Chapter 3

8 6 2
                                    

Sendirian.

Sebuah kata yang sangat menggambarkan diriku. Dari tingkatan sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, aku tidak pernah berteman dengan siapapun. Ah ralat- lebih tepatnya mereka yang tidak mau bertemanku.

Entahlah aku tidak mengerti, apakah aku ini sebuah virus atau sebuah kesialan sampai harus dijauhi.

Aku cukup sadar diri, maka dari itu aku tidak pernah mengeluh kepada tuhan untuk diberikan seorang teman. Aku merasa memang tidak pantas.

Aku berjalan menelusuri koridor panjang tanpa ujung hanya untuk sekedar melihat-lihat, sesekali aku keluar kelas untuk melepas suntuk. Menghirup udara bebas, seakan-akan baru keluar dari kurungan.

Banyak siswa-siswi berlalu lalang kebetulan saat ini jam istirahat, ada yang bercanda ria. Mereka semuanya tahu cara menghabiskan waktu istirahat dengan baik.

Aku menoleh kesebuah ruangan terbuka dengan banyak kursi serta stand makanan, tempat dimana semua murid Hermosa high school bertemu untuk menuntaskan rasa lapar mereka.

Aku tersenyum pahit. Selama satu tahun bersekolah disini, aku tidak pernah menginjakkan kaki di kantin. Aku terlalu malu untuk berjalan sendirian ditengah keramaian, aku terlalu takut menghadapi ratusan manusia menatap ku penuh benci, dan aku tidak akan pernah sanggup untuk melakukannya.

Mungkin saja jika aku mempunyai teman aku akan berada disana sekarang, jika aku punya teman aku tidak akan malu untuk berjalan sendirian, jika aku punya teman aku sanggup untuk melakukannya.

Teman... Seolah-olah itu sebuah keharusan untuk dipunya, jika teman bisa dibeli sudah aku beli sejak lama. Aku membutuhkan seorang teman...

Bruk!

Karena terlalu larut dalam pemikiran bodohku itu sampai aku tidak melihat kemana arahku melangkah. Setengah menunduk aku meraba-raba sekitar mencari kacamata, sebenarnya aku masih bisa melihat tetapi warna kacamataku menyerupai lantai.

"Ma-maaf..." masih dengan meraba-raba sekitar, aku berusaha untuk menemukannya sehingga aku bisa melihat siapa orang yang baru saja aku tabrak.

"Apa lo bilang?!"

Aku terkejut, bola mataku hampir keluar dari tempatnya. Jantungku berpacu lebih cepat, keringat dingin mengucur tiba-tiba dari dahiku. Matilah aku.

"Akh!" aku memekik pelan ketika tanganku -yang sedang meraba telah menemukan benda yang aku cari- namun bukan itu masalahnya, tanganku diinjak bersama kacamatanya.

"Aku minta maaf..."

"Maaf lo bilang?! Mood gua lagi hancur dan ngeliat lo bikin makin hancur!"

Tamatlah riwayatku, aku kenal suara ini walaupun tidak melihat wajahnya dengan jelas. Dia orang yang manjadi alasanku tidak ingin menginjakkan kaki di kantin, dia orang yang menjadi alasan sampai saat ini aku tidak pernah memiliki teman.

Dia orang yang paling ditakuti dan disegani, bahkan kakak kelas saja takut untuk berurusan dengannya. Dia Bianca atau yang sering disebut ratu buli.

Dan sekarang aku berurusan dengan ratu buli.

Aku menunduk, merutuki kebodohanku sendiri. Sekarang menyesal saja tidak akan merubah apapun. Yang aku bisa lakukan saat ini berlutut dihadapannya dan meminta maaf berulang kali sampai dia mau memaafkanku.

"Aku ti-tidak sengaja sung-guh... Aku benar-benar minta ma--Akh!"

Rasanya sakit sekali ketika rambut dijambak kuat hingga aku bisa merasakan rambutnya akan terlepas dari kulit kepala. Aku menahan air mata yang sudah menumpuk.

Plak!

Padahal sakit pada kepala belum juga mereda tapi Bianca menambahkannya lagi pada wajah, panas bercampur perih. Hidungku menangkap bau amis  yang ada pada darah dan indra pengecap menangkap rasa asin pada bibir. Sudut bibirku berdarah.

Saat ini aku menjadi pusat perhatian, hal yang sangat aku benci. Tidak ada yang menolongku, semuanya diam menyaksikanku di tindas. Dimana rasa kemanusiaan mereka?

Rasanya aku ingin berteriak menanyakan hal itu.

Aku melihat tangan Bianca mengambang di udara mungkin ini akan menjadi tamparan ke-dua, aku memejamkan mataku merapalkan doa dalam hati. Bersiap-siap untuk mengahadapinya.

Satu.

Dua.

Tiga.

Pada hitungan ke-tiga aku tidak kunjung merasakan apapun, aku membuka mataku perlahan dengan buram aku melihat dua orang gadis saling menatap satu sama lain.

"Lo gila? Jangan bersikap anak kecil begini!"

Aku menyipitkan mataku, memfokuskan pada lawan bicara Bianca. Aku sedikit menghela napas lega, aku selamat setidaknya untuk hari ini.

Air diciptakan untuk melawan api, malaikat diciptakan untuk melawan iblis. Dan Senna diciptakan untuk melawan Bianca. Sekiranya itulah desas-desus yang sempat aku dengar belakang ini.

"Gua enggak punya urusan sama lu!" sentak Bianca. Gadis itu mengepalkan tangannya. Aku tahu Bianca benar-benar marah saat ini, entah apa yang membuatnya marah hingga aku kena imbasnya juga.

"Ini keterlaluan Bianca!" Senna tahu caranya mengontrol amarah, terlihat dari raut gadis itu dan cara bicaranya tenang namun penuh peringatan.

"Ini belum apa-apa dibandingkan lo yang sampai bunuh--" ucapannya terhenti, Bianca membuang muka kesembarang arah. Sebelum akhirnya dia meninggalkan ku dengan Senna.

Kondisi sekarang baik-baik saja, aku selamat. Tidak ada luka parah. Itu semua berkat Senna.

"Lo gapapa 'kan?"

"Gapapa..."

"Bibir Lo berdarah, ayok gua bantu ke UKS!"

Ini hanya luka biasa, tidak perlu seberlebihan itu. Dan luka ini juga bukan hal baru, paling besok sudah tidak apa-apa lagi.

Aku tertegun melihat perlakuan Senna, gadis itu menyematkan jaketnya pada bahuku, saking ketakutannya sampai tidak sadar bahwa seragamku basah.

"Ma-makasih... Tapi enggak perlu sampai ke UKS aku benar-benar tidak apa." Semoga saja ia tidak sakit hati karena penolakanku.

Senna menghela napas, "Syukur deh kalo gapapa,"

Hening, aku merasakan hawa canggung diantara kita.

"Kalo gitu gua duluan,"

Aku tersadar kembali, tidak boleh, ini adalah sebuah kesempatan bagus untuk mendapatkan seorang teman. Tapi Senna bukan orang biasa.

Siapa sih yang tidak mengenal Senna? Seantero sekolah mengenalnya, gadis pintar kesayangan guru-guru, gadis cantik incaran para laki-laki, dan gadis populer idaman semua orang. Manusia paling sempurna, julukannya.

"Tunggu!" aku berseru keras, sampai tidak sadar bahwa aku kembali menjadi pusat perhatian. Tapi aku tidak peduli, yang terpenting niatku ini.

"Iya?"

"Namaku Ayana," dengan pandangan buram aku melihat raut wajah kebingungannya. Kenapa aku malah mengajaknya berkenalan? Bukannya mengajak berteman. "Kamu mau berteman?"

Aku menggeleng cepat, tidak. Bukan sebuah pertanyaan tapi pernyataan supaya tidak ada penolakan. "Aku mau berteman denganmu!"

Tidak ku sangka Senna menerimanya tanpa pikir panjang, saat itulah kami resmi berteman.

Senna dengan kesempurnaannya.

Dan aku dengan kekurangannya.

🄸'🄼 🄿🄴🅁🄵🄴🄲🅃

I'm Perfectحيث تعيش القصص. اكتشف الآن