Bab 3b

3.9K 417 15
                                    

Selesai bicara dengan sang istri, Tanaka menemui tim medis. Tidak ada cedera yang serius, Anstasia yang sedang mengalami kram perut juga sudah diberi obat. Mereka mengijinkan Tanaka membawa Anastasia pulang. Sebelum itu, Tanaka mencari Diego. Menepuk bahu pemuda itu dan berujar tegas.

"Terima kasih, Diego. Kamu menyelamatkan istriku."

Diego mengangguk kecil, wajahnya tanpa ekpresi. "Sudah tugas saya, Pak."

"Kamu hebat, kita akan bicara tentang bonus dan lainnya nanti."

"Tapi, Pak. Saya tidak ada pamrih!"

"Ya, ya, tapi kamu berhak mendapat penghargaan! Good job!"

Diego menatap heran pada atasannya yang masuk kembali ke ruang IGD. Ia tidak mengerti kenapa Tanaka harus memberinya hadiah. Bukankah sudah menjadi bagian dari tugasnya untuk melindungi Anastasia?

Mike menghampiri dan menepuk pundaknya. "Pulanglah, kamu butuh istirahat."

Diego menggeleng. "Tidak, jam kerjaku belum berakhir."

Mike menghela napas panjang. "Apa kamu ingin menentang perintah komandanmu? Pulang, datang lagi esok. Bawa mobil kantor. Aku yang akan bicara denganm Pak Gubernur!"

Diego terdiam, jujur saja hatinya belum tenang karena belum melihat keadaan Anastasia. Ia sempat panik saat melihat perempuan itu bersimpuh di lantai, seolah ada yang mencabut jantungnya, takut sesuatu terjadi. Ternyata, dokter mengatakan perempuan itu baik-baik saja. Tetap ia merasa kuatir tapi sadar diri untuk tidak terlalu ikut campur. Akhirnya, ia mengikuti saran Mike dengan pulang lebih dulu.

Mengendarai mobil kantor, Mike menembus jalanan yang gelap. Waktu berlalu dan ia tidak sadar kalau siang sudah berubah menjadi malam. Saat kendaraan berhenti di lampu merah, baru dirasakannya kelelahan yang teramat sangat. Ia menatap lampu-lampu jalanan sambil melamun. Perutnya berkriuk lapar dan ia berpikir tentang makan malam berupa mi instan.

Kendaraan melewati jalanan kecil beraspal, berhenti di sebuah rumah berdinding kayu yang terletak di samping halaman luas. Mengernyit saat melihat lampu di dalam rumah menyala, seingatnya ia meninggalkan rumah dalam keadaan gelap gulita.

Saat membuka pintu, aroma bawang putih bercampur dengan minyak, menguar di udara. Ia melangkah menuju dapur, dan sudah menduga siapa yang menunggunya di sana.

"Mili," tegurnya dengan suara lembut.

Seorang gadis dengan celemek putih, berdiri di depan penggorengan yang mengepul. Gadis itu menolehh, tersenyum dengan wajah kemerahan.

"Hai, Sayang. Bisakah kamu membantuku menatap mangkok? Spagetti sebentar lagi selesai. Ah ya, sepuluh mangkok. Ada sebagian anak yang akan ikut makan sama kita."

"Sepuluh anak?" tanya Diego.

Mili tersenyum. "Delapan tepatnya, karena sisanya adalah kita berdua., Ayo, cepat!"

Diego mencuci tangan, mengambil membuka rak dan mengambil setumpuk mangkok berserta garpu dan meletakkan di meja panjang. Mili mematikan kompor, menuang spageti ke dalam wadah stainless dan meletakkannya di atas meja. Ia membuka seplastik roti dan meletakkan di dalam mangkok-mangkok.

"Deiego, anak-anak ada di belakang. Bisakah kamu memanggil mereka datang?"

Belum sempat Diego bergerak, terdengar derap langkah kaki. Beberapa anak berlari datang dengan hidung mengendus udara.

"Kak Mili, kami lapar!" teriak mereka.

"Ayo, cuci tangan dulu," perintah Mili.

Sepuluh menit kemudian, hanya terdengar suara kunyahan dan denting peralatan makan beradu.

"Enak nggak?" tanya Mili pada Diego yang duduk di sampingnya.

"Enak," jawab Diego singkat.

Mili tersenyum. "Aku tahu kamu suka spageti oglio e olio. Aku sendiri kurang suka karena menurutku bau bawang putihnya menyengat. Tapi, aku senang kalau kamu menikmati masakanku."

Diego menunjuk anak-anak. "Mereka juga."

Mili tertawa lirih. "Mereka akan memakan apa saja yang tersedia. Bahkan roti tawar sekalipun."

Anak-anak itu tertawa dan mengangguk. Salah seorang tiba-tiba bertepuk tangan.

"Pak Diego sangat keren. Melaawan penjahat!"

"Iya, menembak cepat dan mati!"

"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Diego heran.

Mili mengusap lengan kekar kekasihnya. "Sayang, hari ini apa yang kamu lakukan, beredar luas di media sosial. Bukankah kamu menyematkan Nyonya Anastasia?"

Diego mengggeleng. "Bukan menyematkannya, tapi memang itu tugasku."

"Apa pun itu, kamu sudah melakukan hal yang sangat baik. Kami bangga padamu!"

Mili dan anak-anak bertepuk tangan dengan riuh. Mereka bersulang untuk Diego, menggunakan gelas berisi air putih. Setelah makan dan mencuci mangkok masing-masing, mereka pamit pulang. Meninggalkan Diego berdua dengan Mili membereskan meja.

"Kalau kamu sering memasak, anak-anak akan manja," ucap Diego memperhatikan Mili yang sekarang menjerang air untuk kopi.

"Nggak apa-apa, lagi pula mereka anak didikmu juga. Tadi mereka bilang, kamu terlalu sibuk mengajar jadi ada pelatih baru untuk mereka."

"Memang, aku tidak punya waktu mengajar selain libur."

Mili meninggalkan kompor, memeluk Diego yang duduk di kursi dan mengecup bahu yang kokoh. "Nggak apa-apa, Sayang. Anak-anak itu mengerti kalau kamu bekerja agar lapangan ini tetap bisa digunakan untuk latihan. Aku juga sedang menabung, siapa tahu kamu membutuhkan nanti."

Diego mengusap wajah kekasihnya dan tersenyum lembut. "Terima kasih, kamu baik sekali. Tapi, aku tidak mau uangmu. Sebaiknya kamu simpan untuk dirimu sendiri."

"Diego, aku ikhlas."

"Aku yang tidak. Lebih baik aku bekerja banting tulang 24 jam untuk memastikan lapangan ini tetap bisa digunakan, dari pada harus membuatmu repot."

"Padahal, aku nggak repot," gumam Mili sambil menunduk.

Diego menarik lengan Mili, dan gadis itu jatuh ke pangkuannya. Ia mengecup bibirnya perlahan, lalu mendekap dalam pelukan. Setelah satu hari yang melelahkan, senang rasanya punya seseorang untuk tempat mengadu.
.
.
.
.
.
.

Di Karyakarsa, cerita penuh intrik ini sudah bab 12

Between UsWhere stories live. Discover now