🔹03 - Teman, Nasihat Sang Ayah, Rumah

45 6 30
                                    

Bagas tidak bersemangat sekolah hari ini. Pulang sekolah dia memutuskan untuk kembali nongkrong di warung Bang Asim, tidak seperti hari biasanya dia terus melamun sejak pagi dan itu membuat teman-temannya kebingungan.

Di sana ada Andhi, orangnya selalu memakai peci. Bagi dia setiap hari adalah hari Jumat. Nada dering HP-nya juga tidak jauh-jauh dari kumpulan lagu Opick. Tiap ada panggilan masuk, kawan-kawannya langsung mingkem taubat. Apalagi yang diputar lagu Khusnul khotimah, langsung wudhu beramai-ramai mereka semua. Tampangnya juga cocok buat dijadiin visual Pak Ustad di sinetron adzab-kalau jadi mayat yang diazab juga bisa, multitalenta. Karena itu juga Andhi sering dipanggil dengan sebutan Paustad.

"Sahabatku ..."
Andhi tiba-tiba menyentuh pundak Bagas yang menoleh kepadanya dengan muka lesu.
"Ada apa gerangan, apa semalam kau berak lupa dicebok? Atau pas nge-cas hp semalaman rupanya gak kecolok?"

Membaca kegelisahan di wajah Bagas, Andhi merasakan hal yang sama.

"Kerasukan lu ya? Diem bae lu gua liat-liat."

Suara yang tiba-tiba menyela itu, siapa lagi kalau bukan Dion. Mukanya memang terbilang ganteng, putih bersih dan sering dipakaikan minyak telon sama Mamanya. Tapi dia memiliki kadar otak kurang dua ons dari manusia biasa, sebut saja bego. Suka kentut sembarangan dan menyakiti hati Andhi.

"Ssst ... teman kita lagi resah gelisah, Dion O'on. Pelanin suaramu yang macam kunti kejepit pintu itu." Andhi memprotes dengan muka ingin menggaruk. Tangannya mengelus-elus pundak Bagas. Yoga yang paling tinggi dan otaknya sedikit waras di antara mereka baru saja sampai bersama Surya, mereka duduk di bangku yang sederet dengan Bagas.

"Walah, napa ni satu cecunguk. Merenungi dosanya kah?"

"Emang Bagas kenapa, Ga?" tanya Andhi pada Yoga.

"Tadi dia beli Beng-beng gak bayar ... Liat aja entar keluar berita, Seorang Siswa Termencret-mencret dan Mati dengan Hidung Kesumpel Bungkusan Beng-beng."

Di saat itu Surya ikutan prihatin. Dia adalah salah satu yang terlihat paling pinter-walaupun aslinya enggak. Dengan kacamata tebal dan tas ala-ala anak rajin. Surya berjongkok di depan Bagas yang masih termenung, kaca mata minusnya dia benarkan sejenak sambil menerawang di balik mata Bagas.

"Menurut analisis yang gua lakukan selama lima detik dan mengumpulkan informasi dari muka kucel jiplakan mahluk Pithecanthropus erectus ini, gua mendapatkan satu kesimpulan bahwa manusia ini sedang menahan berak selama enam jam."

Anak itu tersenyum ala-ala wibu dan membenarkan kacamata yang bersinar seraya berkata, "Kawaisou."

Aksi keempat kawannya tidak ada yang membuat keadaan Bagas membaik, pada akhirnya Yoga mengeluarkan suara.
"Ngab, lu kenapa? Siapa yang nyakitin lu, Gas? Siapaa?!"

Dion menimpali, "Iya ceritain sama kita-kita, kali aja bisa kita bantu. Bantu nyakitin."

Andhi tiba-tiba menyelepet kepala Dion dengan peci. Anak itu membalas balik dengan memberikan bom kentut. Mereka berdua langsung berantem tanpa ampun.

Lelah dengan kelakuan kawan-kawannya yang memang udah gak ketolong, Bagas pun berbicara. "Gua bingung, bro."

"Bingung kenapa?" Mereka berempat refleks menoleh padanya.

"Kalo bulu di kaki kan namanya bulu kaki, bulu di ketiak namanya bulu ketiak." Dia menatap kawan-kawannya serius, "Kok bulu di alat reproduksi namanya jemb**?"

"Si Goblok!!!"

🔹

Sampai ke rumah, matahari sudah turun hanya menyisakan cahaya kemerahan di atas langit. Angin sore dan suasana di kompleks perumahan tempatnya tinggal tidak pernah membuat Bagas jenuh. Dia menapakkan kaki di teras, melihat Ayahnya sudah pulang dari kerja. Hanya duduk melamun di depan sana, memikirkan banyak hal sampai terlihat garis wajahnya begitu rumit.

