🔹 05 - Benci, Marah dan Murka

37 5 4
                                    

"Ingat bang, di atas langit masih ada langit dan di bawah langit masih ada aku yang ingin sekali memukulmu." -Bagas

Rasa sakit yang diberikan perkelahian dua hari lalu masih menyisakan darah, Yoga ikut terkejut mendengar hal tersebut. Dua hari mereka tidak pergi ke sekolah karena harus disembuhkan, yang paling parah adalah Surya. Dia dibuat babak belur habis-habisan. Raut wajahnya yang biasa jenaka dan kalem telah berubah drastis seperti pemangsa yang tengah mengincar korbannya.

Kali itu mereka berempat sedang berkumpul di rumah Surya untuk menjenguknya.

"Gua bunuh juga itu si anjing, gua gak ngapa-ngapain dipukulin! Sial, gak mau tau gua, tuh anak harus dapet balesannya!"

Bukan tanpa alasan dia marah, di bagian mukanya terdapat luka menganga yang cukup besar dan terpaksa harus dijahit dua kali. Surya bukan orang berada, sekarang orang tuanya ikut kena imbas membiayai uang berobat dan itu membuatnya kesal setengah mati. Selama dua tahun sekolah dia tidak pernah terlibat perkelahian apa pun. Tapi kali ini murni karena orang lain yang membuat perkara. Surya tidak akan diam begitu saja, apalagi teman-temannya ikut bonyok karena peristiwa dua hari yang lalu.

"Tapi tuh anak sama gengnya lagi nyariin kita ke SMK, lu denger gak? Kemarin kawan gua bilang mereka ada di Warung Bang Asim pas pulang sekolah ..." Andhi menimbrungi. Wajahnya terlihat marah dan cemas di saat yang bersamaan.

"Papi gua bisa bawa ini ke jalur hukum. Kalian tenang aja bro, kita hajar mereka dengan cara lain."

Sementara Surya menyangkal mentah-mentah, "Tajir bapak lu lebih tajir bapak dia. Raja bukan orang sembarangan, Dion. Main fisik kalah, main hukum juga kalah telak."

"Jadi solusinya gimana?" Andhi dan Dion bertanya.

"Kita tunggu tanggal mainnya," ujar Bagas dengan raut muka serius, "Sekarang lagi panas-panasnya, mereka pun masih ngincar kita. Kita balas pas mereka lengah."

Mereka bertiga manggut-manggut, mungkin pilihan itu lebih masuk akal. "Lu pada ke sekolah besok?"

"Gua enggak," jawab Dion dan Andhi kompak. Surya juga sependapat, "Keadaan gua belum sembuh total, gua gak pergi besok."

Akhirnya Bagas hanya bisa memaklumi, "Gua pergi besok, sekalian liat-liat keadaan."

**

Setelah istirahat Bagas mulai merasakan hawa-hawa tak enak, di halaman depan sekolah terlihat sekelompok pemuda yang asing. Dia tidak pernah melihat kelompok orang tersebut, gerak-geriknya juga mencurigakan seperti sedang mencari seseorang. Tidak mau mencari ribut Bagas segera pergi dari kelas, memasuki jalan di belakang pohon sawit dan menyusup ke SMA 1 Jaya.

Setidaknya di situ tempat paling aman untuknya. Langkah kakinya segera beranjak menuju satu kelas yang terletak agak pinggir. Ketika dia masuk pemandangan absurd dan mencengangkan menyambutnya.

Ada satu murid yang tertidur di belakang dan disholatkan kawannya yang lain. Bahkan ada yang cosplay jadi barongsai, kuntilanak, bencong dadakan dan orang kesurupan. Keributan di sana membuat guru yang mengajar di kelas sebelah seringkali naik pitam.

Bagas bertanya pada salah satu anak kelas tersebut, Tyas sedang tidak di kelas. Antara kantin, UKS, musholla atau perpus. Tujuannya pasti untuk tidur.

Benar saja, saat tiba di perpus, Bagas mendapati Tyas tertidur di meja baca dengan buku tebal menutup wajahnya. Bagas memukul pundaknya untuk mengejutkan cewek itu, niatnya cuma ngagetin tapi Tyas seperti mayat yang tiba-tiba bangun dari alam kubur.

"Ampun pak, ampun! Saya beneran baca kok-!"

Bagas tertawa heran. "Ketahuan suka tiduran sana-sini. Lagian lu baca sistem reproduksi manusia, mana kebalik lagi bukunya, terkadang ancrit bet beliau yang satu ini."

"Diam napa lu, gua mau lanjutin mimpi nih, dah masuk episode 24."

"Bisa gitu. Kurang tidur semalam apa gimana lu?"

"Nanya lagi si bocah. Insomnia gua, lagian lu tumben ke perpus. Mencurigakan, kadang mau ngerakit bom lu dimari."

