PART 21 : Jadi, siapa yang anak kandung?

17 13 0
                                    

Aura merasa geram saat melihat perlakuan spesial yang selalu diterima oleh Luna, adik tiri yang menjadi pusat perhatian orangtuanya. Aura, yang seringkali merasa terpinggirkan dan tidak dianggap, mulai merasa semakin terisolasi dalam kediaman keluarga mereka. Melihat bagaimana Luna dilindungi dan disayangi, Aura tidak bisa menyembunyikan rasa iri yang tumbuh di dalam hatinya.

Namun, di balik lapisan dinginnya, Aura sebenarnya juga menaruh kerinduan mendalam untuk diperhatikan dan diakui oleh orangtuanya. Setiap tatapan penuh harapan yang diberikan oleh Luna kepada orangtuanya menggugah hati Aura, membuatnya bertanya-tanya mengenai kehangatan keluarga yang seolah-olah tidak pernah terasa bagi dirinya.

Seakan menganggap Aura tak ada, Ken berdehem pelan dan menatap Aura. "Hari ini kamu harus menemani ayah bepergian ke luar negeri,"

"Kamu tau Aura, menjalani bisnis itu tidak gampang. Dan kamu akan ayah ajar mulai dari sekarang--"

"Bangsat, tiba sama anak sendiri aja bahasanya jadi formal. Orangtua macam apa sih ini?" ucap Aura dengan geram memegang sendok yang dia pegang dengan erat, dia terkekeh kecil.

Kean menahan amarahnya dan berusaha untuk sabar jika harus menghadapi Aura. Sedangkan Lisa, dia segera menenangkan suaminya.

"Ra, bisa gak sih kamu jangan ngomong kasar sama orangtua!" marah Luna dan menatap Aura.

"Apa sih anak pungut, gue gak lagi ngomong sama lo!"

"Walaupun aku anak pungut, setidaknya aku masih punya sopan santun. Kamu yang anak kandung aja gak punya attitude!" kata Luna membuat Aura mengepalkan tangannya di bawah dengan tatapan matanya yang menajam.

Kean memijit pelipisnya merasa pusing. "Aura cukup! Kamu ini kalau besar mau jadi apa hah!?"

"Mau jadi penjahat aja, yah. Biar Aura gak perlu lagi mikirin perasaan orang lain!"

Aura tertawa renyah, dia bahkan belum membalas perkataan Luna tetapi Ken sudah memarahinya demi membela Luna.

"Ayah, Aura bahkan belum ngomong apapun--"

"Kalau begitu jangan bicara, kamu ini anak kurang ajar. Saya nyesal besarin kamu cuma-cuma!" Kean berbicara dengan sangat lancang.

Tanpa sadar ia melukai perasaan anaknya sendiri. Aura menelan ludahnya sendiri dengan susah payah karena merasakan sesak di dalam hatinya, gadis itu mengedipkan matanya beberapa kali agar air matanya tidak terjatuh.

"Lo yang buat gue kek gini, Luna. Ya, lo emang gak tau salah lo apa, karena lo cuman pentingin diri lo sendiri!"

"Aku emang gak punya salah kamu." sahut Luna tidak terima di salahkan.

"Lo salah! Harusnya dari dulu lo gak tinggal di rumah ini dan ngebuat hidup gue hancur. Lo ngambil kedua orangtuanya gue anjing, emang dasar perebut lo!" Dengan emosi yang meluap-luap Aura mendekati Luna.

Gadis itu memundurkan langkahnya dan bersembunyi dibelakang Kean, bahkan Luna sekarang tengah menangis. Aura mengigit bibirnya dengan keras hingga mengeluarkan darah. Melihat akting Luna yang sangat luar biasa membuat tertawa, namun percayalah itu bukan tawa biasa.

"Aura cukup. Luna sekarang menangis karena kamu!"

"AKH GUE MUAK JADI ANAK YANG GAK DI ANGGAP!!" marah Aura dengan mendorong semua gelas dan piring yang ada di meja. Lisa sangat terkejut melihat anaknya, ingin mendekati Aura tetap ia sangat takut.

"Semua orang capek, Aura. Bukan cuman kamu!!" ucap Kean menatap anaknya dengan marah.

"Aura tau semua orang emang capek, tapi kecapean orang-orang itu beda-beda, ayah!"

Gadis itu menatap ayahnya dengan air matanya yang berair. "GUE JUGA ANAK AYAH, TAPI KENAPA GUE GAK DI ANGGAP!?"

"Aura capek.... capek, Ayah. Aura juga pengen kasih sayang dari kalian, bukan bentakkan," Ini pertama kalinya Aura menangis di depan ayahnya.

Kean kira anaknya ini tidak pernah menangis. Kean pikir anaknya ini tidak memerlukan kasih sayang karena Aura tidak pernah merengek kepada mereka.

"Aura juga bisa nangis, bisa ngerasain sakit pas ayah maki-maki Aura anak yang gak guna, gak punya sopan santun,"

"Ayah tau apa yang buat Aura tetap teguh? Itu karena Aura pikir, ayah bakal sayang sama Aura. Tapi ternyata emang harus ngemis dulu ya?" perkataan Aura membuat suasana di dalam rumah menjadi hening, hanya ada suara Aura yang sedang menangis.

"Selama ini Aura emang gak pernah minta kasih sayang dari kalian karena kalian terlalu fokus ke satu anak yang bahkan bukan anak kandung kalian."

Aura menghapus air matanya yang sangat cepat memerah jika menangis. Mungkin ia terlalu banyak menampung air matanya.

"Gue gak mau ngemis kasih sayang karena gue tau, gue bakal di kira lemah."

"Tapi jujur, gue iri banget sama lo, Lun. Lo bisa dapetin kasih sayang dari orangtua gue. Entah gue salah apa sampai di kasih cobaan hidup kayak gini," Aura melihat tangan Luna yang sangat erat memeluk Kean.

Dia beralih menatap ibunya yang berada di samping Kean. Lisa menatap Kean dan Luna dengan pandangan yang tak terbaca, tetapi Aura sepertinya mengerti.

Demi ibunya, Aura harus bertahan, walaupun semua yang ia lakukan akan terasa sakit. "Kalau itu yang ayah mau, Aura bakal berhenti sekolah."

"Memang seharusnya seperti itu. Segera bereskan pakaian mu, dan kita akan berangkat ke Amerika malam ini." ucap Kean lalu dia berlalu pergi dari dapur tanpa menatap Aura.

Aura tersenyum masam, dia kembali menatap ibunya dengan tersenyum kecil. "Aura, ibu--"

"Gak perlu minta maaf, bu. Sampai kapanpun, Aura gak bakal pernah maafin ayah!" ucapnya dengan matanya yang penuh dengan tatapan kebencian yang mendalam.

Lisa memegang tangan Aura yang sangat dingin. "Ibu pengen ikut kamu di Amerika,"

"Ibu pengen jagain kamu,"

"Gak perlu, bu. Kalau ibu pergi, siapa yang bakal jagain anak kesayangan kalian." ujarnya dengan menatap Luna sekilas.

"Lagian ibu juga gak terlalu dekat sama Aura, yang ada Aura malah makin direpotkan, juga ayah yang bakal marahin Aura terus.

Aura berdehem pelan, walaupun sedikit menyinggung perasaan ibunya sendiri, Aura harus berbicara seperti itu. Agar tak terlalu menampung perkataan yang ingin sekali ia ucapkan namun dia tidak bisa karena terlalu memikirkan perasaan ibunya.

Girls Without Telling Stories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang