnya dipanggil ke ruang guru seperti saat ini. Jiya berusaha menyembunyikan pikiran negatifnya dengan tersenyum canggung.

"Jadi, dalam 3 bulan ke depan akan diadakan olimpiade Ekonomi. Saya sedang mencari beberapa siswa dari kelas 10 untuk diajukan sebagai peserta dan saya berniat mendaftarkan nama kamu, apa kamu bersedia?"

Penjelasan singkat dari wali kelasnya membuat Jiya sukses terbengong-bengong, jantungnya yang semula berdetak dengan sangat kencang, kini terasa seperti berhenti tiba-tiba. Antara senang karena ternyata pikiran negatifnya salah, tapi Jiya juga takut mengecewakan banyak orang jika dirinya gagal lagi.

"Mohon maaf sebelumnya, Pak. Tapi kenapa saya, ya?" Jiya bertanya karena masih kebingungan.

"Begini, saya melihat progres kamu sejak awal sampai sekarang, nilai kamu terus meningkat. Bahkan tugas terakhir dari saya tentang penjualan produk itu, kelompok kamu yang mendapat nilai paling tinggi. Jadi tidak ada salahnya mencoba, bukan? Olimpiadenya akan dilaksanakan nanti setelah ujian akhir semester satu, masih ada cukup banyak waktu untuk mempersiapkan diri."

Kepala Jiya masih berusaha memproses ucapan wali kelasnya, selama ini ia merasa masih berada di bawah untuk pelajaran Ekonomi dibandingkan teman-temannya yang lain. Memang benar selama ini Jiya selalu berusaha mengejar targetnya yaitu menaikkan nilai, namun ia tidak pernah menyangka akan ditawari untuk ikut olimpiade.

Mereka terus melanjutkan percakapannya sampai jam istirahat habis, ia bahkan belum sempat menyantap makan siangnya dan saat ini perutnya sudah minta diisi, tapi tidak memungkinkan untuk pergi ke kantin karena jam pelajaran selanjutnya akan segera dimulai, gurunya juga sudah bersiap untuk pergi ke kelas.

"Untuk kelanjutannya akan saya kabari lagi nanti, ya, sekarang kamu boleh kembali ke kelas." Kata Danu yang dijawab anggukan disertai senyuman oleh Jiya.

Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dari ruang guru. Badannya seketika lemas tepat sesaat setelah ia menutup pintu besar itu dari luar, ia masih terkejut dengan tawaran wali kelasnya, selain itu perutnya juga sangat lapar. Meski begitu, ia akhirnya kembali ke ruang kelas, bukan ke kantin, sungguh hari Senin yang sangat mengejutkan.


I Need SomebodyWhere stories live. Discover now