02.

67 15 9
                                    

Mereka berada di sebuah bangunan dengan sebagian besar terbuat dari kayu jati, berkumpul membentuk lingkaran di ruang tamu. Seorang pemuda dengan handuk di leher dan rambut yang basah keluar dari kamar mandi, derit kayu mengalihkan semua atensi─dia Argha.

“Gimana? Mereka belum balik padahal udah hampir sejam,” ujar seorang pemuda dengan logat khasnya─Reza─memecah keheningan.

Semua diam, tidak ada yang membuka suara. Argha melangkah, duduk di sandaran tangan sofa di samping pemuda dengan headphone yang menggantung di lehernya.

Keheningan malam memekakkan telinga, hanya ada suara dentingan jam dinding, dan gemerisik dedaunan di luar, semua tenggelam pada pikiran masing-masing. Sampai suara helaan nafas panjang memecahkan keheningan.

“Lama banget, semenit berasa sejam.” ujar Reza (lagi). Dia bosan dengan semua keheningan ini.

Sekali lagi. Tidak ada yang menanggapi perkataan pemuda itu. Air menetes dari rambut Argha, dan jatuh ke lantai kayu jati.

Suara lantai kayu yang di injak mengalihkan atensi mereka, dari arah luar muncul seorang pemuda bersurai blonde dengan ujung biru, bau rokok tercium jelas dari arahnya. Di tangan kirinya memegang ponsel dengan layar yang hidup, raut wajahnya nampak frustasi.

“Gimana soal nyokap lo?” tanya pemuda di samping Argha─Jino.

Pemuda itu hanya menggeleng pelan, dan menutup pintu di belakangnya, melangkah bergabung dengan mereka semua.

“Nyokap lo kok bisa tiba-tiba berubah kayak gitu kenapa, sih?” tanya Reza dengan rasa penasaran.

“Gak tau. Gue gak inget, padahal nyokap gue hampir selalu ngobrol sama gue. Gak tau pastinya kapan beliau berubah, tapi dia nganggep gue gak ada.” jelas pemuda itu dengan kedua siku yang bertumpu pada kedua pahanya, dan pandangan yang menatap kosong ke lantai kayu.

Seorang pemuda yang berdiri di samping Candra mencibir, kedua lengannya di lipat di dada. Memasang senyum sinis yang menjengkelkan.

“Gimana kalo lo emang bener-bener gak ada?” ujarnya blak-blakan, di bumbui dengan senyum sinis nya.

Plak!

Ucapan dari pemuda itu dihadiahi pukulan di kepala belakang, sahabatnya yang berdiri di sampingnya nampak melotot. Dia geram karena omongan sahabatnya itu selalu melantur sejak berangkat tadi, beruntung tidak di pukul tepat di mulutnya.

“Duh! Sakit, bego!” cibir─Alvan─sambil mengusap kepala belakangnya yang terasa cenat-cenut akibat ulah sang sahabat.

Fasha─sang sahabat balik mencibir, dia memasukkan kembali kedua tangannya ke dalam saku celana jeans yang dia pakai.

“Makanya mulut di jaga, g*bl*k!” Ujarnya. “Terus kalo Ryan gak ada, kenapa kita bisa lihat dia?” tambahnya sambil memelototi sang sahabat.

“Bisa diem gak, sih? Berisik tau gak. Lebih baik kita mikirin gimana caranya biar jenazah anak kecil itu cepet di kuburin.” ucap Argha dengan nada tenang, ada sedikit kejengkelan dan kemarahan di raut wajahnya.

Hening. Tidak ada komentar apapun, hingga suara derit ranjang khas orang yang turun dari ranjang membuat mereka merinding seketika. Karena mereka tahu, bahwa tidak ada satupun yang berada di kamar. Kecuali jenazah gadis kecil yang mereka bawa.

Suasana yang awalnya memang sudah tegang, kini semakin tegang. Semua diam membisu dan mematung, tidak ada yang berani mengatakan apapun.

Keringat dingin jatuh ke dagu, mereka semua terdiam, membeku. Suara derit ranjang itu digantikan oleh derit lantai kayu, dan berasal dari lantai satu. Jika diingat-ingat, jenazah gadis kecil itu mereka letakkan di kamar di lantai dua. Lalu siapa itu?

Suara itu semakin dekat, tidak ada yang berani menoleh atau sekedar melirik dari sudut mata.

“Lho, ya Allah.”

Suara seorang pria tua membuat mereka menegang, bak melihat hantu di film horor. Tapi tak lama, suara pria tua itu terkekeh sambil mengucapkan permintaan maaf terus menerus membuat suasana sedikit mereda, Reza memberanikan diri untuk menoleh.

“YA ALLAH GUSTI! ALLAHUAKBAR!”

Pemuda kelahiran Bandung itu terjatuh ke lantai hingga menciptakan suara keras, yang lain langsung mengalihkan atensi masing-masing.

“Ya Allah, Pak. Bapak ini nakut-nakutin kita,” ujar Argha menghela nafas lalu membantu Reza bangkit.

Pria tua itu tertawa kecil merasa tidak enak, semua orang menghela nafas lega. Tentu saja mereka semua terkejut, karena tidak ada yang tahu bahwa ada orang lain. Terlebih penampilan pria tua itu cukup menyeramkan, berdiri di bayangan dengan rambut yang putih dan acak-acakan.

“Maafin saya, saya kebangun karena denger suara ribut-ribut. Oia, saya Adi penjaga kebun di sini, saya juga lupa kalau yang nyewa villa ini dateng hari ini. Maklum udah tua,”

Penjelasan ringkas itu membuat yang lain semakin lega, dan melemaskan otot-otot mereka yang sebelumnya tegang.

“Memangnya villa ini ada semacam perkerja yang ngurus ya, pak?” tanya Jino, penasaran.

“Ada, banyak malahan! Tapi yang netap di sini cuma saya doang,” ucapnya sambil memasang wajah ramah, dan senyuman yang lebar.

Semua mengangguk dan Jino mengambil sebuah kursi kayu dari ruangan lain dan memberikan isyarat agar pria itu duduk dengan mereka.

“Kok bau darah, ya?”

────────⊹⊱✫⊰⊹────────
.


.
.

➤; ᴀʙᴏᴜᴛ ᴄʜᴀʀᴀᴄᴛᴇʀ.↶
.
.
.

「 YOSHUA DIRGANTARA 」
.

「 YOSHUA DIRGANTARA 」

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

Name : Yoshua Dirgantara
Height : 179 cm
Birth Date : 1st Juli
Hair : Black Ash
Likes : Soba dingin, soto ayam, makanan manis, rokok.
Dislikes : Sesuatu yang melelahkan
.
.

Fun fact about him :
.

- Murni berdarah Jepang, lahir di Jepang,
   tapi besar di Surabaya, Jawa Timur.

- Dia tinggal berdua bersama sang Nenek.
- Punya kakak perempuan 5 tahun lebih
   tua, tapi tinggal di Jepang.
- Umur 7 hampir meninggal tenggelam di
   sungai, tapi di tolong sama hantu.
- Mantan bokem (bocil kematian).
- He have a girlfriend :>

.

Oke, sampai jumpa minggu depan -!!

Jangan lupa makan, jaga kesehatan, sama senyum -!!♡
Have a good time -!!♡♡

LIE or DIE | 00 Line Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang