BAB 1

1.4K 50 1
                                    

Tandai Typo
Happy Reading...
***

Hai, ini Mia.
Mau tanya kalau Minggu pagi, terus lagi hujan, kalian bakalan lanjut tidur atau bangun buat beraktivitas seperti biasa?

Kebanyakan pasti bakal lanjut tidur kan? Udah jangan pada bohong, aku tau remaja jompo–sebutan anak jaman now–biasanya bakalan lebih lengket kepalanya sama bantal daripada bangun buat beberes dan sejenisnya.

Seharusnya begitu, tapi subuh tadi suamiku udah rewel minta masak ini itu kayak orang ngidam. Bukannya nggak mau masakin suami, disini tuh udah kesekian kalinya aku ngulang masak sesuai selera dia–yang biasanya nggak ribet–supaya aku bisa ngerjain pekerjaan rumah lain dengan cepat dan kembali bersatu sama tempat tidur.

"Mia, masak ulang lagi ya. Ini masih nggak pas rasanya kayak yang kemarin," suruh Mas Gian–suamiku.

"Itu udah sama loh resepnya seperti kemarin Mas," ucapku sesabar mungkin. Suami adalah kepala keluarga yang sewajarnya di turuti. Jangan meninggikan suara sama suami kalau nggak mau durhaka–kata ibuku.

"Malahan itu udah aku tambah-tambahin lagi sedikit. Masih kurang pas juga?"

Mas Gian mengangguk. "Kayak ada yang kurang Mia," jawabnya.

"Apanya yang kurang?"

"Jangan bilang nggak tau ya Mas. Ini Mia udah capek loh dari tadi bolak balik dapur, nyalain kompor juga berkali-kali buat masak ulang," sergahku sebelum Mas Gian sempat membuka mulutnya. Bodo amatlah di bilang istri durhaka.

"Yaudah yang pertama tadi mana sayurnya?" Mas Gian melirik satu persatu mangkuk di dekat kompor.

Aku mengusap dada, ya terus dari tadi aku masakin dia supaya bisa makan sesuai kemauannya itu gimana? Bisa penuaan dini kalau terus menghadapi sikap Mas Gian yang menyebalkan begitu.

"Cuma itu yang rasanya mendekati sayur sop kemarin." Dengan tenang dia kembali menyahut.

"Kamu itu loh Mas, pagi-pagi kalau nggak rewel bisa? Nggak kasian sama aku sebagai istri kamu ini."

"Biasanya juga kamu nggak protes," jawabnya santai.

Pengen sekali ku toyor kepala ganteng suamiku itu. Kalau nggak ingat surgaku ada sama dia.

"Tema bajumu hari ini apa Mas?"

"Baju biru aja," jawab Mas Gian.

"Tempat kerjamu itu Mas aneh-aneh aja sih. Tiap hari kok ada tema bajunya," gerutuku.

Di kantor Mas Gian entah kenapa ada peraturan tema baju setiap harinya. Katanya sih buat menjaga kesolidan sesama rekan kerja dan sebagainya lah. Ada aja gitu kesolidan di lihat dari warna baju. Yang ada tuh dilihat kinerjanya, saling bantu gitu. Aneh.

"Mas juga nggak ngerti. Udah aturan dari bosnya." Mas Gian merapikan piringnya setelah makanannya habis. "Kamu hari ini beresin rumah sendiri?" Tanyanya sebelum berdiri menuju wastafel untuk cuci piring bekas makannya.

"Iya. Mbok Ami masih cuti buat ngerawat anaknya yang habis lahiran." Aku melakukan hal yang sama, membawa piring kearah wastafel. Kebiasaan kami kalau sudah selesai makan. Kadang Mas Gian yang cuci piring sendiri, aku disuruh duduk aja.

"Panggil tukang bersih-bersih aja," suruh Mas Gian. Tumben.

Aku mengerutkan kening. Beberapa hari ini juga aku selalu bersihin rumah sendiri tuh.

"Kamu itu kalau beberapa hari ini suka ketiduran di sofa. Capek banget aku liatnya," lanjutnya. Ia menata rapi piring yang sudah di cuci.

"Nanti keluar uang lagi Mas. Aku lagi niat hemat pengeluaran." Menyuarakan ketidaksetujuanku. Akhir-akhir ini aku berusaha menghemat pengeluaran, karena suka pusing sendiri kalau lihat pengeluaran yang banyak banget. Mana di keluarkan untuk hal yang nggak penting menurutku.

"Aku masih bisa bersihin rumah sendiri. Nggak terlalu penting juga nyewa tukang bersih-bersih lagi," ucapku.

"Selama Mbok Ami cuti aja nyewanya, ya?" Mas Gian mendekatiku. Ia mengusap puncak kepalaku sekilas lalu beranjak ke kamar. Aku mengikutinya.

"Nggak usah Mas. Sekalian aku juga mau olahraga. Aku gemukan loh ini," tolakku atas sarannya.

Sebenarnya badanku emang naik semingguan ini. Rencana juga mau lari-lari kecil pagi ini.

Mas Gian menghentikan langkahnya yang akan menuju kamar mandi. Ia berbalik, memperhatikan tubuhku. Sejenak ia menatapku, sebelum mendekat.

"Itu tandanya istriku sehat." Mas Gian tersenyum ke arahku. Dengan jahil ia menyentil dahiku, ini biasanya ia lakukan kalau gemas dengan kelakuan atau perkataanku.

"Beresin rumahnya semampu kamu aja. Kalau capek istirahat jangan di paksakan."

Suamiku ini kalau sudah perhatian. Duh manisnya minta ampun. Gimana nggak sayang? 

Nggak apa-apalah pagi buta di recokin sama kemauan dia yang ribet. Kalau di ganti sama perhatian dan sayang kayak gini kan aku jadi luluh. Meleleh hati ini di buat Mas Gian, eh apasih lebay.

"Yaudah sana mandi. Siap-siap berangkat kerja, aku siapin dulu bajunya di kamar."

"Celananya yang santai aja ya, soalnya mau cek lokasi sama teman-teman kerja lain. Biar geraknya leluasa," katanya sebelum memasuki kamar mandi samping dapur.

Sebenarnya di kamar kami juga ada kamar mandinya, cuma ada masalah sama kerannya. Air nggak mau keluar, katanya mau di perbaiki dulu sama Mas Gian setelah pulang kerja.

Ya begini lah keseharian kami, sebagai istri aku bangun pagi buat masak, siapin pakaian kerja suami, beresin rumah dan pekerjaan lain yang sama seperti ibu rumah tangga lainnya.

Kenapa aku nggak kerja? Karena aku maunya begitu, mas Gian nggak pernah larang aku kalau mau kerja. Perhitunganku tuh gini, kegiatanku sehari-hari di rumah cukup banyak dan aku orangnya nggak akan bisa menyeimbangkan waktu serta tenaga aku untuk melakukan beban pekerjaan lebih lagi. Ya demi menjaga kesehatan diri dan juga pikiranku, aku memutuskan untuk fokus jadi ibu rumah tangga dulu.

Kalau nanti aku bosan dengan kegiatan yang aku lakukan ini, barulah cari kegiatan lain yang menarik. Mungkin saat itu aku bisa pertimbangkan untuk bekerja, tapi nggak di kantor atau perusahaan. Paling ya buat usaha sendiri mungkin.

"Celanamu tuh kok berhamburan gini sih Mas? Kamu kalau ambil celana buat sehari-hari tuh jangan ngasal ambilnya. Masa tiap hari aku ngerapiin terus ini celana sama baju-bajumu," dumelku. Mas Gian yang baru masuk kamar tersenyum melihat kekesalanku. Kok ya kebiasaannya yang satu ini nggak bisa hilang.

"Biar kamu ada kerjaan Mia," jawabnya. Aku memicing tajam mendengar hal itu.

"Nanti aku buang semua loh itu baju sama celanamu. Biar sekalian telanjang aja kamu."

Mas Gian mendekat ke arahku. Dia mengelus keningku lembut. "Ini loh kerutannya makin kelihatan kalau kamu marah-marah terus. Perasaan waktu umur pernikahan kita setahunan kamunya masih manja-manja."

Aku menghembuskan napas. Sabar Mia. Hati emang nggak bisa di ajak kerja sama, di lembutin dikit aja langsung luluh.

"Udah itu pake bajunya. Berangkat cepet, biar aku nggak darah tinggi karena ngomel mulu."

Aku beranjak keluar kamar. Menyiapkan bekal untuk suami tersayang.

"Sayur tadi jangan di masukin bekal ya. Nanti tumpah di tas, soalnya mau aku bawa ke lokasi nanti. Makannya disana aja, kan habis dari cek lokasi aku langsung pulang."

Aku mengangguk mendengar permintaan Mas Gian.

Tbc

Hai, aku update cerita baru. Jadi cerita ini yang bakalan aku fokusin setelah Ketemu Berondong tamat ya. Kalau Mission Failed tuh hanya update kalau aku lagi suntuk dan butuh suasana baru untuk merefresh otak aku.

Dan kali ini aku juga lagi pengen buat cerita dengan penggunaan POV full punyanya si Mia, jadi bukan POV author ya guys, pengen aja gitu buat cerita yang berciri khas kayak gini.

Jangan lupa vote dan komen

See you next part ❤️❤️

Ig: skjysh__

Look Like A Normal HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang