BAB 6

408 36 3
                                    

Tandai typo readers
Happy reading
***

Seperti hari biasanya, aku akan sibuk dengan pekerjaan di rumah. Dan di tambah dengan merawat kebun mini di halaman belakang juga.

Selesai dengan urusan kebun, saatnya untuk mandi pagi. Lalu bersantai nonton drama Korea yang telah aku unduh di laptop. Apalagi ditemani dengan setoples kripik singkong kesukaanku.

Iya, seharusnya seperti itu kegiatanku hari ini. Namun bagian bersantai itu tidak bisa ku lakukan di kala kunjungan mendadak mama dan ibu mertuaku.

Niatku ingin mengambil kripik di dapur pun ku urungkan, karena mendengar bunyi bel rumah. Begitu ku buka pintu rumah, nampaklah kehadiran kedua wanita paruh baya–mama dan ibu mertuaku–membawa banyak sekali paperbag di tangan mereka.

"Minum dulu tehnya Bu, Ma," ujarku begitu meletakkan dua cangkir terisi teh hangat di meja ruang santai.

"Habis darimana Ma?" Tanyaku pada Mama, sejenak ku lirik paperbag yang tersusun di lantai samping sofa tempatnya duduk.

"Oh ini. Habis belanja sama Ibumu, tadi kami udah janjian sekalian mampir kesini."

Aku mengangguk paham mendengar jawaban Mama. "Belanja apa aja emangnya? Banyak gitu Mia lihat," tanyaku penasaran.

"Papa suka ngeluh baju kemeja kerjanya kekecilan semua, jadi mama beliin yang baru. Terus Mbak Sekar curhat lagi pengen beli kain, yaudah sekalian aja belanja bareng," jelas Mama.

"Ini kain buat jahitin rok batik, soalnya Liora lagi nyari-nyari buat acara pelulusan sekolahnya," sambung ibu mertuaku.

"Liora kapan kelulusannya Bu?"

Sekarang aku memandang kearah ibu, memperhatikan raut wajahnya yang terlihat berusaha mengingat-ingat.

"Katanya sebulanan lagi, makanya ibu cari kainnya sekarang biar cepat jadinya."

"Liora mau lanjut kuliah Bu?" Tanyaku. Adik iparku memang sempat curhat padaku tentang kegalauan dirinya mau lanjut kuliah atau kerja saja dulu. Terkadang meminta saran padaku bagusnya bagaimana. Hanya bisa ku tanggapi bahwa itu harus sesuai keinginan hatinya, bukan karena paksaan atau perkataan orang lain. Toh nantinya dia yang akan menjalani, jadi jangan terpengaruh sama omongan orang. Kalau ke depannya ada masalah, emang siapa yang mau di salahkan? Orang lain? Emang orang itu mau tanggung jawab? Ya pasti nggak, kemungkinan besar malah di hujat lagi, di omongin lagi.

"Katanya masih di pikir-pikir lagi. Padahal tes SNMPTN udah lewat, tapi anaknya masih galau aja." Aku terkekeh geli mendengar celetukan ibu.

"Masih ada SBMPTN Mbak, jangan di paksain aja anaknya. Mungkin mau kerja dulu, atau istirahat dulu," ujar Mama.

"Aku ndak maksa dek, cuma ya kalau dia mau kuliah itu loh. Keburu seleksi masuk PTN-nya selesai," kata ibu terdengar khawatir.

"Segitu banyaknya belanjaan, nggak ada yang buat aku Ma?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan. Kasian juga Liora di omongin, orangnya nggak ada disini. Walau bukan omongan yang jelek sih, tapi lihat ibu yang jadi kepikiran membuatku sedikit merasa bersalah sudah mengungkit masa depan Liora.

"Oh iya, ada yang buat kamu sama Gian. Ini tadi milihnya berdua sama Mbak Sekar," jawab Mama dengan senyum ceria. Ia memberikan dua buah paperbag berwarna cokelat padaku. Melihat merk-nya membuat senyumku secerah matahari. Sudah pasti terjamin bahan dan ketahanannya sih ini.

Mungkin aku sedikit berbeda dengan pikiran orang lain. Aku lebih suka berbelanja barang yang sudah terjamin kualitasnya meski harganya mahal, dari pada barang murah yang aku ragukan kualitasnya. Dan akan membeli produk atau barang lain dengan merk yang sama untuk ku gunakan. Contohnya kayak yang Mama dan Ibu belikan ini, merk barangnya emang yang biasa aku pakai. Tentu harganya bisa di bilang cukup mahal.

"Makasih Ma, Bu," seruku ceria.

