Call #7 - Suara yang Hilang

1.1K 153 18
                                    

Giana lumayan takjub saat melihat rak-rak buku komik yang begitu luas dan besar. Ia tidak menyangka akan melihat tempat seperti ini di pinggiran Jakarta. Ditambah konsep tempat ini tidak seperti perpustakaan yang berisi buku komik dan buku-buku lain dari segala penjuru, tapi juga seperti mini hotel. Ada banyak bilik yang tersedia untuk membaca buku. Sebenarnya sebutan 'bilik' pun terlalu luas, tapi juga tidak sebesar kamar hotel. Yang jelas, tampak sangat nyaman untuk menikmati kesendirian dengan membaca komik tanpa gangguan. Hanya saja Giana tidak datang seorang diri melainkan bersama dengan Glenn, putra satu-satunya.

"Bunda kenapa kita mesti main di sini?" tanya Glenn polos saat Giana menukar sepatu yang dikenakan anak itu dengan sandal slipper yang disediakan di kafe komik ini untuk menjaga tempat ini tetap bersih.

"Bunda butuh bisa kerja, Sayang. Makanya kamu Bunda ajak ke sini karena di sini banyak buku cerita yang bisa kamu baca. Kalau ngantuk kamu juga bisa langsung tidur siang."

"Tapi Glenn pengennya main game, Bunda."

Giana menghela napas. "Glenn sayang... Kali ini kamu jadi anak baik dulu ya. Mama harus selesein kerjaan Mama. Kamu boleh keliling di sini tapi jangan jauh-jauh. Di sini juga ada bilik buat nonton. Sebutin aja ke mbaknya kamu pengen nonton kartun apa biar dicariin."

"Glenn nggak kepengen nonton film kartun, maunya main sama Caca."

"Please, anak hebat. Kali ini bantu Bunda supaya Bunda bisa kerja ya. Setelah ini Bunda bakal izinin kamu makan es krim semau kamu."

Glenn pun bangkit. "Es krim yang dibeliin Om Lingga lebih enak, Bunda. Nanti Bunda telpon Om Lingga ya, biar kita ke sana. Nanti Glenn mau beli dua," pinta Glenn dengan tawa yang kembali. Glenn pun menurut dan masuk ke dalam bilik yang memiliki layar besar untuk nonton Netflix. Dengan patuh, Glenn mendengarkan satu staf perempuan yang memasangkan headset di kepala Glenn. Semua hanya karena es krim dan... Lingga.

Giana menggigit bibirnya. Sejak suaminya meninggal, Glenn kerap bergaul dengan keluarga Lingga, termasuk adik Lingga yang paling kecil, Caca yang masih berusia enam tahun. Karena Lingga masih paman sepupu, Caca seharusnya adalah bibinya Glenn, tapi kedekatan mereka lebih mirip teman sebaya ketimbang bibi dan keponakan. Sudah hampir dua bulan, Giana membiarkan Lingga terlibat dalam aspek kehidupannya. Mengantar jemput Glenn pulang sekolah, menemani Bu Rimar belanja bahkan dengan sukarela mengantarnya datang ke rumah Giana untuk menengok cucunya. Entah bagaimana, terkecuali Giana, semua orang sudah biasa dengan kehadiran Lingga sebagai pengganti Tristan. Sayangnya, Giana tidak ingin terus-menerus berada di situasi seperti itu.

"Aku nggak masalah kalau kamu tergantung sama aku. Toh aku lakuin ini karena Tristan itu sepupuku dan aku nggak kepengen kamu kerepotan setelah Tristan nggak ada." Lingga tampak kecewa saat Giana melarang laki-laki itu melibatkan diri dalam kehidupannya. Saat itu Giana sengaja menemui Lingga sebelum menjemput Glenn di sekolahnya. Selain mereka berdua dan almarhum suaminya, tidak ada lagi orang yang tahu bahwa keduanya pernah menjadi sepasang kekasih.

"Tapi kamu bukan siapa-siapa, Ga. Aku masih nggak ngerti apa motivasi kamu buat sok-sokan jadi pengganti Tristan. Kalau masalahnya karena kamu nggak enak sama Bu Rimar, aku bakal bilang ke beliau supaya nggak ngelibatin kamu lagi," ucap Giana.

"Gi, apa kamu sampai harus segininya buat jauhin aku? Aku care sama kamu... Aku nggak mau kamu dan anakmu terlantar."

"Terlantar? Kamu pikir aku nggak cukup mandiri untuk bisa hidup tanpa bantuan kamu? Aku punya penghasilan, Ga. Nggak sebanyak kamu ataupun suamiku, tapi aku yakin aku dan Glenn nggak akan terlantar."

"Giana..."

"Tolong... Ga, kamu lah yang butuh menata hidupmu, bukan aku. Temui perempuan yang baik, yang kamu cinta dan dia juga sayang sama kamu. Bukan seperti aku yang pernah nyelingkuhin kamu dan sekarang menikmati karmanya."

Call Me When You're Single Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang