04.

55 10 1
                                    

Bagai disambar petir siang bolong, mereka semua terdiam membeku saat pak Adi menanyakan perihal kenapa ada bau darah di sekitar sini. Seingat mereka, lantai sudah di pel dan di beri pewangi ruangan yang cukup banyak, dan mereka juga tidak mencium adanya bau darah.

“Ah, bapak paling salah cium kali.” elak Reza mencoba bercanda, dia jelas panik tapi dialah yang paling pandai menyembunyikan suasana hatinya dengan sangat baik.

Alvan memelototi Candra, memberi isyarat agar pemuda itu mengatakan yang sebenarnya. Percuma juga di tutupi, kalau pada akhirnya akan terungkap.

Candra diam, dia bergulat dengan pikirannya. Memainkan jemarinya yang basah karena keringat, lalu menghela nafas, dan memilih menuntun pak Adi ke lantai atas, di temani oleh Denna dan Rafael. Sisanya diam di ruang tamu.

Kenop pintu di putar, Candra memberi sedikit dorongan untuk membuka pintu tersebut. Tercium jelas bau anyir darah di ruangan tersebut, serta sesuatu yang ditutup oleh selimut di ranjang.

Rafael menarik perlahan selimut tersebut, terlihat kepala seorang gadis yang terluka. Darah juga menempel pada selimut putih tersebut, pak Adi terkejut bukan main. Dia menatap kelima pemuda itu, meminta penjelasan.

“A-a-apa maksudnya ini!?”

Suara pak Adi tertahan di tenggorokan, jelas shock berat dengan apa yang baru saja di lihat oleh mata kepalanya. Candra semakin pucat, dia juga tidak yakin harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Dia terlalu takut, haruskah dia berbohong?

Di lantai satu, semua orang diam saat mendengar dengan jelas suara pak Adi yang cukup keras. Semua orang dilanda kecemasan dan kepanikan. Argha menghela nafas berat dan mengusap punggung Jino, agar pemuda itu tenang.

Hey, calm down, okay?” ujar Argha menenangkan, dia takut kalau trauma dan gangguan kecemasan sahabatnya kembali kambuh. Terlebih lagi, Jino memiliki riwayat asma.

Goblog sia! Tenang gimana coba!?” seru Alvan geram, dia menatap tajam pemuda bersurai hitam itu.

“Heh, babi. Si Argha mah nyuruh Jino buat tenang, bukan lo. Tolol banget,” celetuk Reza tak kalah tajam. Dia balik memelototi Alvan.

Mendapatkan ulti dari Reza, membuat pemuda itu semakin geram. Dia mengepalkan kedua tangannya dan berjalan pergi.

Walah walah, mau mabok, tah?” ejek Reza sambil tersenyum mengejek, lalu melipat kedua tangannya di dada.

Semua orang hanya diam menyaksikan perdebatan antara Reza dan Alvan itu, dan sosok Alvan yang menghilang di balik pintu kamar. Suara pintu yang di banting membuat mereka sedikit terkejut, tapi hanya menggeleng.

“Kok lo tau tuh bocah bakal minum?” tanya Fasha selaku sahabat dari Alvan, dia menatap Reza meminta penjelasan.

Reza menghela nafas dan menyandarkan punggung di sofa, “Di tas warna biru tua yang dia bawa, ada wine.” jawabnya enteng dan melipat kaki kirinya di atas kaki kanannya.

Suara panik Rafael serta lantai kayu yang diinjak membuat mereka semua menoleh ke arah tangga, pemuda jangkung itu turun dari lantai atas wajah panik dan pucat, serta keringat dingin yang membasahi kening.

Karena terburu-buru turun, dia tersandung oleh kakinya sendiri dan menggelinding hingga berhenti di depan mereka semua.

“Tenang, woi!” seru Reza panik lalu membantu pemuda itu berdiri.

“I-itu... i-itu...!”

“Tarik nafas, hembuskan! Santai elah!” seru Reza panik dan memukul kepala belakang Rafael lantaran geram pemuda itu berbicara layaknya seorang yang baru saja melihat hantu.

LIE or DIE | 00 Line Where stories live. Discover now