Ibu yang melihat tingkahku hanya tersenyum, sedangkan mama geleng-geleng kepala.

"Kamu sama Abang baik-baik aja kan hubungannya, Mia?" Tanya Ibu.

Aku mengangguk. "Iya ibu. Mas Gian emang suka ngambek, tapi nggak lama-lama kok. Bentaran juga baikan lagi."

"Halah, palingan kamu yang suka ngambek."

Aku cemberut mendengar perkataan Mama. "Kenyataan kok, Mas Gian suka ngambek."

Mama balas geleng-geleng kepala. "Gian, mukanya datar dan lempeng begitu. Masa tukang ngambek, ada-ada aja kamu itu."

Aku mendengus kesal. Ya emang muka datar begitu kalau sama orang lain, mana mau dia tunjukan kemanjaannya. Katanya jaga wibawa sebagi laki-laki, pret lah aku yang udah hidup sama dia dua tahun lebih ini malah sering dapat sifat menyebalkan Mas Gian.

Nggak ada wibawanya dia kalau udah berdua sama aku. Tapi kalau dia lagi marah sih serem juga.

"Abang biasanya pulang malam ya Mia?" Pertanyaan yang di layangkan padaku menghentikan batinku yang menggerutu akan kelakuan menyebalkan suamiku.

"Nggak Bu, nanti jam lima biasanya udah pulang," jawabku sopan.

Ibu mertuaku ini orangnya lembut sekali. Jadi agak segan kalau mau ngomong yang blak-blakan. Sering banget memberiku senyum hangat yang menenangkan. Berasa kalau aku ini di sayang kayak anak sendiri, makanya aku lebih nurut ke ibu dari pada Mama.

"Terus kamu begini dandanannya nyambut suamimu? Pake daster begini?" Tanya Mama dengan raut wajah mengejek.

Tuh kan beda banget sama ibu, padahal mama Annet itu mama kandungku loh. Aku kalau sama Mama emang lebih suka bertengkar, sejak dulu. Soalnya suka mancing emosi, ejekan tadi contohnya.

"Loh nggak apa-apa dek. Kayak begini aja Mia udah cantik kok, Abang nggak mungkin komentar," sahut Ibu.

Bisa kalian lihat perbedaannya kan.

"Ma, mas Gian malah lebih klepek-klepek sama aku kalau pake daster gini loh. Kan tinggal angkat aja kalau mau main," ujarku blak-blakan.

Mama mengusap wajahnya. "Kamu itu kalau ngomong, ya di saring dulu."

Aku tertawa kerasa melihat raut wajah malu-malu Mama. Siapa suruh ngejek aku. Kan kalau di balas gitu malah malu sendiri.

"Udah, yuk dek kita pulang. Kan udah di anterin bajunya buat Mia sama Abang," ajak Ibu pada Mama.

"Nggak mau nunggu sampe Mas Gian pulang Bu? Biar nanti di anterin pulangnya," cegahku.

"Sekarang kan udah canggih. Bisa pesan taksi online," jawab ibu.

Aku mengangguk saja. Membantu membawakan beberapa paperbag yang tersisa keluar rumah.

"Kamu yang baik sama Gian. Jangan suka ngelawan loh," nasihat Mama selagi menunggu pesanan taksi mereka tiba.

"Iya Ma, lagian kalau ngelawan nanti nggak dapat jajan," candaku membuat mama mendengus kesal.

Ibu yang memperhatikan interaksi ku dan Mama hanya tersenyum geli.

Sebuah mobil berwarna silver dengan tulisan nama sebuah aplikasi taksi online berhenti di luar pagar rumah.

Kembali aku membantu membawakan paperbag belanjaan ke arah mobil.

"Hati-hati di jalan ya Bu, Ma," kataku begitu Ibu dan Mama masuk ke dalam kursi penumpang. "Kabari kalau sudah sampai rumah," sambungku lalu menutup pintu mobil.

Taksi yang membawa kedua wanita kesayanganku itu beranjak meninggalkan area kompleksku. Setelah mobil itu tak terlihat lagi, aku berbalik menutup pagar dan beranjak ke dalam rumah. Saatnya menikmati kegiatan bersantai yang sempat tertunda.

Tbc.

Siapa yang sama kayak Mia, suka ejek-ejekan sama mamanya tapi saling sayang?😂

Si mas Gian nggak muncul dulu di part ini, karena lagi sama aku. Canda😂✌️

Kalau kalian suka sama cerita ini jangan lupa dukungannya berupa Vote dan komen ya.

Look Like A Normal HusbandWhere stories live. Discover now