Saat masih kecil, Bagas tidak mengerti arti wajah itu. Wajah yang kelelahan dan diselimuti banyak keresahan. Bagas tahu, laki-laki itu selalu gelisah tentang bagaimana nasib keluarga mereka ke depannya.

Apakah dia masih sanggup memberi makan keluarganya? Bagaimana kalau dia sakit, atau malah melarikan diri karena tidak sanggup lagi menghadapi semua persoalan yang makin rumit.

Bagas duduk di ujung teras bersebelahan dengan Ayahnya. Kopi di dalam gelas laki-laki itu sudah lama dingin, mungkin sejak satu jam lalu.

"Bagas pulang, Yah."

Lelaki itu tersentak, tidak mengetahui putra keduanya telah pulang. Bagas menyalaminya, terlihat getir saat tersenyum.

"Bagaimana sekolahmu, Gas?"

Wajah Bagas kian tak enak.
"Kayak biasa, Yah."

"Belajar apa aja hari ini?"

"Belajar ikhlas, Yah." Bagas bercanda.

Ayahnya tersenyum tipis.

"Yang bener?"

Namun nada bicara yang antusias itu makin membuat Bagas bersalah. Lelaki itu hanya mengeyam pendidikan SMP. Dia bekerja banting tulang untuk menyekolahkan dua anaknya saat ini. Perih, Bagas tidak tahu jarum dari mana yang diam-diam menusuk hatinya.

"Tadi ..." suara Bagas terpotong, nada bicaranya bergetar seakan-akan menahan sesuatu. Dia adalah laki-laki, Bagas tidak mungkin cengeng di depan Ayahnya. "Belajar sistem transmisi, soal pembongkaran sama pemasangan gitu."

"Alhamdulillah," sambutnya. Edwin, nama Ayahnya. Belakangan Bagas jarang melihat Edwin tertawa lepas, beban ekonomi yang akhir-akhir ini mencekik merenggut senyum di wajah yang telah menua itu. Tubuhnya yang dulu gemuk dan sehat perlahan-lahan kurus, air mukanya tidak secerah dulu. Keningnya semakin menghitam, setiap sholatnya dia selalu berdoa lebih lama dari biasanya.

"Bagas," panggil Edwin. Matanya menatap langit yang terlihat indah sore itu.
"Suatu saat nanti Ayah pengen lihat kamu sukses. Kita memang bukan orang berada, saudara pun gak punya, ayah mamakmu orang rantau. Tapi kalau kamu berusaha, kamu pasti bisa angkat derajat keluarga kita."

Selalu saja, Edwin memberikannya nasihat yang sama. Bagi anak lain, mungkin itu terdengar membosankan dan kuno. Namun Bagas menangkap sesuatu dari ucapan laki-laki itu.

Dan dia semakin menyalahkan dirinya yang tidak mampu memenuhi harapan kedua orang tuanya.

"Bagas tau, Yah." Dia bangkit, segera masuk ke dalam rumah. Edwin memejamkan mata, lagi-lagi anaknya terlihat tidak peduli.

Namun jauh di hati Bagas, dia berulang kali ingin mengatakan. "Jangan khawatir, Yah. Bagas bakal berusaha, sekolah dengan serius dan banggain kalian semua."

"Bagas!!"

Suara mamaknya, bulu kuduk Bagas langsung berdiri semua. Yang tadinya bersama Ayahnya begitu sejuk dan tenang sekarang giliran bertemu dengan mamaknya sudah seperti ikut simulasi di neraka. Dia ambil ancang-ancang kalau tiba-tiba saja gagang sapu melayang mengincar pantatnya.

Bunyi keras menggema, lalu jeritan Bagas terdengar setelahnya.

Mamaknya menjadi rapper dadakan. Gara-gara Bagas lupa membeli garam yang dititip mamaknya tadi pagi, sudah pulang telat, uang beli garam dia habiskan buat beli bensin juga.

Kalap, Yati-mamaknya melemparkan jurus andalannya. Jurus sapu melayang langsung membuat Bagas tumbang di ruang tamu.

Bagas yang terlentang membuka mata, melihat adiknya menatapnya sambil menahan tawa.

"Yey, kenaaa!!! Makk, Abang di sini! Nakal dia, pukul aja pantatnya!"

"Ranti, diem!" peringat Bagas. Namun terlambat, singa mengamuk sudah tiba di ruang tamu sambil mengangkat sapu kematian.

"Di sini kamu Bagas ..."

BagaskaraWhere stories live. Discover now