apa manusia sengaja dilahirkan untuk merasa kesepian?

10 2 0
                                    

Pikirmu, kamu berani melakukan hal-hal besar sendirian. Kamu tangguh menahan kesulitan. Kuat menanggung tubuh yang digelayuti beban. Hal-hal besar itu membesarkan pula tekadmu untuk tetap sendirian dalam melakukan hal-hal sederhana.

Misalnya seperti makan martabak manis rasa coklat keju kesukaanmu. Satu loyang penuh ditaburi kacang sebagai tambahan. Kamu menikmatinya di suatu malam yang tenang di deruan ibu kota provinsi yang bising.

"Sendiri saja?" tanya si penjual berwajah ramah padamu yang duduk setelah memesan. Kamu menjawab iya dengan senyum tertahan seolah mengatakan memangnya butuh orang lain untuk makan martabak manis? Tidak, tentu saja bagimu begitu. Penjual martabak itu berumur kisaran kepala lima, matanya teduh, dan tangannya cekatan menaburkan kacang di pesanan lain lalu menilik ke panci yang masih memanggang adonan martabak manis. Kamu suka mengamati proses itu, apalagi ketika penjual lain yang tampak agak lebih muda membuat martabak telur dan melenturkan adonan kulitnya. Lihai benar penjual martabak melakukan hal yang mereka kuasai.

Gerai martabak telur dan martabak manis itu ramai. Banyak sekali yang datang dan pergi setelah mendapat apa yang mereka inginkan. Tentu para penjual tak pernah merasa kesepian karena selalu dihinggapi orang-orang asing, atau beberapa yang mereka kenal setelah menjadi langganan, yang bisa mengajak mereka bicara tentang hal-hal sederhana. Kadang membicarakan bagaimana harga kebutuhan membuat martabak naik, lain kali membicarakan acara di televisi yang disukai, tak jarang mengomentari politisi, dan seringnya menanyakan bagaimana hari berlalu begitu cepat dsn peristiwa apa dalam hidup mereka yang patut diceritakan pada orang asing yang melakukan transaksi martabak. Meski sederhana dan terasa tak penting.

Kamu mendapat pesanan martabak coklat keju dengan kacang setelah dua puluh menit menunggu. Kamu menyepikan diri di sebuah bangku sambil menatap orang-orang yang berlalu lalang. Mereka semua sedang bersama orang lain yang mereka ajak membicarakan tentang makanan apa yang sebaiknya mereka beli untuk dimakan sambil menceritakan kegiatan mereka hari itu.

Kamu memakan martabak coklat kejumu selagi hangat. Martabak manis adalah simbol rasa manis yang harus dibagikan. Tapi, kamu bertekad memakannya sendirian. Coklat dan kejunya meluber di mulutmu, dan kacangnya menyelinap di gigi-gigimu. Nikmat sekali ketika satu sampai tiga potongnya menggoyang lidahmu. Namun, perutmu berontak saat kamu berusaha memasukan sisa martabaknya ke mulutmu. Kamu kekenyangan bahkan sebelum mencoba makanan lain di sepanjang jalan yang malam itu di jejali berbagai pedagang kaki lima.

Satu loyang martabak manis diciptakan untuk dapat dimakan bersama teman-teman sambil bercerita tentang hal-hal yang terjadi sekitar. Satu loyang martabak manis dibuat dengan tujuan agar orang yang memakannya dapat berbagi dengan orang lain. Satu loyang martabak manis menunjukan bahwa manusia tak akan sanggup sendirian. Menghabiskannya saja butuh beberapa orang, tak mungkin memaksa perut untuk menampung kekenyangan dan rasa bahagia ketika coklat dan keju meluber sendirian.

Lalu, kenapa kamu dan beberapa orang sepertimu memilih memakan satu loyang martabak manis coklat keju sendirian?

Satu loyang martabak manis itu selaksa perasaanmu sebagai manusia. Ketika satu potong masuk ke mulutmu, coklat dan kejunya meluber, ada rasa bahagia yang tidak bisa dijelaskan. Rasa manis coklat, asin keju, dan gurihnya kacang yang bercampur menjadi satu menjadi rasa puas, senang, dan nikmat bersamaan. Namun, jika satu loyang penuh dengan perasaan itu memenuhi perutmu, kamu hanya akan merasa tak nyaman, begah, dan sesak.

Kamu harus membaginya, entah jenis perasaan apapun yang muncul di benakmu. Kamu tidak mungkin bisa menyimpannya seorang diri, sebab suatu hari nanti bisa saja menimbulkan ledakan yang menyakitkan. Seperti satu loyang martabak coklat keju, rasa bahagia dan sedih juga harus kamu bagikan pada seseorang, pada teman.

CAUSE, YOU JUST HATE YOURSELFWhere stories live. Discover now