Bab 12: Kale terlalu berharap

482 35 35
                                    

Haloooo, kembali lagi dengan Laeli Minu di sini. Terima kasih sudah terus mengikuti kisah ini.

Selamat Membaca.

***

Hari telah berganti, meski begitu, emosi Lesha belum juga pergi. Ia sudah kembali ke rumah setelah dijemput Kale. Dirinya tidak mau merepotkan Jiddan dan Almeera lebih banyak lagi. Dia juga tidak mau mereka itu memarahimya. Lagi pula, kemarin ia melihat raut penyesalan Kale. Rasa kasihannya terhadap sang suami masih ada.

Kemaren, Almeera memberitahu Lesha bahwa seorang istri tidak boleh meninggalkan rumah tanpa izin suami. Apalagi Lesha pergi karena marah terhadap sang suami, hal itu tentu dibenarkan. Istri Kale ini hendak membantah kata Kakak Iparnya, tapi sia-sia ketika Almeera sudah membawa hadis apa lagi ayat Al-Qur'an.

Oleh karena itulah Lesha bersedia pulang bersama Kale. Walau pun, ia hanya bicara ketika ditanya, itu juga secara singkat atau sekadar anggukan maupun menggelengkan kepala.

Setelah sampai di rumah, Lesha segera berganti pakaian dengan baju tidur. Ia menaiki tempat tidur lalu membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut. Posisi berbaringnya juga membelakangi Kale. Segera dirinya menutup mata berusaha terlelap. Ia tidak menghiraukan apa yang sang suami lakukan.

Hingga keesokan harinya aksi diam Lesha masih berlanjut. Ia siapkan kaos dan celana pendek untuk suaminya—sengaja dilakukan karena dua benda tersebut yang akhir-akhir ini Kale hindari.

"Adek!" Terdengar panggilan Kale hingga ke dapur. Lesha menghampiri sumber suara dalam diam. "Adek, cariin baju Mas yang merah, dong." Hal tersebut yang dirinya dengar ketika membuka pintu kamar.

"Itu apa?" Lesha menunjuk tempat tidur yang terdapat kaos merah bata.

"Bukan itu." Memang benar Lesha menyiapkan kaos berwarna merah, tapi bukan itu yang Kale maksud. "Yang banyak kancingnya."

Tanpa mengucapkan balasan terhadap kata-kata sang suami, Lesha membuka lemari pakaian. Ia mengambil kemeja berwarna merah marun. Diserahkannya langsung ke tangan Kale. Kemudian dirinya memutar langkah kaki kembali ke dapur.

Kale hanya mampu mengerutkan alis melihat kepergian Lesha. Ia ingin meminta istrinya itu menunggu dirinya berpakaian lalu ke ruang makan bersama. Namun, dirinya harus mengurungkan niat begitu melihat sang istri pergi tanpa kata.

Segera Kale merapikan penampilannya. Ia mengambil ponsel untuk dimasukkan ke dalam kantong celana. Kakinya bergerak menuju tempat Lesha berada.

Lesha meletakkan satu cangkir berisi teh manis begitu melihat suaminya sudah duduk di kursi meja makan. Kemudian ia lanjut mengambil satu piring berisi nasi goreng untuk sang suami. Setelah itu, istri Kale ingin pergi ke belakang rumah, masih tanpa berkata apa-apa.

Tadinya Kale ingin meminta segelas kopi kepada istrinya itu, tapi urung begitu Lesha meninggalkan meja makan tanpa suara. Dia meraih gagang cangkir berisi teh tersebut untuk menyesap isinya. "Aduh, panas.!" Ia rasa lidahnya terbakar akibat air yang ternyata masih panas itu.

Kale bangkit untuk mengambil air dingin. Setelah merasakan bibirnya membaik, ia meraih piring berisi nasi goreng. Satu sendok penuh masuk ke mulutnya. Ia merasa ada yang aneh dengan masakan tersebut. "Asin?" Dahinya mengernyit mendapati rasa makanan itu.

Kale hendak protes, tapi wajah Lesha tadi tidak terlihat baik. Mau tidak mau, ia harus menghabiskan isi piring tersebut. Berselang-seling ia masukan sesuap nasi dan air. Jika tidak begitu, dirinya ragu bisa menghabiskan Nasi goreng tersebut.

Kale rasa sikap istrinya hari berbeda. Aneh melihat Lesha yang biasanya tersenyum manis sambil bertanya ini itu kali ini hanya diam. Sekalipun sang istri tidak ikut sarapan, tapi sosoknya akan duduk menemani dirinya.

Satu Raga Dua Rasa (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang