“Sudah beberapa hari terakhir ini, hasil panen rempah-rempah serta kopi yang kita tanam benar-benar melonjak dengan pesat.” Ujar Jenderal Victor seraya menyesap segelas kopi di tangannya.
“Kita bisa memanfaatkan lebih banyak lahan perkebunan di kawasan Bandoeng untuk ditanami berbagai jenis tanaman ekspor yang akan kita kembangkan selanjutnya.”
“Tentu. Menurutku itu bukanlah suatu ide yang buruk,” celetuk Jenderal Alphonse. “Banyaknya hasil panen juga berpengaruh besar terhadap penjualan rempah-rempah yang kita kirim ke kawasan Buitenzorg. Terutama akan semakin banyak orang-orang dari bangsa Eropa yang berdatangan untuk melakukan ekspedisi pencarian rempah-rempah di kawasan itu.”
“Dampaknya, hasil penjualan rempah-rempah juga akan semakin bertambah banyak jumlahnya. Dan dengan adanya peningkatan hasil penjualan, Kita bisa menerapkan kebijakan sistem pajak pada setiap rakyat pribumi yang terlibat dalam aktivitas perdagangan itu. Kita bisa meraup keuntungan sebanyak-banyaknya atas hasil panen yang kita tanam di lahan-lahan perkebunan milik para pribumi itu.”
Jeandra diam. Menyimak setiap obrolan yang sebenarnya ingin ia bantah habis-habisan. Terutama perihal penerapan kebijakan pajak yang baru saja mereka usulkan. Akan semakin banyak rakyat pribumi yang menderita jika seandainya kebijakan itu benar-benar diterapkan. Hasil penjualan rempah-rempah yang mereka dapat sudah semestinya menjadi hak mereka. Namun pemikiran itu tidak akan pernah terlintas di benak para manusia yang selalu haus akan kekuasaan seperti para manusia di hadapannya itu.
“Tapi sebelum itu, kita harus memastikan agar tak ada satu orang pun yang kembali melakukan pemberontakan setelah kematian Raharja beberapa waktu silam.”
Pemberontakan? Setiap orang yang mendengar kalimat barusan pasti akan menganggapnya sebagai sebuah kesalahan besar. Karena perlawanan yang dilakukan oleh para pasukan gerilyawan kaum pribumi adalah satu-satunya usaha yang dapat mereka lakukan demi mempertahankan apa yang sudah seharusnya menjadi hak milik mereka seutuhnya.
“Perihal berhasil atau tidaknya kita menguasai beberapa kawasan di Hindia Belanda, semuanya akan berakhir sia-sia jika seandainya para pasukan gerilyawan itu terus melakukan perlawanan.” Lanjut Jenderal Alphonse seraya menyesap sebatang rokok di tangannya.
“Mereka hanya berusaha untuk mempertahankan apa yang mereka punya.”
Hening setelahnya. Ucapan Jeandra barusan berhasil membuat atmosfer di ruang Batavia ini terasa menipis seketika.
“Kau memihak para pribumi itu?”
Pertanyaan dengan tatapan mengintimidasi itu juga tak ayal membuat siapa pun yang berada di sana kembali merasakan keheningan untuk sesaat. Kecuali bagi Jeandra.
“Memihak atas dasar apa? Aku hanya mengatakan kebenarannya. Lagi pula jika kau memang tidak setuju maka tak apa, itu urusanmu.” Jawab Jeandra tanpa ragu.
Jenderal Victor menatapnya dengan tajam. “Berhati-hatilah dalam berbicara. Ingat, bahwa kebijakan mengenai aksi penghianatan itu tidak memandang jabatan apa yang diterima oleh terdakwanya.”
Jeandra menghela nafas pelan. Kembali mengingat tentang kebijakan itu benar-benar membuatnya merasa muak seketika. Sebuah kebijakan yang dibuat semata-mata hanya karena ego mereka masing-masing.
“Lupakan. Kembali pada pembahasan kita sebelumnya.”
Jenderal Victor mendengus dingin, tak lantas kembali memfokuskan dirinya untuk kembali membahas perihal permasalahan mereka sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bandung dan Kisahnya ; ( Terbit )
Historical FictionBandung dan Kisahnya, perihal kisah asmara Jeandra Van Aldert ; seorang Kolonel Jenderal berkebangsaan Belanda yang mencintai seorang perempuan pribumi di tanah jajahannya. Terbelenggu dalam aksi pengkhianatan serta perebutan kekuasaan Hindia Beland...