5 | Perihal kepergian

158 35 2
                                    

“Kau pergi ke mana tadi malam, huh?!”

Kedatangannya disambut oleh rentetan pertanyaan penuh rasa cemas itu. Rahajeng menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya sekaligus kesal. Terlihat kebingungan ketika melihat baju kebaya yang ia kenakan compang-camping, serta rambutnya yang semula tertata rapi kini terlihat begitu kusut.

Rinjani melanjutkan langkahnya dengan tertatih-tatih, rasa sakit di bahunya kembali ia rasakan saat Rahajeng yang berjalan mendekat dengan spontan menyentuh permukaan bahunya yang terluka.

Akh!” ringisnya.

“Astaga, apa yang terjadi padamu?!” Rahajeng terlihat begitu kalut ketika menyadari permukaan bahu Rinjani yang terluka. Dengan sesegera mungkin, ia membantu perempuan itu untuk duduk pada sebuah kursi kayu yang tersedia di sana.

“Tunggu sebentar!” Rahajeng berlari ke dalam rumah. Mencari sebuah obat antiseptik beserta kain dan segelas air hangat.

“Tahan, sebentar. Aku akan mengobati lukamu,”

Rinjani memilih diam. Membiarkan Rahajeng membersihkan permukaan bahunya yang terluka. Ia meringis kecil ketika cairan antiseptik itu mulai menetes dengan perlahan. ”Ini menyakitkan ..., tolong pelan-pelan, mbak!”

“Ya, aku tahu. Tahanlah sebentar lagi.”

Waktu terus bergulir, rintihan kesakitan Rinjani terus terdengar selama Rahajeng mengobati luka di bahunya. Dengan perlahan, Rahajeng mulai membalut luka itu dengan kain yang telah ia siapkan sebelumnya.

“Baiklah, sudah selesai. Apa masih terasa?”

“Sedikit.” Rinjani mengangguk. “Terima kasih telah mengobatinya.”

“Lupakan tentang hal itu,” kata Rahajeng. Nada suaranya berubah serius. “Bisa kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi, Adikku?”

Rinjani memejamkan matanya ketika suara penuh penekanan barusan terlontar dari Rahajeng. Dengan nadanya yang terdengar cukup sarkastik.

“Aku ... aku tertembak seorang pasukan tentara Belanda saat hendak mencari tahu dalang dibalik rencana pembunuhan yang menimpa Ayah kemarin malam,” lirihnya nyaris tak bersuara. ”Aku berusaha untuk melarikan diri, tapi tetap saja, kekuatan laki-laki penjajah itu jelas jauh lebih besar dariku.”

Hening setelahnya. Rinjani bergerak gelisah, berbeda dengan Rahajeng yang terus menyimak penjelasannya dengan perasaan tak menentu.

“Maaf ... Aku tidak tahu jika akan berakhir seperti ini.” Ia menundukkan kepalanya. Kedua tangannya bertaut kencang saat Rahajeng mulai menatapnya dengan tajam. ”Maki aku sesukamu. Aku tahu, ini semua salahku ... ”

Rahajeng menarik nafasnya dalam-dalam.

“Aku benar-benar bingung harus bereaksi seperti apa. Tapi satu yang harus kau tahu. Kau benar-benar ceroboh!” selorohnya. “Apa kau tidak memikirkan betapa khawatirnya aku saat melihatmu pergi dari rumah?!”

“Apa menurutmu dengan cara melakukan tindakan itu kau bisa menemukan siapa pelakunya?!” Rahajeng berteriak marah, ”Kau lihat apa yang kau dapat atas tindakan bodohmu itu?!”

“Bukan mengetahui siapa pelakunya, tapi justru kau terluka!” hardiknya. “Cukup hanya Ayah yang bertindak gegabah atas pilihannya. Kau tidak perlu mengikuti perilaku buruknya itu!”

Bandung dan Kisahnya ; ( Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang