Ring 3

620 137 3
                                    

Alunan Maroon Five sukses menyadarkan lamunan Ameera. Ia melirik ponselnya yang tergeletak di atas meja dan menemukan sebuah nama yang paling dihindarinya tertera di layar ponsel miliknya. Tante Anggi alias Ibu yang melahirkan Riska. Ameera menarik napas panjang dan membiarkan panggilan itu selama beberapa detik sebelum akhirnya dijawab.

"Iya Tan?"

"Ameera, kamu sudah bertemu Riska?"

"Sudah."

"Datang ya. Awas kalau sampai tidak datang! Artinya kamu tidak menghormati tante sebagai adik ibumu!"

Ameera menarik napas panjang lagi. "Apakah tante sadar dengan ucapan tante? Bukannya tante yang tidak menghormati aku? Tante lupa apa yang telah dilakukan oleh putri tante padaku!?"

"Loh.. Loh.. Kenapa kamu jadi marah-marah begini? Toh hubungan kamu dan Richard sudah berakhir. Pokoknya kamu harus datang!"

Panggilan berakhir. Perempuan paruh baya itu mengakhiri panggilannya.

"Wanita gila!" maki Ameera pelan. Perempuan mana yang mau datang ke acara pernikahan sialan itu!? Terutama jika kekasihnya yang masih dicintainya adalah mempelai prianya! Ameera memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. Ia kira masalah ini telah berakhir. Namun, siapa sangka jika akan kembali muncul ke atas permukaan lagi.

Tak kuat menahan rasa sakit kepalanya, Ameera bangkit berdiri dan melangkah keluar ruangannya. "Re, saya pulang dulu. Kalau ada apa-apa tolong kamu handle dulu ya. Kepala saya sakit."

"Baik, kak. Semoga lekas sembuh!"

Ameera mengangguk kecil dan berjalan menuju mobil lalu menginjak pedal membelah jalan menuju apartemen miliknya. Apartemen yang selalu menjadi benteng pertahanannya sejak ia kejadian itu terjadi. Ameera meletakkan kunci mobil di atas kitchen island-nya lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa dark grey panjang miliknya. Ia menyandarkan kepalanya dan memejamkan matanya sejenak. Mencoba untuk tidak mengingat hal-hal yang berhubungan dengan Richard maupun Riska. Diliputi rasa lelah secara fisik dan batin, tak lama kemudian Ameera pun terlelap.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam ketika Ameera tersadar dari tidurnya yang lelap. Maklumlah, sejak Riska datang ke butiknya ia kesulitan untuk tidur. Rasa lapar memaksa Ameera untuk bangkit dari tempatnya lalu melangkah menuju dapur. Ia membuka kulkas tapi hasilnya nihil. Kulkas berwarna abu-abu itu tak memiliki banyak bahan makanan untuk diolah. Padahal biasanya Ameera selalu menyetok bahan makanan. Kedatangan Riska sukses membuat pikirannya kacau. Ameera mencari ponselnya di dalam tas dan ketika berhasil mendapatkannya ia mencari sebuah nama dan menghubunginya.

"Di mana lo?" tanya Ameeea tanpa basa basi lalu terdiam sejenak dan kembali melanjutkan. "Gue ke sana sekarang."

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Ameera langsung melangkah keluar apartemennya dan meluncur menuju tempat di mana seseorang yang tadi dihubunginya berada. Tidak butuh waktu lama karena lokasinya memang tidak jauh dari apartemennya. Ameera langsung memarkirkan mobilnya dengan mulus dan langsung melangkah masuk ke dalam sebuah restoran dengan papan reklame besar di area parkir. Zack's Kitchen.

"Cepet banget," sambut Zack dari balik dapurnya. Ya, restoran western food ini memang memperlihatkan kesibukan dapur para chef dan asistennya yang dimana hal ini membuat daya tarik bagi pelanggan restoran untuk datang kembali. Belum lagi makanannya yang enak. Hasil olahan Zack Renaldi. Seorang chef yang menyelesaikan pendidikannya di Le Cordon Bleu Culinary Art di Paris, Perancis. Di mana penggunaan mint, oregano, pasley dan sauce buatan Zack membuat lidah siapa saja yang mencicipinya datang kembali. Termasuk Ameera. Belum lagi ketampanan Zack yang memiliki darah Australia dan Indonesia menambah daya tarik pelanggannya untuk kembali dan kembali lagi ke sini.

"Iya. Abis cacing-cacing di perut gue udah demo," jawab Ameera sambil mengusap perutnya. "Seperti biasa ya."

"Oke! But you have to wait for ten minutes," balas Zack yang tampak menawan di balik apron putih miliknya. Wajahnya yang dipenuhi peluh menambah keseksian yang membuat wanita yang sedang memandangnya dari balik meja membiarkan bibir mereka terbuka lebar. Seakan mereka hendak memakan sang chef berambut cokelat, iris cokelat, hidung mancung lurus, bibir tipis dan rambut halus disekitar rahangnya yang kokoh.

Ameera mengangguk dan memilih duduk di salah satu meja yang berada di sudut kiri ruangan. Restoran dengan perpaduan warna abu-abu dan putih ini memiliki sekitar sepuluh meja yang berdiri di atas lantai berwarna abu-abu dan sebuah meja panjang di depan dapur. Yang mengijinkan pelanggan untuk melihat lebih jelas bagaimana cara mereka memasak.

Tak butuh waktu lama, Zack datang menghampirinya dengan sebuah piring putih berisi spaghetti carbonara kesukaannya.

"Thank you," ucap Ameera tulus lalu mulai suapan pertamanya.

"Your welcome." Zack duduk di hadapannya sambil bersedekap. "Ada sesuatu yang terjadi?"

Ameera memandang Zack sekilas sebelum kembali melanjutkan kegiatan makannya. "Ada. Tapi masih ke-handle kok."

Zack mengangguk sembari mendengarkan jawaban Ameera. Ia memandang teman sejak duduk di bangku sekolah menengah atas-nya dalam diam.

"Jangan lihatin gue kayak gitu. Nanti gue berpikir lo ada perasaan sama gue," kata Ameera sambil memakan spaghetti miliknya lalu melirik ke arah Zack yang duduk di hadapannya. Memakan spaghetti buatan Zack memang selalu membuat perasaannya membaik. Sama seperti hari itu. Kehadiran Zack dan spaghetti buatannya berhasil meredakan amarah dan kekecewaannya. Digantikan perasaan hangat yang menyelimuti hatinya.

"Nggak apa-apa kalo emang bisa bikin lo move on. Gue siap jadi laki lo."

"Apaan sih.. Canda lo gak lucu. Mendingan balik ke dapur gih."

Zack tersenyum kecil. "Yakin? Gak mau dinner lo ditemenin ama cowok seganteng gue?"

Ameera menyipitkan matanya. "Kayaknya nggak. Gue nggak mau nanti pulang dari sini dengan luka-luka di wajah gue gara-gara pelanggan lo yang ke sini demi lihatin muka lo itu."

Mendengar jawaban Ameera sontak membuat Zack tertawa. "Baiklah kalau itu mau lo. Lo bisa cari gue kalo butuh sesuatu."

"Siap."

Setelah itu Zack meninggalkan Ameera yang memilih  untuk menghabiskan makan malamnya. Dari tempat duduknya Ameera memandang Zack dari kejauhan. Ingatannya melayang pada malam dimana hari itu. Malam dimana kakinya memilih restoran ini menjadi tempat singgah kala itu.

Restoran yang sudah dalam kondisi tutup itu hanya menyisakan Zack seorang diri yang sedang sibuk membersihkan dapur. Pandangan matanya terkejut ketika ia melihat sosok Ameera berdiri tegak di ambang pintu kaca. Pakaiannya basah kuyup. Bahunya tampak lunglai. Wajahnya dipenuhi buliran air yang mengalir dari rambutnya. Kesedihan tampak jelas tersirat dari wajahnya.

"Ameera..." panggil Zack pelan. Ia berjalan menghampiri wanita itu dan menggiringnya duduk ke sebuah meja kayu terdekat. "Gue buatin teh anget dulu."

Namun, tangan Ameera menahan lengan Zack. Lalu menggeleng lemah. Zack menoleh dan memandang Ameera dengan penuh tanda tanya. "Penyesalan gue selama ini, seharusnya dulu gue memilih lo daripada dia."

***

The Magic RingWhere stories live. Discover now