Bab 25: Awal Kehancuran Sesungguhnya

678 28 53
                                    

Haloooo, kembali lagi dengan Laeli Minu di sini. Terima kasih sudah terus mengikuti kisah ini.

Selamat Membaca.

***

Pagi harinya, Lesha terbangun dengan kepala pusing. Tubuhnya terasa lemas. Untuk duduk saja rasanya sudah berat.

Ia memaksakan diri agar bisa duduk bersandar di kepala ranjang. Sembari memijat kening, ia mengedarkan pandangan. Jatungnya berdebar begitu kencang begitu menyadari dirinya berada di tempat asing.

"Ini di mana?" lirihnya. “Bukannya kemaren Adek lagi liat matahari terbenam sama Kak Zami?” Lanjutnya dalam hati.

Teringat kakak kelasnya itu, membuat Lesha, sekali lagi mengamati ruangan tempat dirinya berada saat ini. Visinya jatuh ke sisi lain ranjang. Di situ, terdapat Zami yang masih menutup mata.

Jantung Lesha seolah berhenti berdetak selama beberapa detik mendapati fakta bahwa dirinya dan Zami berbagi ranjang yang sama. Apa lagi ia juga berbagi satu selimut dengan pemuda itu.

"Ya Allah, ini kenapa bisa begini?" Ia bertanya dalam hati sambil memeluk kedua lututnya hingga tanpa sengaja selimut yang menutupi tubuh Zami tersingkap. Terlihatlah dada bintang tanpa balutan kain.

Mendapati hal tersebut membuat Lesha menunduk untuk mengecek penampilannya sendiri. Terlihat rambutnya terurai jatuh melalui sisi kepala. Ia meraba kepalanya sendiri untuk memastikan bahwa penutupnya masih berada pada tempatnya. Namun, kenyataan berkata sebaliknya. Ia meneliti lagi penampilannya. Ternyata dia hanya mengenakan maxi dress yang sebelumnya ia pakai tanpa pakaian dalam.

Sembari memegang kepala, perlahan Lesha bangkit dari tempat tidur untuk mencari kelengkapan pakaiannya yang lain. Rasa pusing pada kepalanya masih begitu terasa. Air matanya sudah berderai. Satu hal pasti yang ia inginkan saat ini yaitu segera meninggalkan tempat ini.

Begitu sudah mendapatkan pakaiannya yang lain, Lesha segera ke kamar mandi. Bukan untuk membersihkan diri melainkan merapikan penampilannya. Sebisa mungkin juga air matanya tidak boleh jatuh lagi untuk sekarang ini. Pokoknya, ia harus meninggalkan tempat ini secepat mungkin.

***
Zami sebenarnya sudah bangun sedari tadi. Ia terus menatap perempuan yang begitu dicintainya itu. Ketika merasakan tanda-tanda Lesha mulai membuka mata, dirinya melakukan hal sebaliknya yaitu menutup mata kembali.

Ketika mendengar suara tangis Lesha, Zami hanya mampu mengucapkan beribu maaf dalam hati. Ingin rasanya ia bangun untuk menenangkan perempuan itu. Mengucapkan maaf secara langsung sembari mengatakan betapa besar rasa cinta yang dirinya miliki untuk satu-satunya perempuan yang ia cinta tersebut.

Semakin lama mendengar Lesha terisak membuat hatinya juga sakit. Meski begitu, Zami tidak menyesali apa yang sudah diperbuatnya. Lagi pula, ini adalah satu-satunya kesempatan yang ia punya untuk memiliki perempuan itu. Jangankan memiliki, bahkan mungkin ini adalah pertemuan terakhir mereka. Satu hal pasti ketika ia melakukan perbuatan nekatnya ini, dirinya menganggap Lesha adalah istrinya.

Tadinya, Zami tidak ingin membiarkan Lesha pulang sendiri, tapi apalah daya sebagian besar anggota tubuhnya sudah mati rasa. Hanya tangan kanannya yang masih bisa ia gerakkan. Dirinya mengambil ponsel yang terletak di atas nakas.

[Bersiap di tempat!]

Ia kirim pesan tersebut kepada beberapa nomor. Berharap orang yang menerima pesan tersebut menjalankan instruksinya dengan baik.

Begitu mendapat jawaban pesan sesuai keinginannya, rasa sakit di kepala kembali menghantam begitu hebat. Ingin sekali ia berteriak sekeras-kerasnya untuk menyalurkan rasa sakit yang tidak terdefinisi tersebut. Namun, ia berusaha menahannya. Jangan sampai Lesha melihat dirinya kesakitan.

Biarkan saja perempuan itu menganggap dirinya bajingan, setidaknya ia sudah memuaskan keinginan terakhirnya. Jika ia mati hari ini, maka dirinya mati tanpa penyesalan.