"Merakit perahu kertas gua." Dia memukul meja sedikit pelan, menciptakan bunyi irama lagu diiringi suara cemprengnya.
"Ku bahagia ... Kau telah terlahir di dunia. Dan kau ada ... Di antara miliaran manusia. Dan ku bisa ... Dengan radarku. Menemukanmu ..."

"Gas, pernah denger suara knalpot bajaj gak?"

Bagas yang diinterupsi terdiam lalu mengangguk.

"Bayangin knalpot bajaj dikasih nyawa, Gas. Nah mirip tuh sama suara lu. Mohon maap nih."

Bagas yang kesal menggulung buku dan menggeplak pundak Tyas. "Gini-gini muka gua pernah masuk tipi, ya!"

"Wih, keren, Gas. Acara mana?"

"Orang Pinggiran, cuk."

Mereka sama-sama menangis, yang satu menangis pilu yang satu lagi menangis terbahak-bahak.

Hingga tiba-tiba Tyas menyadari sesuatu di wajah Bagas lalu mengerutkan alisnya,"Btw muke lu udah kek kuali bonyok ae bang."

"Biasa, lakik gini kudu berantem lah biar keliatan cool."

"Kal kul, kal kul. Sok-sokan Inggris lu, bahasa Inggris ae remedial. Muke dah ancur gitu jangan ditambah ancur lagi kali."

"Lah, ngatur."

Tyas berjengkit, sedikit kebakaran jenggot.

"Eh gini ya titisan Firaun. Lu kan berantem nih, bapak lu tuh marahnya ke gua! Jadi bisa gak sih lu gak berantem? Pen gua tampol lu bener. Untung gua orangnya penyabar dan baik hati."

"Cocote." Bagas menoleh ke belakang, menyadari penjaga perpus tiba-tiba datang dari rak sebelah. Tyas menyadari keresahan Bagas langsung mendengkus.

"Pake dulu jaket gua, ketimbang lu diusir kan lu kek anak kebuang, kasian gua." Tyas menyodorkan jaket merah yang selalu dibawanya sebagai bantalnya untuk tidur. Bagas segera memakai untuk menutup simbol sekolah di lengan bahunya. Penjaga perpus sempat menoleh sedikit dan langsung balik ke mejanya setelah memastikan mereka benar-benar membaca.

"Tumben lu bantuin gua."
Bagas terharu.

"Ayah lu datang ke rumah, cerita soal elu ... Lu kegores sedikit gua juga bakal tau ..." Dia memalingkan muka sambil bersuara "sembunyi aja dulu di sini. Gua keknya gak masuk kelas juga."

Bagas menunduk, percuma dia menyembunyikannya dari Tyas. Pasti dia langsung tahu apa yang terjadi.

"Sorry sering ngerepotin elu, gua juga gak mau gini. Dari kecil lagi, gua selalu bikin lu khawatir. Lu udah kek kakak kandung gua anjir."

"Kita emang masih sodaraan ya babik."

Tyas membuang napas gusar.
"Jangan sampe terlibat dalam sesuatu yang berbahaya, Gas. Itu aja. Lu digangguin si Raja, 'kan? Kubur dalam-dalam niat lu buat balas dendam. Jangan lakuin hal bodoh,"

Bagas tidak percaya Tyas mengatakan hal itu, "Hal bodoh? Mempertahankan diri hal bodoh menurut lu?" Nada bicaranya terasa sangat marah. "Lu gak liat, Tyas. Gua ditonjokin sampe babak belur, Surya sampe ke rumah sakit, Andhi sama Dion? Mereka juga parah! Sekarang mereka sampe datengin ke sekolah kita-kita, dan lu nyuruh gua diem aja? Nunggu mereka bunuh gua dan yang lain, gitu?"

Sesal terlihat di raut wajah Tyas. "Gua khawatirin lu sama yang lain, Gas. Kalau lebih dari yang terakhir, salah satu dari kalian bisa cacat kayak korban dia yang udah-udah gimana?"

Amarah Bagas sedikit teredam. Dia mencoba melihat dari sudut pandang Tyas sesaat dengan menurunkan egonya.

"Gua juga gak bakal diam lu pada dicelakain. Apa pun jalannya, bakal kita buat mereka mundur, sampe semua ini selesai jangan pernah bertindak gegabah, oke?"

"Hm." Bagas mendeham setengah ikhlas, Tyas menautkan kedua alisnya menunjukkan wajah kesal. "Janji dulu, ogeb. Gua tampol lu sama kelingking, nih!"

Tyas sudah mengangkat sebelah jari kelingkingnya ke depan muka Bagas. Bagas menoleh sebentar, sedikit kekanak-kanakan memang tapi dia hanya menurutinya sambil sedikit tertawa.

"Janji?" ulang Tyas, Bagas menautkan kelingkingnya masih tertawa kecil.
"Janji."

**

A/N: sorry banh ketiduran, ampe lupa belom update

Jangan lupa napas

BagaskaraWhere stories live. Discover now