Ring 1

713 155 14
                                    

Alunan musik accoustic mengalun merdu di telinga setiap tamu yang berada di kafe ini. Termasuk telinga Ameera yang baru saja menyelesaikan transaksinya dengan salah satu customer yang telah menjadi langganan tetapnya selana tiga tahun ini. Tidak mudah membujuk Bu Tanti untuk membeli produknya. Namun, siapa sangka setelah melihat design pakaian yang dibuat oleh Ameera, perempuan yang memiliki suami bekerja sebagia anggota polisi ini langsung menyukainya dan telah menjadi langganan butik miliknya. Butik dengan gaun-gaun cantik yang dilukis dengan kedua tangan Ameera sendiri.

Kali ini, Ibu Tanti ingin mengenakan gaun lilac untuk pernikahan keponakannya dan untuk itulah ia mengajak Ameera bertemu siang ini. Dengan tujuan menjelaskan secara detail gaun yang diinginkannya kelak.

Ameera memasukkan buku sketsa miliknya ke dalam tote bag putih dan saat itulah ponsel miliknya berbunyi. "Iya, Re," jawabnya.

"Kak Ameera kapan balik ke butik?" tanya Rere dari seberang sana.

"Ini mau balik. Ada apa?"

"A-ada yang mau ketemu kak Ami..." Nada gugup terdengar jelas dalam ucapan Rere, karyawan Ameera yang telah bekerja dengannya selama lima belas bulan. "Namanya Riska Lianaputri."

Mendengar nama itu disebut, darah Ameera berdesir. Menimbulkan rasa marah dan rasa sakit yang telah berhasil disembunyikannya selama dua bulan ini kembali muncul ke atas permukaan. "Bilang saja kalau aku tidak mau bertemu dengannya," perintah Ameera dingin.

"Katanya... penting kak," sahut Rere hati-hati. Ia tahu bagaimana kisah cinta atasannya berakhir tragis dan menyakitkan. Hanya saja dia tidak tahu jika perempuan di hadapannya kali ini adalah sumber rasa sakit itu.

Rahang Ameera mengeras. Suara gigi yang beradu sukses menyiratkan amarah yang sedang ditahannya saat ini. "Aku segera ke sana." Ameera langsung mengakhiri panggilannya. Ia menelan salivanya dengan sulit. Rasa sakit di dadanya kembali muncul. Sudah berapa lama ia mencoba melupakan semuanya. Namun, hasilnya nihil. Ia tidak mampu. Karena manusia diciptakan bukan untuk melupakan. Melainkan mengingat. Sehingga seberapa keras usahanya untuk melupakan kejadian itu, Ameera tidak pernah bisa. Maka dari itu, meski dua bulan sudah berlalu luka itu masih terbuka lebar dan berdarah.

Sesampainya di halaman parkir butik miliknya, dari balik kaca mobil Ameera dapat melihat perempuan itu duduk di salah satu sofa dekat kaca jendela besar yang ia sediakan untuk tamu. Ameera menarik napas panjang. Dalam hati ia terus merapal mantra. Kali ini pun kamu pasti bisa menghadapinya, Ameera!

Ameera melangkahkan kakinya keluar dari mobil sedan miliknya dan melangkah mendekat ke pintu kaca butik. Udara pendingin ruangan menyambut Ameera seakan ingin memberi peringatan jika pertemuan ini akan lebih dingin dari dinginnya udara di ruangan ini.

Riska yang tampak sibuk dengan ponselnya mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil ketika pandangan matanya bertemu dengan manik gelap dan dingin milik Ameera. Ia bangkit berdiri dan menghampiri tempat Ameera. Sebelum memulai percakapan di antara mereka, Ameera meminta Rere untuk ke mini market tak jauh dari situ.

"Aku tahu kamu akan datang," ucapnya penuh kepercayaan diri setelah Rere tak lagi bersama dengan mereka.

"Hal penting apa yang ingin kamu bicarakan?" sahut Ameera sedingin es.

"Dingin sekali kamu Ameera. Ramah sedikitlah denganku. Bagaimanapun aku masih sepupumu. Kamu tidak bisa menyangkal itu." Riska tersenyum lebar. Lebih tepatnya senyum mengejek.

Tanpa sadar Ameera mengepalkan tangannya yang tidak membawa tas erat-erat. Darahnya berdesir cepat menuju kepalanya. Meski begitu ia tetap berusaha menahan amarahnya. "Jika tidak ada yang ingin kamu bicarakan, aku akan pergi."

Ameera melangkahkan kakinya. Namun, baru saja dua langkah ucapan Riska sukses membuat langkahnya berhenti.

"Aku dan Richard akan menikah!" Riska terdiam sejenak dan melanjutkan sembari meraih sebuah kartu dari dalam tas yang digenggamnya, "aku ke sini ingin memberikanmu kartu undangan ini secara langsung."

Di tempatnya berdiri Ameera merasa seperti ada sebongkah batu besar yang menimpanya tepat di atas kepalanya sampai hancur berkeping-keping. Harus berapa kali mereka harus menghancurkan hatinya? Mengapa mereka setega ini kepadanya? Apa salahnya selama ini?

"Selamat untukmu. Tapi aku tidak akan datang."

"Aku tidak peduli kamu akan datang atau tidak. Aku hanya ingin memberitahumu dari bibirku sendiri dan melihat reaksimu secara langsung." Riska menarik sebelah sudut bibirnya. "Dan sekarang aku sudah tahu. Maka dari itu, aku akan meletakkan undangan ini di sini. Karena bagaimanapun itu adalah tujuanku ke sini." Selesai mengatakannya Riska melangkahkan kakinya menuju pintu. Namun, sebelum ia melangkah keluar ia memutar tubuhnya dan memandang punggung Ameera sekali lagi. "Kamu seharusnya sadar diri Ameera. Sehingga hal ini tidak perlu terjadi pada dirimu. "

Selesai mengatakan itu, Riska pun berlalu dari situ. Meninggalkan Ameera yang mematung seorang diri dalam kehancuran. Dari balik punggung tegaknya yang tampak kuat tak ada yang tahu jika sebulir bening kristal telah mengalir dari pelupuk matanya. Hatinya sakit. Dadanya terasa sesak. Diangkatnya sebelah tangannya yang bebas dan Ameera mulai memukul dadanya yang terasa sakit. Berharap dengan pukulan itu rasa sakitnya menghilang. Sayangnya seberapa keras dan banyaknya ia memukul dadanya, rasa sakit itu tak kunjung hilang. Mengapa Tuhan? Mengapa semua ini harus terjadi kepadanya?

***

Lanjutkah? 😁
Terima kasih sudah membaca cerita ini. Dukungan kalian sangat diperlukan untuk melanjutkan cerita ini. Happy ready all. 😆

The Magic RingWhere stories live. Discover now