Begitu Lesha meninggalkan dirinya sendiri dalam ruangan yang kini terasa begitu sunyi, sakit pada kepalanya datang dengan lebih hebat. Zami meremas ponsel yang masih ada dalam genggamannya untuk melampiaskan rasa sakit. Ia juga membiarkan bibirnya tergigit hingga berdarah asalkan teriakan tidak ke luar dari mulutnya sebelum Lesha benar-benar meninggalkan area vila ini.

***
Begitu Lesha merasa pakaiannya sudah rapi, ia bergegas meninggalkan tempat ini. Ia mengambil ponsel untuk memesan ojek daring sembari ke luar dari bangunan yang menjadi saksi harga dirinya hancur.

Sembari menunggu pesanannya ada yang mengambil, pikiran Lesha mengawang. Ia tidak menyangka kakak Kelas yang begitu ia hormati bahkan pernah ia cintai tega berbuat seperti ini. Dirinya bertanya-tanya apa kesalahan yang pernah diperbuat hingga ia harus menanggung hal seperti ini.

Air mata Lesha kembali mengalir dengan derasnya. Apa yang ia lakukan setelah ini. Ia juga tidak pulang semalam. Alasan apa yang bisa dirinya katakan jika Kale bertanya kenapa tidak pulang. Bagaimana jika suaminya itu menuduhnya yang macam-macam. Ia korban di sini, tapi bila sang suami menganggapnya tersangka, ia bisa apa.

Dari kejauhan terlihat sebuah motor mendekat. Lesha berusaha menghapus air matanya kembali. Jangan biarkan orang lain melihatnya menangis, karena ia tidak akan mampu menjelaskan jika ada yang bertanya alasannya.

Entah berapa lama motor yang membawa Lesha dalam boncengannya ini melaju. Yang pasti perempuan itu merasa begitu lama dalam perjalanan. Mati-matian ia menahan air mata yang hendak kembali turun.

"Mba, sudah sampai," kata bapak pengemudi ojek karena motor sudah berhenti, penumpangnya itu tidak ada tanda-tanda akan segera turun.

Lesha terbangun dari lamunannya mendengar hal tersebut. Ia segera melepas tali pengikat helm meski butuh beberapa kali percobaan hingga berhasil. Dirinya juga menyerahkan selembar uang berwarna biru.

"Mba, ini kembaliannya?" Pengemudi ojek daring itu menerima uang lebih dari nominal argo uang dibutuhkan sehingga berniat mengembalikan sisanya.

"Ambil aja, Pak," jawab Lesha lalu bergegas memasuki halaman rumah, tanpa melihat lagi ke belakang.

Seiring langkah yang semakin mendekati pintu rumah, detak jantung Lesha meningkat tajam. Ia tidak tahu akan mengatakan apa jika berhadapan dengan Kale. Ya, Allah, tolong aku! Jerit batinnya.

Baru memegang hendel pintu hendak memasukkan kunci, pintu itu udah terbuka dari dalam. Lesha langsung saja melepaskan tangannya dari hendel tersebut. Terlihat Kale melangkah ke luar.

Kale terkejut melihat Lesha ada di hadapannya saat ini. Ia meneliti penampilan istrinya itu. "Masih inget rumah?"

Lesha yang merasa suaminya memperhatikan penampilannya tidak berani mengangkat kepala. Sekalipun suaminya itu bertanya dengan nada tajam, ia tetap menunduk.

"Dari mana aja kamu? Masih inget punya rumah?" Kale kembali bertanya karena pertanyaan sebelumnya tidak dijawab.

"Maaf, Mas," lirih Lesha masih menundukkan kepala.

"Dari mana!" Kale mengeja setiap suku yang diucapkannya penuh penekanan. Giginya rapat dengan rahang mengeras.

Tidak pernah Lesha mendapati Kale berekspresi seperti itu. Dari suaranya saja terlihat menakutkan, apa lagi jika ia menatap matanya langsung.

"Maaf, Mas. Kemaren Adek ke rumah Nayla. Bantuin dia rawat ibunya yang sakit. Adek gak sadar ketiduran di sana." Lesha menjelaskan dengan suara pelan sambil terbata-bata.

"Bener?" Kale memastikan yang dijawab anggukan kepala. "Awas aja kalo Adek bohong!" Nada suaranya sudah sedikit lebih baik.

Kale kemudian menyerahkan tangannya untuk dicium takzim oleh istrinya. Setelahnya ia pergi ke toko karena memang pagi ini ada pengiriman beras yang harus ia awasi.

Begitu suaminya pergi, Lesha tidak lagi bisa menahan air mata. Setelah menutup pintu depan, tubuhnya luruh bersandar pada benda tersebut. Ia biarkan semua emosi yang dirasakan ke luar bersama air yang mengalir di pipi.
 
Bersambung ...

***

Terima kasih sudah membaca.

Bagaimana cerita kali ini?

Adakah yang ingin didiskusikan (digosipkan atau dighibahkan)?

Silakan tinggalkan jejaknya.

Satu Raga Dua Rasa (Tamat)Where stories live. Discover now