O5. Morning

1K 100 0
                                    

Mengingat pagi sudah datang selalu membuat Phuwin semakin mengantuk. Bukannya membereskan tempat tidur, ia justru semakin merapatkan tubuhnya dengan selimut tebalnya.

Selain itu, perlu waktu untuk menyadari lingkungan sekitar. Seperti keberadaan Pond yang berada di sampingnya. Padahal jelas-jelas tangan Pond masih setia memeluk pinggang Phuwin sedangkan satunya, menjadi bantalan Phuwin.

Jadi seberapa nakal Phuwin sekarang?

Kebanyakan pasangan akan membelai lembut wajah atau menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah pasangannya. Bandingkan dengan Phuwin yang sekarang tengah menarik rambut Pond, mungkin akan putus jika ditarik terlalu lama.

"Akh!" Pond terbangun dengan wajah bangun tidurnya dan tatapan kesal. Lain halnya dengan Phuwin yang justru tersenyum memamerkan giginya lalu tertawa bodoh, "Hai.." menyapa Pond yang terlihat menggaruk-garuk kepala karena rasanya begitu nyeri. Dosa apa dia selama ini?

"Bagaimana kau bisa tidur di sampingku?" Phuwin bertanya.

Pond menghembuskan napasnya kasar. Mungkin keputusannya kemarin salah. Jika tahu begitu, ia tidak membuang tiket pesawat yang sebelumnya dan tidak membeli tiket penerbangan tercepat ke Thailand.

Oh, bingung? Jadi begini,

Semalam Pond mendapat kabar jika Phuwin jatuh pingsan karena tidak mau makan selama tiga hari. Entah apa penyebab tunangannya itu tidak mau makan, yang jelas itu membuat Pond panik melebihi paniknya ketika harus menahan kencing di toilet umum.

Memang sih ketika Pond akan berangkat ke Bangladesh, Phuwin selalu mengeluh pusing. Badannya juga terasa hangat saat memeluk Pond di bandara. Alhasil setelah Pond berangkat Phuwin sakit.

"Lalu siapa yang tidak mau makan selama tiga hari dan membuat orang-orang susah?" Pond menggeser tubuhnya, menatap wajah Phuwin yang terlihat pucat khas orang sakit.

"Salahkan lidahku yang tidak mau berkompromi." Phuwin menjawab sedikit merengek.

Jadi hanya karena itu? Seorang Phuwin yang aneh dapat kehilangan kesadaran hanya karena tidak mau makan? Tertawalah sekerasnya, maka satu pukulan akan mendarat dari tangan Manis Phuwin.

"Apakah seorang pasien bisa menarik rambut begitu kuat?" Pond menyentuhkan dahinya pada dahi Phuwin. Memeriksa seberapa hangat suhu tubuh Phuwin sekarang

"Kupikir itu tadi tenaga terakhirku." Phuwin membalas.

Pond mengecup Phuwin, melepasnya dan menarik Phuwin ke dalam pelukannya, "Mungkin lebih baik aku berdoa agar kau terus sakit."

"Apa?!" Phuwin menjerit.

"Aku berdoa agar kau terus sakit."

"Bajingan. Singkirkan tanganmu!" Phuwin mencoba mengangkat tangan Pond yang mangkir di atas pinggangnya.

"Karena jika kau sakit, kau akan terlihat lebih Manis dan lebih manusiawi."

"Huh."

Jadi, barusan itu pujian?

Phuwin mendengus kesal. Sudah didoakan agar terus sakit, lebih buruknya dianggap tidak manusiawi pula. Betapa inginnya Phuwin menarik rambut Pond hingga putus seakar-akarnya, menyebalkan.

"Terima kasih atas doanya, dengan begitu aku tidak perlu bersusah payah mengerjakan tugas dan materi skripsiku dari Mr. Dunk."

"Lalu kita tidak akan menikah. Bahagianya hidupku..." Pond mulai lagi. Apakah sebegitu menariknya menggoda Phuwin?

"Kalau begitu aku akan setiap hari bertemu dengan Patrick." Bukan Phuwin jika ia tidak menyahuti perkataan Pond.

"Aku akan sering-sering menelpon Dunk." Pond membalas tidak mau kalah.

Whoops!

Seharusnya Pond tahu kadar kecemburuan Phuwin pada gurunya itu. Dan Pond baru saja membangunkan gorila galak berbadan kurus ini.

"Berhenti sampai di sini." Pond berusaha mencegah. Menarik kikikan lirih dari Phuwin.

Jadi bagaimana dengan Pond?

Berhenti jika kalian tidak mau mengetahuinya atau sebelum penyakit muntaber menyerang. Menarik Phuwin ke dalam dekapannya tentu saja. Pertama ia memang ingin melakukannya dan yang kedua, ia ingin membendung suara Phuwin yang kelewat batas itu.

Selesai.

Boom! - PondPhuwinWhere stories live. Discover now