37. Kehadiran Si Penipu

17 6 0
                                    

   Adit mengerjap pelan. Dengan sigap ia menghampiri Puspa yang sedang meringis kesakitan. Ia berlutut, memijat kaki Puspa yang sakit.

   "Bentar lagi sembuh," katanya datar.

   Puspa menatap Adit sebal. Memang rasa sakitnya sudah sedikit hilang tapi rasa malunya itu yang sulit dihilangkan. Ia bangkit, dibantu Adit berjalan ke kursinya lagi.

   "Lain kali gak usah joget," ujar Adit di sela-sela perjalanannya. "Masalahnya, kamu joget kayak cacing ke panasan."

   Spontan Puspa langsung menampar Adit kemudian merajuk. "Lo jahat!"

   Adit berdeham. Ia mengambil piring kotor kemudian menyimpannya di bawah kursi.

   "Ini semua gak akan terjadi kalau lo gak paku high heels gue!"

   "Maaf."

   Puspa menatap Adit tajam. "Enteng banget itu mulut bilang maaf."

   "Saya harus bilang apa?"

   "Ih!" Bibirnya maju ke depan, wajahnya kecut, sangat tidak sedap dipandang. "Gue mau pulang."

   "Silahkan."

   Puspa menjitak Adit. "Lo gak peka banget sih, masa iya gue harus jalan kaki."

   "Tinggal patahin satu lagi jadi sandal."

   Puspa memajukan bibirnya. Ia berdiri, sedikit berjinjit. "Lo ngomong kayak gak pernah pake otak."

   "Maaf."

   Gadis itu menghentakan kaki dengan keras. Mau marah, sudah sikapnya seperti itu. Terpaksa harus menahan emosi agar tidak diperhatikan orang-orang.

   "Gue mau pulang..." katanya sambil menarik-narik baju Adit.

   "Iya-iya." Adit melepaskan tangan Puspa. "Tunggu di sini!"

   Lelaki itu berjalan ke atas pelaminan. Senyum Wirman, Neta dan keluarga menyambut kedatangannya. Ia menyalami satu per satu tangan yang dijabat. Lalu berpelukan sambil menepukan dada pada sahabatnya.

   "Makasih udah datang, semoga lo cepet nyusul gue," ucap Wirman lalu melepas pelukannya. "Lo ke sini sama siapa?"

   "Biasa."

   Wirman mengangguk paham. Ia menatap Adit sedih—tahu rasanya menjadi jomlo. Tidak enak, sulit bercerita bahkan memadu kasih saja tak mampu.

   "Semoga langgeng sampai tua," ucapnya lalu memasukan amplop putih ke dalam kotak dan pergi menghampiri Puspa.

   Puspa yang melihat adegan dua sahabat itu langsung buru-buru memasang wajah murungnya. Ia tersenyum licik ketika Adit datang. Perasaannya sangat puas karena bisa menyiksa bantin lelaki itu.

   Adit berlutut, "Naik! Saya gendong."

   Puspa tersenyum sumringah. Ia segera naik ke atas punggung Adit. Kereta rodi pun berjalan....

   Di dekat gapura cinta, tampak Rafi sedang menggendong adiknya. Ia tersenyum senang dan sedikit basa-basi saat berpapasan dengan Adit.

   Kedua kakinya terus melangkah, ia tidak terlalu memedulikan sifat Puspa yang petakilan atau seperti anak kecil. Karena ia tahu, bahwa semua itu hanyalah efemeral, bukan untuk selamanya.

   "Gue punya satu pertanyaan," celetuk Puspa. Kening Adit langsung berkerut. "Gimana kalau gue nikah sama si Agus?"

   Adit tidak menjawab. Hanya langkah kaki yang berpadu dengan merdu knalpot yang membalasnya.

PATAH HATIWhere stories live. Discover now