PART 12 : Family disgrace?

112 56 6
                                    

Sesuai dugaan Aura, kamera kecil yang mereka simpan kemari kini sudah tidak ada. Aura menghela napasnya pasrah, jika seperti ini terus yang ada dia malah tidak akan bisa menemukan orang itu.

Setelah orang itu mengambil kamera kecil yang mereka pasang kemarin, kini kasus pembulyyan ada lagi dan gadis yang orang itu bully kini tengah berada di rumah sakit entah apa yang telah orang itu perbuatan pada gadis itu hingga masuk rumah sakit.

Kini Aura dan Daffa berada di ruangan kepala sekolah, bersiap mendapatkan amukan dari kepala sekolah karena gara-gara mereka berdua kasus pembulyyan kini muncul lagi.

Telinga Aura rasanya sangat panas karena mendengar amukan dari kepala sekolah yang tidak ada henti-hentinya. Sedangkan Daffa hanya diam dengan pandangannya yang terus menatap kepala sekolah yang berada di depan keduanya.

"Pokoknya mulai dari hari ini, detik ini, menit ini, saya nggak mau lagi mendapatkan kabar tentang pembulyyan lagi!!"

"Dan rooftop akan di tutup kembali!!"

"Pak, maaf--"

"Sekali lagi kamu membantah ucapan saya Daffa, pangkat kamu sebagai ketua osis akan saya turunkan!" geram kepsek dengan menatap tajam Daffa.

"Kamu juga!" Raka menatap anak dari temannya itu dengan geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan pikiran Aura.

Raka sebenarnya tahu maksud dan tujuan Aura ingin rooftop itu kembali terbuka, dia mau-mau saja menuruti keinginan Aura, tapi masalahnya jika rooftop itu kembali di buka maka kasus perundungan akan semakin banyak.

"Cukup mencari dalang dibalik trauma adik kamu." kata Raka memelankan ucapannya.

"Biarkan saja semuanya berlalu, kamu gak bakal bisa temuin orang itu."

"Sampai kapanpun kamu nggak bakal pernah tahu siapa orang itu." Aura mengepalkan tangannya kuat dan menatap tajam om nya itu. 

Pintu ruangan terbuka dan memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan pakaian khas kantoran, menghampiri Aura dengan langkah yang lebar. Kean tiba-tiba saja datang lalu menampar pipi Aura dengan keras hingga meninggalkan bekas.

"KAMU INI DI BILANGIN BATU BANGET YA! SELALU SAJA BUAT MASALAH!"

"APAAN SIH, AURA JUGA GAK BUAT MASALAH SAMA AYAH!" ucap Aura tak mau kalah dan melawan ucapan Kean.

Daffa menatap pertengkaran mereka dengan terdiam namun dalam hati, dia bertanya-tanya. Mengapa sang ayah sang marah?

"Kamu ngebantah ucapan ayah. Stop berulah Aura, tanpa saya kamu nggak bakal ada di dunia ini! Jadi kamu harus nurut sama saya,"

"Mau sampai kapan Aura nurut sama ayah? Aura juga capek, Yah!" Aura tertawa renyah sambil memegang pipinya yang terasa panas.

"Kamu saja yang terlalu lemah. Pikiran kamu itu nggak ada isinya, tau main saja!" kata Kean tetapi Aura tidak ambil pusing, semua perkataan Kean sudah keseribuan kalinya ia ucapkan untuknya.

Aura menatap Daffa dengan tersenyum miring, sudah ia duga, Daffa adalah orang suruhan Kean untuk menjaganya. Kean tidak akan memegangnya jika ada orang luar.

Daffa melirik sekilas Aura setelah itu dia menundukkan kepalanya kepada Kean lalu pamit keluar ruangan. Sedangkan kepsek hanya bersikap acuh dan lebih memilih memainkan ponselnya, dia tidak mau berurusan dengan keluarga orang lain.

"Malu-maluin keluar. Kamu itu aib keluarga Aura, makanya ayah nggak pernah publish kamu di depan kolega bisnis ayah!"

"OH YA UDAH, AURA JUGA NGGAK ADA NIAT SEKALIPUN BUAT TERUSIN PERUSAHAAN AYAH!"

"KAMU INI--"

"Stop Kean, ingat dia anak kamu satu-satunya!!" ucap Raka memperingati Kean yang akan kembali menampar wajah Aura. Raka menjauhkannya dari Aura.

"Aku tidak sudi punya anak durhaka seperti dia, Raka!"

"Itu karena kamu sedang marah. Kalian bisa membicarakannya baik-baik!"

Aura menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya. Jujur saja, dia benar-benar trauma dengan sentuhan fisik yang Kean lakukan padanya, tetapi dia harus terlihat kuat, Aura tidak mau ayahnya menganggapnya lemah.

Gadis itu berlari keluar dari ruangan kepsek, walaupun Kean sempat menahan tangannya, untung saja ada Raka yang menyelamatkannya.

Di luar ruangan masih ada Daffa yang sedang menunggu Aura keluar. Saat gadis itu keluar, Aura dengan tangan yang ringan menampar pipi Daffa begitu kuat membuat sang empu meringis ngilu.

"Lo tau apa yang paling gue benci?"

"Gue paling benci sama orang yang munafik! Lo tuh munafik banget bangsat, udah gue duga, lo juga kan yang telpon bokap gue buat datang ke sekolah?"

"Bukan, Ra. Sumpah, gue emang anak buah ayah lo, tapi gue gak tau permasalahan kalian apa," ucap Daffa membela diri karena memang dia hanya di beri tugas untuk menjaga Aura dan memantaunya kemanapun ia pergi. Jika tentang masalah mereka, Daffa tidak tau.

"Teru dari mana lo bisa kenal bokap gue!?"

"Dia bos nyokap gue di kantor, Ra, serius gue--"

"Bacot!" kata Aura kesal dan berlalu pergi.

Setelah Aura pergi, Satrio dan Aldino menghampiri Daffa yang berada di koridor sekolah sendirian karena memang ini sudah memasuki jam pelajaran kedua setelah istirahat.

"Kenapa Daf, lo diapain sama kepsek?" tanya Satrio merangkul pundak Daffa. Daffa diam dan tidak menjawab, dia masih memikirkan ucapan kepala sekolah tadi. Dan siapa adik Aura itu?

"Kok lo diam anjir!" ujar Satrio merasa terabaikan.

"Daffa, saran gue sih mending lo gak dekat sama Aura. Dia kayaknya bukan orang yang baik." ucap Aldino, menurutnya Aura itu gadis yang sangat tertutup, di ajak berteman malah menghindar.

"Beda banget dari banyaknya cewek, kasar pula,"

"Lah emang kenapa? Aura baik kok, dia sering traktir kita," ucap Satrio.

"Kita gak tau sifat asli seseorang, lo jangan asal nuduh Aura yang nggak-nggak. Dan lo baru tau covernya, belum isinya," Daffa berucap dengan nada bicaranya yang seakan marah kepada Aldino.

"Ya bisa aja kan dia punya maksud tertentu buat manfaatin kita!" kata Aldino lagi tidak ingin mengalah.

"Selama ini gue nggak merasa tuh, Aura manfaatin gue, menurut gue, lo aja yang terlalu melebih-lebihkan." kali ini Satrio yang berucap.

"Terserah kalian. Gue cuman ngasih tau aja."




Girls Without Telling Stories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang