10 | Secarik kertas surat

76 18 0
                                    

Rinjani mengalihkan pandangannya. Menatap sebuah kertas surat yang telah lusuh dalam genggamannya. Terdapat sebuah gambar bunga yang tak dapat ia ketahui bunga jenis apa itu.

“Baiklah. Terima kasih sebelumnya.” Bibirnya tersenyum tipis, hampir melupakan Rahajeng yang kini masih berdiri di hadapannya.

“Apa kau sedang memikirkan laki-laki itu?” Rahajeng tersenyum jahil menatap adiknya. “Wajahmu yang semula terlihat murung langsung berubah semringah setelah mendapat surat itu.”

“Tidak!” matanya melotot, seraya merutuki dirinya sendiri yang tidak dapat mengendalikan ekspresinya di hadapan Rahajeng saat ini.

“Aku hanya terkejut mendapat surat ini.” Ujarnya dengan suara sekecil mungkin. Tanpa sadar kedua sudut bibirnya berkedut hingga menciptakan seulas senyum lebar yang tak dapat ia tahan.

Rahajeng terkekeh kecil dan hanya menganggukkan kepalanya seolah-olah percaya atas penjelasan Rinjani barusan.

“Jangan lupa untuk minum obatmu.” ujarnya kemudian. “Kau terlihat menyeramkan ketika tersenyum lebar hanya karena mendapat sepucuk surat dari laki-laki Belanda itu.”

“Hei, tidak!”

“Sudahlah. Berhenti membual. Kurasa tebakanku benar—” Kata Rahajeng. Ia mendekat, membisikkan sesuatu di telinga Rinjani. “Kau mungkin mencintainya ..”

“Benar begitu?” Rahajeng menatapnya jahil.

Rinjani kembali melotot. Lagi-lagi kembali merutuki kebodohannya dalam berekspresi di hadapan Rahajeng. Ia berdehem pelan guna menetralisir kegugupan dalam hatinya. Dengan sigap, memundurkan tubuhnya beberapa langkah dari jangkauan perempuan itu.

“Kalau begitu aku pergi dulu. Jika mbak membutuhkan sesuatu, panggil saja aku.”

Rahajeng mengangguk, membiarkan adiknya pergi dengan perasaan menggebu-gebu menahan malu.

・༓☾ ❊ ☽༓・

Di sebuah perkebunan teh milik salah seorang petani pribumi inilah Rahajeng berada. Memetik satu persatu daun teh yang tumbuh dengan lebat di sana.

Matanya terus menelisik, mengamati setiap pucuk daun teh yang ia petik untuk memastikan jika tak ada satu pun daun teh yang layu atau yang telah rusak oleh hama.

“Rasanya percuma saja setiap pohon teh ini tumbuh dengan lebat jika kita tidak dapat menikmati hasil panennya,” celetuk salah seorang perempuan yang juga tengah memetik teh di sampingnya.

Dia adalah Artanti. Salah seorang perempuan pribumi yang usianya telah menginjak 20 tahun. Anggajaya namanya. Seorang laki-laki yang merupakan suaminya. Sekaligus menjadi salah seorang yang masuk ke dalam pasukan gerilyawan kaum pribumi dan kerap kali membantu Anggaralang dalam melakukan perlawanan terhadap para bangsa penjajah itu.

“Tapi setidaknya dari hasil panen inilah kita semua masih bisa bertahan hidup meski hanya diberi upah dalam jumlah yang sedikit.” Timpal salah seorang perempuan lain yang tengah berdiri di sampingnya.

“Ya, meski aku tahu bahwa upah yang mereka berikan bahkan tidak sampai menginjak lima persen dari hasil panen daun teh ini.” Lanjutnya lagi. “Selama ini kita bertahan hidup dan bekerja dengan keras hanya untuk memperpanjang masa penyiksaan yang kita dapat dari para penjajah itu.”

Namanya Arundaya. Seorang perempuan berdarah Jawa yang mengikuti jejak sang Ayah. Mereka telah menyepakati sebuah perjanjian bersama seorang petinggi Belanda yang akan memberikannya sepeser uang sebagai upah. Ayahnya sengaja didatangkan dari kota asalnya untuk dijadikan seorang buruh atau pekerja yang akan membantu kaum pribumi dalam mengembangkan wilayah kota ini menjadi seperti apa yang mereka mau.

Arundaya datang ke kawasan ini bersama sang adik beberapa tahun setelah kematian Ayahnya. Bahkan kedatangannya ke kota ini sempat menjadi perbincangan para kaum pribumi asli di kota ini. Mereka beranggapan jika Arundaya dan adiknya merupakan komplotan mata-mata dari para pasukan kemiliteran Belanda yang di tugaskan untuk mengawasi aktivitas mereka selama di sini.

“Kau bisa meminta upah lebih pada mereka. Terutama kedatanganmu ke kota ini karena telah menyepakati sebuah kesepakatan bersama para Residen Belanda itu.” Ujar Artanti.

“Meminta upah lebih bagaimana? Semua pekerja yang sengaja didatangkan dari luar kawasan Bandoeng akan mendapat upah dalam jumlah yang sama rata. Tidak ada yang bisa meminta upah lebih seperti apa yang kau pikirkan sebelumnya.”

Rahajeng memilih diam. Menyimak pembicaraan antara kedua perempuan pribumi yang kini tengah berdiri di sampingnya. Pikirannya melayang jauh, memikirkan tentang permasalahan yang akhir-akhir ini sering kali memenuhi pikirannya.

Setelah pembahasan mereka selesai, Arundaya berjalan mendekat ke arah Rahajeng.

“Apa yang tengah kau pikirkan?” Rahajeng menolehkan pandangannya, lantas menggeleng pelan pada sosok perempuan di sampingnya itu.

“Kau terpantau sering murung akhir-akhir ini.”

Rahajeng hanya menggelengkan kepalanya dan berkata, “Itu hanya perasaanmu saja. Sudah, tak perlu dipikirkan. Aku baik-baik saja.”

・༓☾ ❊ ☽༓・

Rinjani tahu jika hubungan bersama Jeandra akan di tentang keras oleh para pasukan tentara Belanda itu. Ada sebuah kebijakan yang membuat Jeandra harus menjalani sebuah hukuman jika seandainya ia terbukti menjalin sebuah pertemanan dengan seseorang yang berlatar belakang keturunan kaum pribumi di luar hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan bangsa Belanda.

Tindakan Jeandra akan dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap para pasukan kemiliteran Belanda, terlebih jabatannya sebagai seorang kolonel Jenderal akan di cap buruk oleh para pasukannya.

Ada beberapa hukuman yang akan menimpa laki-laki itu. Entah itu berupa hukuman ringan, atau bahkan hukuman mati sekalipun. Salah satunya adalah eksekusi fiat dari petinggi Belanda yang dilakukan berupa pencambukan dan penyelaran bagi para terdakwanya.

Matanya menelisik, membuka satu persatu lipatan kertas yang telah lusuh, hingga menampilkan sejumlah rentetan kalimat yang terpampang jelas di sana.

Hai, Jani. Sudah lama sekali rasanya kita tidak pernah berpapasan lagi setelah hari itu. Sebelumnya, aku benar-benar minta maaf atas kegaduhan yang aku lakukan dengan Anggaralang beberapa waktu belakangan ini.

Bagaimana kabarmu? Aku hanya berharap ... agar situasinya segera membaik. Dan setelahnya, mungkin kau bisa menawariku secangkir teh hangat buatanmu lagi, hahaa ..

Kurasa ini bukanlah sebuah surat yang terlalu penting bagimu, namun aku berharap agar surat ini bisa diterima dengan baik di tanganmu.

Jaga dirimu. Kuharap, kita akan segera bertemu kembali, Gadis pribumiku.

-J

Hatinya terenyuh. Rinjani tersenyum tipis seraya menatap pilu pada rentetan kalimat dalam surat itu. Perasaan senang tanpa celah mulai menguasai pikirannya. Mungkin .. dengan sedikit rasa salah tingkah. Pipinya bersemu merah. Ia menyentuhnya dengan sebuah senyum manis yang terus terpatri di wajahnya.

Ah, sial. Perasaan apa ini?

─────── ❀ ───────

Eksekusi fiat : Eksekusi resmi yang telah disetujui oleh para petinggi.

Bandung dan Kisahnya ; ( Terbit )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang