:: Bab IV ::

1.5K 110 1
                                    

Tidak ada hal lain yang Ranggi butuhkan kecuali menghabiskan malam yang tenang dan damai setelah mandi menggunakan air dingin yang menyegarkan, kemudian masak mie instan rebus, lantas berbaring di ranjangnya yang empuk.

Sesederhana itu. Tapi, untuk mewujudkannya, ternyata tidak semudah apa yang Ranggi mau.

Alih-alih bisa mengistirahatkan tubuhnya, Ranggi harus mempertahankan bokongnya yang mulai panas untuk tetap menempel di sofa. Selagi dirinya menjadi objek penelitian dua orang di hadapannya. 

Lebih tepatnya tiga orang. Tapi, yang satu lagi bersembunyi di belakang dua orang yang lain. Tatapannya menyiratkan ketakutan dan kewaspadaan.

Padahal, Ranggi yakin wajahnya tak menampakkan dirinya memiliki potensi untuk melakukan kejahatan. Eman saja bilang dia tampan. Jadi, harusnya tak ada yang perlu ditakutkan darinya.

"Jadi, Mas ini siapa, ya? Kenapa bisa ada di rumah mertua saya?"

Pria yang sepertinya sebaya dengan sang Papa di rumah, menjadi yang pertama mengajukan pertanyaan. Ranggi tahu ini bukan sesi wawancara kerja, tapi entah mengapa ketegangan yang ia rasakan sekarang tak jauh berbeda.

Jakun yang menonjol di leher Ranggi bergerak naik turun. Ia membersihkan tenggorokannya secara singkat sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang bergetar ragu. 

"Saya tinggal di sini."

"Tinggal? Di sini? Siapa yang ngizinin?" Sekarang, wanita di sebelah pria itu yang mengajukan pertanyaan. Berbeda dengan si pria yang tampak ramah, wanita itu mengerutkan kening, seolah tak senang dengan jawabannya. Atau mungkin, tak suka dengan kehadirannya di sana. 

"Si Mbah," jawab Ranggi.

Ia sempat menggaruk pelan tengkuknya sebelum melanjutkan. Tatapan dari orang-orang yang berusaha mengorek informasi darinya itu menyebabkan kata-katanya terbelit-belit, "Sebenarnya, bukan tinggal. Tapi, nyewa. Bukan nyewa juga sebenarnya. Tapi, saya bayar untuk kamar yang saya tempatin. Yang itu." 

Ketiga orang itu mengikuti ke arah mana Ranggi menunjuk. Mereka meniti fokus ke arah pintu kamarnya yang terbuat dari kayu dan dicat warna coklat, lantas saling beradu pandang satu sama lain. Ranggi pun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengubah posisi duduknya, dan merileks-kan punggungnya yang sejak tadi dalam posisi tegak sempurna. Pegal bukan main.

"Sejak kapan, Mas?"

Pria di hadapan Ranggi kembali bertanya. Ranggi tak mungkin mendiaminya atau wanita di sebelah pria itu akan mencincang tubuhnya dengan tatapan yang tajam bagaikan samurai. 

"Sejak 2 tahun yang lalu... kalau gak salah."

"Kenapa Mas bisa sampai ke sini? Mas ini asalnya dari mana? Bukan orang asli sini, kan, pasti?" Lagi-lagi diberondong pertanyaan menyebabkan Ranggi menelan ludah berkali-kali. Ini jauh melelahkan ketimbang menjawab pertanyaan pada sesi wawancara kerjanya 5 tahun yang lalu. 

Ia bahkan belum tahu siapa sebenarnya tiga orang di hadapannya itu, tapi ia merasa memiliki kewajiban untuk menjawab setiap pertanyaan yang diberikan kepadanya. Harusnya Ranggi bisa membatasi mereka untuk tak terus mengulik-ngulik tentang dirinya, di saat mereka belum mengenal satu sama lain. 

"Sebelumnya, Bapak sama Ibu ini siapa, ya-"

"Saya anaknya yang punya rumah. Jadi, sekarang jawab pertanyaan saya barusan."

Ranggi cukup terkejut karena diserobot secepat itu. Terlebih nada yang digunakan wanita paruh baya itu seolah dia sedang menaruh kecurigaan besar terhadapnya. Ranggi bahkan tak bisa mengabaikan fakta bahwa sejak mereka bertemu, wanita itu terus menatapnya dengan sinis.

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now