BAB 17

44 11 37
                                    

VITA

Cowok-cowok tuh kalau sudah malas apa memang selalu totalitas begini?

Beneran ini tanganku nggak bisa nggak gregetan sama tingkahnya Tora yang lagi mode malas gini. Bodo amat dia kesakitan sama cubitanku, habis ngeselin banget dia. Apa harus aku marah-marah dulu biar Tora nurut?

"Iya, aku tahu, Sayang, kalau maling sudah pada pintar, tapi aku beneran nggak ada waktu," kata Tora di sela-sela rintihannya.

Cubitanku berhenti, kasihan juga dia kayak gini. Namun, kalau dari awal dia sudah malas gini mau sampai kapan?

"Yowes nek ngono (ya sudah kalau begitu)." Aku melipat tangan di dada. "Besok kamu ada sidang banyak apa enggak? Aku lagi nggak ada syuting masak, hanya edit video untuk endorse teflon sama frozen food buat tenggat waktu minggu depan sama nunggu kiriman footage video kolaborasi sama Lila di kopitiam."

Tora mengutak-atik ponselnya, sepertinya dia menaruh semua jadwal kegiatannya pakai aplikasi google calendar. Aktivitas gulir layarnya berhenti dan tersenyum. "Besok sidangku dua yaitu jam delapan sama jam satu, terus sama serahkan berkas perkara yang mau maju ke sidang banding untuk diregistrasi ke panitera muda itu nanti setelah sidang jam satu. Berarti aku kosongnya jam sembilan."

Kini giliranku yang buka kalender ponsel, buat menyesuaikan jadwal edit video. Nungguin footage video Lila sih kemungkinan besok lusa, nggak mungkin besok persis. Lila kalau dalam fase edit video benar-benar tidak bisa diganggu.

"Oke, besok aku telepon kamu, Yang. Pokoknya semua harus sudah siap nggak ada lelet-lelet," perintahku dengan kacak pinggang.

"Iya, Non," jawab Tora pasrah.

***

Keesokan harinya setelah edit video, dengan mengenakan kemeja kotak-kotak warna nila dan celana jins biru pudar aku berkunjung ke kantor Tora yang letaknya di bawah jembatan layang yang mengarah ke tol Karanglo. Sebalnya aku di area ini adalah angkotnya berhenti sembarangan dan menghalangi kendaraan lain yang mau jalan, eh pas giliran bisa jalan malah lampunya ganti merah. Tora bilangnya dia hanya ninggalin mobilnya di kantor, soalnya malas parkir lagi kalau nanti balik kantor. Namun, Tora tidak memaksaku untuk mengantarnya kembali soalnya dia mau naik ojek daring saja.

Untung saja masuk sini nggak ditanya-tanyain, satpamnya ada di pintu samping, lagi bukain pagar buat kendaraan tahanan dari bertuliskan kejaksaan negeri kota Batu biar bisa lewat. Selesai parkir yang agak jauh dari lobi kantor kukabari Tora bahwa aku sudah sampai. Tidak sampai lima menit terdengar ketukan di kaca mobil.

"Aman, kan?" tanyaku ketika Tora sudah berhasil menutup pintu mobil toyota ayla merahku.

Tora membuka tas selempang warna biru dongker agak besar – kayak tas laptop, menunjukkan plastik hitam. Aku mengacungkan jempol lalu menyalakan mesin mobil. Selama perjalanan kami tidak banyak omong, kadang hanya selipin candaan dan cerita sedikit-sedikit kehidupan Tora yang di Surabaya, dan sambil nunggu lampu lalu lintas berganti hijau di daerah Ijen.

"Sayang, ini ponakanku lucu banget. Lihat deh." Tangan Tora terulur padaku, dia menunjukkan layar ponselnya berisi video ponakannya lagi joget salsa dengan tidak mengikuti alunan musik.

"Gemas banget, Yang. Pipinya gembul gitu." Cengkramanku di setir agak erat untuk mengekspresikannya, nggak berani lepas soalnya bahaya banget. Kalau ketemu pasti pipinya kutowel-towel terus.

"Mbak iparku kadang suka kirim videonya di grup keluarga, nggak kerasa Audrey sudah besar saja." Audrey adalah keponakan Tora yang sekarang tinggal di Sydney.

Tora adalah anak bungsu dari dua bersaudara, Kakaknya sudah menikah dan sekarang ikut istrinya tinggal di Sydney dan bekerja di perusahaan jaringan supermarket terkenal, kalau di sini tuh kayak Superindo gitu. Itu sih sekilas yang kutahu, Tora jarang cerita soal keluarganya dari dulu.

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Where stories live. Discover now