:: Bab XXII ::

974 95 26
                                    

Meski sudah memaki dirinya sendiri untuk berhenti memikirkan Ranggi, Flo masih saja terbayang dengan cara pria itu menghindarinya. Bodohnya lagi, ia sempat celingukan ke sana ke mari, berharap Ranggi belum pergi terlalu jauh. Dan hasilnya, tak ia temukan pria itu dimana pun.

Flo mengayuh sepedanya secepat mungkin. Ia putar musik sekencang-kencangnya untuk menghalau pikirannya yang terlalu berisik.

Ranggi sudah jelas menghindarinya dan mestinya ia tidak perlu memikirkan alasannya lagi. Tapi kebalikannya, ia masih saja bertanya-tanya mengapa Ranggi bersikap seperti ini.

Tenggelam dalam isi kepalanya sendiri, Flo tidak memperhatikan apapun yang ada di sekitarnya. Termasuk kedatangan sebuah mobil dari sisi samping yang berusaha menyingkirkannya tapi berujung membuatnya terserempet hingga jatuh.

Insiden itu jelas mencuri perhatian banyak orang. Sementara Flo hanya bisa tercenung karena kejadiannya begitu cepat. Tahu-tahu, ia sudah terguling, sepedanya tersungkur, lutut serta sikunya lecet, dan bungkusan berisi sate-nya jadi berceceran.

Kendati demikian, Flo lebih memikirkan earphone yang tadi ia gunakan. Sempat tergeletak di jalan, earphone tersebut sudah putus menjadi 2 bagian. Flo mengambilnya, lantas meratapi dalam diam.

"Flo!"

Panggilan tersebut tak sedikitpun memantik Flo untuk berpaling. Ia masih memaku fokus pada earphone rusak itu, berpikir bagaimana cara memperbaikinya agar bisa berfungsi lagi.

"Flo!"

Panggilan kedua disertai sentuhan pada pundak yang akhirnya membuat Flo berhenti berputar di dalam pikirannya sendiri. Ia mengangkat pandangan dan di saat bersamaan, keningnya langsung berlapis kerutan.

"B-bim..."

Seorang pria jangkung menyembul di antara lingkaran manusia yang mengelilingi Flo. Dia adalah Bima, yang entah bagaimana bisa datang di momen yang tepat.

"Gue antar lo ke rumah sakit, ya."

Bersama kekhawatiran yang terlukis jelas di antara garis wajahnya, dia langsung berlutut dengan posisi memunggungi Flo. Ketika Flo bahkan belum menyetujui tawaran tersebut, orang-orang sudah lebih dulu memapahnya untuk naik ke atas punggung pria itu. Mereka pasti berpikir kalau Bima dan ia sudah saling mengenal, dengan begitu Bima akan mengurus dirinya.

"B-bim, gak usah kayak gini. Gue bisa jalan-"

"Udah, diam. Gue gak butuh penolakan lo," sela Bima dengan tegas, lalu dengan cepat membawa Flo ke mobilnya yang terparkir di seberang jalan seakan dia tengah menggendong bantal kapas yang ringan.

Flo pun dengan hati-hati berpindah ke kursi penumpang bagian depan. Ia masih berusaha menolak bantuan Bima, tapi pria itu keburu menutup pintu lalu kembali ke tempat ia terserempet tadi hanya untuk mengambil sepedanya.

Tak berselang lama, Bima nongol dan langsung duduk di kursi pengemudi. Melihat dia tergesa-gesa memasang sabuk pengaman, Flo pun ikut-ikutan. Ia sempat menangkap lirikan Bima untuknya, mungkin pria itu bermaksud memastikan sabuk pengamannya sudah terpasang. Baru kemudian tancap gas, meninggalkan kemacetan kecil yang terjadi karena dirinya itu.

...

Padahal, Bima bisa membawanya ke klinik kecil mengingat lukanya tidak begitu parah. Namun, pria itu malah mengantar Flo ke rumah sakit besar yang tentunya akan memakan banyak biaya.

Perawat dengan cekatan menangani luka gores yang menghiasi lutut dan siku Flo. Ia bahkan baru sadar kalau dagunya juga terluka saat seorang dokter datang untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh.

Diperban sana sini, tampilan Flo lumayan berantakan. Tidak ingin tagihan membengkak bila ia berleha-leha di sana, Flo langsung pergi untuk mencari Bima. Ia bukan manusia yang tak tahu terima kasih.

Angry Om is My Housemate [ C O M P L E T E ]Where stories live. Discover now