Chapter 4

12 6 1
                                    

Impian.

Semua orang jelas tahu apa itu impian. Sebuah angan-angan yang sangat ingin kita miliki. Terdengar sangat konyol. Itulah kenyataannya.

Semua orang tentu saja mempunyai impian. Walaupun itu sangat sulit untuk digapai. Setidaknya kita bisa mendapatkan apa yang kita mau, walaupun itu hanya mimpi.

Tentu saja aku mempunyai impian, seperti sekarang misalnya. Aku ingin berada di atas tribun penonton, menyoraki tim unggulan dari sekolah. Lalu dengan tiba-tiba Bastian mendatangiku dan mengacak-acak rambutku.

Iya Bastian, cowok paling populer disekolahku. Mengalahkan Edgarka yang notabenenya anak pemilik sekolah. Tentu saja semua orang mempunyai mimpi yang sama.

"Hey!"

Aku tersentak ketika seseorang meneriakiku dari belakang. Aku menoleh dengan cemas, takut melakukan kesalahan yang tidak aku sengaja. Aku menghembuskan napas lega, ternyata itu hanya Senna.

"Bengong aja dari tadi," Senna melipat kedua tangannya dibawah dada. Ia menatap ku dengan lekat. "Kesana yu, ngapain sih lo nonton dari sini?"

"Enggak deh, kamu aja." aku menolaknya halus.

Aku tidak ingin masalah bertambah besar, aku berteman dengan Senna saja sudah menjadi masalah. Apalagi ini nonton turnamen basket dengan dekat. Yang ada besoknya aku sudah terkurung di dalam gudang.

"Loh, kenapa enggak mau?" Aku melihat Senna mengerutkan keningnya, aku tahu dia pasti bingung.

Aku Pun juga bingung menjelaskan, kalau aku bilang aku tidak berani, pasti Senna akan menjawab 'kalau ada yang berani macam-macam gua ada buat lo' atau kalau aku bilang, aku malu, maka dia akan menjawab 'kenapa harus malu? Ada gua, enggak akan ada yang berani macam-macam.'

Memang benar ucapannya disaat ada Senna, tidak ada yang berani macam-macam dengan ku. Lalu bagaimana jika tidak ada Senna? Mereka itu tipe pendendam. Terutama Bianca.

Iya, sejak kejadian dimana aku tidak sengaja menabraknya, sekarang Bianca terang-terangan membully ku.

Bianca yang paling tidak suka pertemananku dengan Senna, dia yang terang-terangan bilang tidak suka. Sampai sekarang aku tidak tahu apa alasannya.

Bisa saja itu tanpa alasan. Siapa sih yang tidak mau berteman dengan Senna? Hanya orang aneh, yang bilang tidak.

"Tuh 'kan bengong lagi," Senna kembali berdecak gemas.

Lamunanku buyar seketika, tanpa aba-aba Senna langsung menarik lenganku. Aku belum siap dan otakku tidak mencerna apa yang sedang terjadi.

Aku sedikit berontak. Tapi, kekuatan Senna jauh lebih besar. Perasaan Senna tidak sekuat ini, makan apa ia tadi pagi?

"Aku enggak mauuu!" aku berani berucap kencang, karena koridor sedang sepi. Seluruh murid berada di lapangan basket. Jadi tidak ada yang mencemooh atas sikapku tadi.

"Harus mau, temenin gue,"

Penolakan ku kesebuah sia-sian. Aku lupa, Senna juga tidak mempunyai teman. Temannya hanya aku, aku tidak tahu alasannya. Dia bilang sih karena semua yang berteman dengannya hanya sebuah kepura-puraan, ia tidak suka.

"Ya udah sebentar," masih dengan posisi memeluk tembok, Senna melepaskan tarikannya. Aku merapikan rambut, serta seragam yang keluar tidak beraturan. "Udah, ayo!"

Berjalan beriringan, menuju lapangan basket. Setahuku, Senna tidak punya pacar. Kenapa ia kekeuh pengen kelapangan basket. Ada apa disana?

"Tumben kamu mau kelapangan basket?"

Senna menoleh, "Buat majalah sekolah Minggu ini,"

Ternyata hanya itu, aku pikir ada apa, soalnya ini bukan Senna banget yang suka nonton olahraga. Disaat ada turnamen seperti ini ia akan sibuk dengan buku-buku diperpustakaan.

Keadaan lapangan jauh lebih ramai, semuanya bersorak mendukung team kebanggaan. Saat aku dan Senna mulai menapakkan kaki dilapangan basket, semua mata langsung tertuju kepada Senna. Aku menjadi kikuk seketika. Bisik-bisik mulai terdengar.

Aku yakin mereka semua berpikir hal yang sama denganku, heran dengan kedatangan Senna. Sekali lagi aku ulangi Senna itu tidak suka menonton olahraga.

Semua pandang mata tidak lagi tertuju kepada Senna, menatap MC dengan hebohnya memberikan sorakan. Bertanda pertandingan akan segera dimulai.

"Tuh 'kan, aku bilang juga apa? Kamu aneh kalau disini." akhirnya aku mengungkap pandanganku.

"Kalau bukan karena tugas, gua juga males." Senna memutar bola mata malas, gadis itu tertegun melihat orang yang sejak tadi ia tunggu. "Itu Bastian!" dengan cekatan Senna langsung mengambil beberapa gambar.

Aku juga mengikuti arah pandang Senna, mataku berbinar-binar jika ini dunia novel dipastikan akan banyak bintang kelap-kelip pada bola mataku. Dia memang slalu tampan.

"Udah 'kan ambil foto doang?" aku mulai gerah kepanasan, lapangan basket memang bukan tempat yang bagus untuk bersantai. Aku mengedarkan pandanganku ke sepenjuru lapangan, apa mereka tidak merasa kepanasan?

"Enggak, sama wawancara juga." Senna tersenyum manis menatap kearahku lalu sudut matanya melirik pada lapangan. "Mau gua kenalin ke Bastian?"

Senna juga tau impianku.

🄸'🄼 🄿🄴🅁🄵🄴🄲🅃

I'm PerfectWhere stories live. Discover now