🔹 02 - Tyas, Lapangan Bola, Pak Wahyu

55 9 14
                                    


"Gas?" kata Yoga. Masih pagi anak itu sudah ambil ancang-ancang bolos sekolah perkara belum kerjakan tugas. Kali ini bukan karena gurunya killer, tapi memang setiap guru itu masuk selalu mereka berdua jadi korban. Duduk diam-diam pun direpeti, katanya karena muka mereka memang minta dipukuli.

"Apa lagi?" Bagas yang baru sampai di depan gerbang memasang muka masam.

"Aelah pagi-pagi cemberut aja lu, macam yang punya bini aja di rumah." Yoga ikutan jengah, "Gua nanya, gas? Mumpung gak ada si Wahyu nih. Kita gaskan lah, ke sekolah sebelah."

"Woilah, gas! Badmood gua gini hari," balasnya, habis menaruh tas di kelas mereka berdua langsung lari ke tembok samping sekolah. Manjat seperti kera dan mendarat di area parkir SMA 1 Jaya dengan mudah.

"Badmood-an lu, gaya macam Jen Malik, muka macam Jen Ifrit."

"Anjim lu emang." Bagas menoleh kanan-kiri, "kek biasa kan?"

"Yoi, bro."

Mereka berdua tersenyum ria, melewati kereta yang diparkir satu per satu sambil melihat dengan teliti.
Bagas menatap kaca spion terkejut bukan main.
"Ya Allah, muka gua kenapa ini?!!" paniknya. Spontan Yoga kaget, mendekat ke arahnya sembari bertanya.
"Kenapa muka lu bro?!"

"Ganteng banget, bangsat."

"Mati kagak lu!?" Yoga hampir mencekiknya, untung Bagas kabur lebih cepat. "Capek jadi orang yang dikutuk ganteng dari lahir, ada aja yang syirik."

Yoga tiba-tiba mendelik, mengambil satu barang dari kepala kereta orang dengan cepat.
"Gua dapat!"

Bagas tiba-tiba mengambil satu sweater di atas kereta orang, mengikat ujungnya sebatas pinggang lalu bergaya seperti bencong.
"Sendiri aje, bang?"

"Aaanjiiiing!"

Yoga terbahak-bahak, memukul jok kereta orang sampai sesak napas. Belum sampai di sana jadi wadam dadakan, Bagas kembali bersuara centil.
"Mau yang enak-enak?"

"Astaghfirullah awokwokwok najis bet, kalo emak lu liat udah dibawanya ke ustad lu."

"Buat dirukyah?"

"Buat ditampol!"

Mereka berdua tertawa, Yoga memakai baju olahraga SMA 1 yang dia dapat dari kereta anak cowok. Bagas akhirnya dapat satu, itu pun punya perempuan yang lengannya panjang. Habis melipat lengan baju dengan paksa, mereka berdua langsung pasang aksi menuju lapangan sekolah SMA 1. Yoga merapikan rambutnya sambil membenarkan pakaian. Sementara Bagas maju cepat-cepat, mengantri di kantin sambil teriak.
"Awas gak lu, awas gak, gua tampol nih."

"Temen gua kampungan banget, sialan."

Di sekolah mereka, hanya ada satu kantin itu pun jajanan yang dijual membosankan. Terkadang banyak dari mereka yang diam-diam menyusup ke SMA tersebut untuk membeli jajanan seperti gorengan, bakso, atau nasi bungkus porsi kuli.

"Jadi kaga lu, katanya mau maen bola."

"Urusan perut gak bisa toleransi gua, nyet. Bisa tambah kerempeng ini badan gua," protes Bagas. Dia mencomot satu beng-beng, pura-pura lupa membayar karena memang kantin itu ramai sekali sampai penjualnya kewalahan.

"Lu gak bayar? Dosa woi."

"Lah, emang gua ada bilang sama penjualnya kalo gua beli? Gua minta! Dia bilang iya, kan gua gak dosa."

"Woi Firaun, dia jawab iya buat orang lain kali. Kalo bukan temen udah gua penyetin lu asli."

Bagas baru menggigit ujung beng-beng, Yoga langsung mencomotnya.
"Ups, bagi dua."

"Sok alim, tai kucing lu. Minta juga akhirnya."

Yoga tertawa-tawa, mereka baru ke lapangan, seperti biasa beberapa anak laki SMA 1 yang kenal dengan mereka langsung mengajak bermain.

BagaskaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang