32|Pasien koma

22 8 0
                                    

"Kau tidak pernah meninggalkannya lagi setelah kau di sini" suara berat terdengat masuk setelah suara pintu dibuka. Langkah kakinya banyak membuktikan jika yang masuk lebih dari satu orang

Firly menoleh mendapati dokter dan dua perawat mendekat ke arahnya dan Rama. Sebuah senyuman menjawab pernyataan dokter tadi

"Jadi, kau yang bernama Firly?" Sebuah pertanyaan itu mendapat anggukan kepala dari Firly yang di sebutkan

"Saya akan keluar selagi dokter memeriksa" kata Firly berdiri dari duduknya

"Tidak perlu, duduk saja disini" doker yang murah senyum itu mencegah Firly sebelum beranjak selangkah lebih jauh dari Rama sementara dia memeriksa keadaan Rama

"Saya sudah tiga tahun menjadi penanggung jawab pasien ini. Membantunya melewati maut saat pertama kali ia di bawa kemari. Namun sepertinya di begitu kelelahan jadi membutuhkan istirahat yang lama" katanya

Firly hanya diam mendengarkan. Angin lembut yang berasal dari jendela membelai rambut Firly lalu menghampiri bunga di nakas dan menyebarkan aromanya. Rama terlihat tenang seolah ikut mendengarkan cerita dokter dan menunggu tanggapan dari Firly

"Tidur selama tiga tahun tidak membuatnya berhenti merindukan mu, pasien Rama selalu mengigau namamu ketika saya dan para tim memeriksa keadaannya. Akhirnya saya tau sekarang kenapa pasien Rama begitu mengingatmu" dokter menyidahi akhifitasnya kini pandangannya beralih menatap Firly yang tersenyum manis seolah mengerti maksud perkataan dokter jika memujinya cantik

"Apa kalian berpacaran?"

Firly membeku, senyumannya hilang. Bukan salah dokter mengajukan pertanyaan itu memang wajar siapapun pasti akan beranggapan Firly dan Rama adalah sepasang kekasih termasuk dokter yang selalu mendengar Rama menyebut nama Firly tidak yang lain. Sayangnya jawaban yang sebenarnya sangat bertolak belakang. Mereka saling menjauh saling menghindar, menjauh menolak untuk bertemu barang sesaat.

"Kami berada di sebuah hubungan rumit, dok saling mencintai namun juga saling menghindar satu sama lain" jawab Firly sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pelan

"Sayangnya saya tidak bisa menjadi dokter cinta untuk remaja jaman sekarang. Tapi pasti ada alasan kenapa jarak itu di pilih sebagai jawaban"

"Itulah mengapa saya kembali ke tempat ini setelah sekian lama menghindar dan mencoba melupakan Rama tapi sayangnya Rama menyambut kedatangan saya dengan keadaan seperti ini"

"Apa kau bertemu lelaki lain saat pergi?" Tatapan dokter mulai mencari arah pandangan Firly yang terlihat menunduk

"Saya kuliah, menyibaukkan diri untuk melupakan Rama namun juga menghindar dari yang lain"

"Selesaikan dulu kisah kalian sepertinya kalian sama sama memilihi rahasia yang berontak ingin diungkapkan satu sama lain"

"Apa kehadiran saya benar benar berpengaruh untuk kesadaran Rama, dok? Bagaimana hasil pemeriksaan dokter hari ini?"

"Pasien koma tidak bisa di prediksi kapan ia akan sadar apalagi keadaan Rama yang tetap konsisten di masa kritisnya. Tidak bertambah parah tapi juga tidak mau membaik"

Firly menatap ke arah Rama, sendu pikirannya mulai melukis kemungkinan kemungkinan mengerikan lagi

"Menurut dokter apakah pasien yang koma sampai tiga tahun masih bisa sadar?" Firly memutar pandangannya menatap penuh harap pada dokter seolah membutuhkan jawaban yang tidak akan membuatnya tersakiti oleh keadaan

"Saya pernah mendapat pasien yang keadaannya tidak jauh berbeda dengan Rama. Dia tertidur lebih lama dari pasien Rama. Dia memiliki anak kecil yang bertumbuh dewasa setelah ia terbangun sepuluh tahun dari komanya"

Firly kaget bukan main. Dunia medis memang selalu penuh dengan kejutan, entah itu akan berakhir baik atau malah berakhir buruk. Namun jawaban itu sedikit membuat keyakinan Firly percaya bahwa Rama akan sadar.

Dokter dan para perawat keluar karena harus bertugas ke pasien lainnya. Tinggallah Firly sendiri__ tidak maksudnya berdua dengan Rama.

Firly menoleh ke arah Rama, melihat wajahnya yang tergalang dua selang besar berwarna biru dan putih. Digenggam telapak tangan Rama yang sudah ia basuh tadi. Setiap Firly datang pagi pagi ia akan selalu membasuh Rama agar tetap bersih. Dipandangnya wajah damai Rama yang seakan enggan untuk membuka mata. Seolah mimpi yang dikirimkan Morpheus begitu indah sehingga benar benar membuatnya nyaman dan lebih memilih mimpi sebagai kehidupan utamanya.

Terlintas kembali kemungkinan di otaknya yang sudah ia tangkap jika kemungkinan itu adalah kemungkinan paling benar dari semua kemungkinan kemungkinan yang menguasai pikirannya. Kemungkinan tentang suara aneh yang kerap memanggilnya dan dirinya yang terseret menuju masalalu namun hanya mengulang semua waktu bersama Rama juga pengakuan Mela yang juga semakin memperjelas jika memang ada sesuatu dibalik tidur panjang Rama.

Jawaban dokter yang menyebutkan jika bangunnya pasien koma tidak bisa di prediksi juga terlintas begitu saja di benak Firly. Bagaimanapun juga ia harus yakin jika masih ada harapan untuk Rama sadar. Setidaknya.

Namun sedikit harapan itu memudar terkalahkan oleh omongan Ian yang sudah merasa tidak sanggup untuk tetap bertahan dengan biaya rumah sakit yang mahal sementara Rama masih enggan membuka matanya.

Firly menyembunyikan wajahnya pada kasur dan tautan tangannya yang masih setia menggenggam tangan Rama. Ia kembali menangis. Mengutuk dirinya yang harusnya datang lebih awal. Mungkin Rama akan sadar lebih awal juga jika Firly bisa mengorbankan sedikit saja egonya untuk ego keduanya yang sama sama keras kepala.

"Dulu gue selalu marah kalo lo tiba tiba genggam tangan gue kayak gini" monolog Firly ditengah tangisannya

"Tapi sekarang malah gue duluan yang genggam tangan lo"

"Apa lo gak pengen bangun dan balik marahin gue karena gue genggam tangan lo?"

Drrtt...
Drttt...

Ponsel Firly berdering pelan yang menimbulkan getaran karena bergesekan dengan permukaan nakas. Di raih ponsel berwarna merah muda menampilkan nama 'Nenes Cerewet' nama itu terakhir kali di ubah saat Nesya tidak berhenti mengomel karena mengira Firly berpacaran dengan Rama tanpa menceritakan apa apa padanya. Dan nama itu masih dibiarkan begitu sampai sekarang.

"Haaaaaa gue bosennn! Kesel sama senior senior yang pergi tanpa ngajakin gue ihhhhh sebel banget mentang mentang gue cuman anak magang gak di ajak ciba aja giliran beli makan atau beli kopi pasti gue muluk yang jadi sasaran empuk hihhh gue sumpahin acaranya gak lancar karna gak ngajak gue"  keluh kesah dengan suara cempreng  langsung masuk ke telinga Firly tanpa sapaan halus sekedar menyapa 'halo'

"Suara lo bisa sampe ke mimpi Rama tau" balas Firly menyisakan sedikit isakan mengingat tadi ia menangis sesaat

"Lo nangis lagi?"

"Dikit"

"Huhh punya sahabat satu cengeng banget sabar banget gue mah Ly dengwr lu nangis tiap hari"

"Iya iyaa makasih sahabat"

"Rama gimana?"

"Tadi dokter abis cek keadaannya. Gue juga tanya tentang rasa penasaran gue"

"Terus apa jawaban dokter? Sesuai harapan lo?"

"Jawabannya sesuai tapi keadaanya yang gak sesuai. Kata dokter dia pernah dapet pasien yang sadar dari koma setelah sepuluh tahun gue awalnya yakin seenggaknya jawaban itu bikin gue percaya kalo Rama pasti sadar. Tapi kata kak Ian dia gak sanggup kalo pertahanin Rama lwbih lama lagi"

Terdengar perubahan suasana dari suara Firly yang didengar Nesya. Suara keputus asaan yang sangat meski hanya terdengar di balik telpon.

"Gue pengen makan pizza" akhirnya Nesya mencoba mengalihkan pembicaraan agar Firly tidak berlarut dengan pikiran sedihnya

"Makan siang nanti gue ke sana ya sekalian bawa pizza kita makan bareng"

"Gue akan pesen ekstra chees"

"RAMA..." terdengar dari sebrang suara Firly yang tadinya sedih mendadak gusar seolah ada sesuatu terjadi padanya. Nafasnya terengah engah sangat terdengat jelas

"RAMA.."

"DOKTER... DOKTER.." Jeritan Firly begitu kencang terdengar sampai ke sebrang Nesya

NOSTALGIA✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora