Bab 6a

3.3K 409 22
                                    

Restoran yang mereka datangi berkonsep alam. Ada banyak tumbuhan menjalar, bunga, dan pohon bonsai menghiasi. Area luar dipenuhi pengunjung. Tanaka sengaja mengajak istrinya masuk dari pintu samping agar tidak menarik perhatian orang-orang.

"Bagaimana menurutmuu, Sayang?"

Anastasia mengamati interior di mana dindingnya terbuat dari kayu, dengan hiasan tumbuhan menjalar yang rapi dan bersih.

"Bagus, enak tempatnya. Nggak nyangka kalau Tom dan Tim punya konsep usaha yang keren banget."

Tanaka tergelak. "Aku ikut membantu, paling nggak memberi sedikit nasehat tentang manajemen dan, yah, termasuk pemilihan konsep."

"Pantas saja. Apa kamu ikut campur juga soal resep?"

"Tidak, kalau itu hak mereka sepenuhnya."

Mereka memesan sampanye, dan juga satu set makan malam berupa beef pasta dengan saos truffle, summer salad, serta ayam panggang yang dimasak dengan rempah rahasia. Tanaka membuka botol, menuang satu gelas untuknya dan satu gelas untuk istrinya dan bersulang.

"Untuk malam istimewa."

Anastasia tersenyum. "Memangnya apa yang membuat istimewa?"

"Kamu tentu saja, sangat cantik."

"Hah, gombal."

Saat hidangan pembuka disajikan, Tanaka berdehem. Menatap istrinya yang makan dengan anggun. Ia selalu menyukai sikap Anastasia yang melakukan semua hal dengan sangat hati-hati dan tidak tergesa-gesa, bahkan saat menikmati makanan. Anastasia adalah gambaran perempuan ningrat dengan Pendidikan tinggi.

"Aku melihat foto-foto yang diambil hari ini. Kamu terlihat sangat bahagia saat menggendong bayi."

Anastasia menatap suaminya, bola matanya meredup. "Mereka adalah makluk yang manis, tapi hidup berkubang derita karena tanpa orang tua."

"Kita adalah orang tua mereka, Sayang. Karena itu, agar dapat membantu para bayi, anak terlantar, dan orang-orang jalanan yang menderita, aku harus punya kekuasaaan yang lebih besar. Kamu tahu bukan, anggaran daerah terbatas. Ada banyak orang yang tidak bisa kita bantu karena itu."

Anastasia mengangguk. "Kamu benar soal itu. Memang harus berkuasa untuk bisa membantu orang-orang yang membutuhkan."

Diam-diam Tanaka mengulum senyum mendengar ucapan istrinya. Ia meraih jemari Anastasia dan menggenggamnya. "Sebenarnya, itu yang mau aku bicarakan denganmu. Polling dari masyarakat menyangkut popularitasku sebagai menteri sangat bagus. Ingat, Sayang. Papamu mengatakan ingin mencalonkanku sebagai menteri, bukan lagi wakil. Karena itu, posisi keluargaku harus stabil."

Anastasia menatap jemarinya yang berada dalam genggaman suaminya. Mereka duduk berhadapan, tapi meja kotak yang memisahkan mereka tidak terlalu lebar, membuat keduanya bisa mengobrol dengan intim.

"Pasti soal anak," ucap Anastasia lugas. "padahal kita tahu itu nggak mungkin."

Tanaka tersenyum. "Nggak ada yang nggak mungkin, Sayang. Selalu da cara untuk kita kalau berusaha."

"Apa maksudmu?" Anastasia berkata bingung.

Tanak berdehem, meremas jemari istrinya lebih kuat. "Aku sudah menemukan cara untuk kita punya anak dengan cepat. Tanpa harus program ke dokter. Cara yang aman, dan, yah, tidak akan beresiko untuk kita berdua."

Anastasia makin bingung dibuatnya. Ia mengerti kalau Tanaka berambisi untuk menjadi menteri, tapi tidak paham dengan mendesak untuk punya anak.

"Papamu bilang padaku, kalau soal anak ini adalah hal serius. Beliau bahkan mengatakan dengan tegas kalau kita harus serius soal anak."

"Tapi—"

"Aku paham, Sayang. Dengarkan dulu omonganku." Tanaka menghela napas panjang, raut wajahnya berubah menjadi sendu. "Papamu juga sangat-sangat berharap kita punya bayi segera."

Anastasia mengaduk pastanya. Ia sempat mencicipi dan memang rasanya sangat enak tapi pembicaraan dengan Tanaka membuat nafsu makannya turun. Ia kini mengerti, kenapa Tanaka mengajaknya makan di tempat ini, sepertinya memang sengaja direncanakan untuk membujuknya.

"Tanaka, kamu tahu bukan masalah kita?" ucapnya perlahan.

Tanaka tersenyum dan mengangguk perlahan. "Aku tahu, Anastasia. Karena itu, aku sudah mendapatkan solusi yang baik untuk kita berdua."

"Solusi macam apa?"

Tanaka melambaikan tangan pada para pramusaji untuk meninggalkan mereka berdua. Setelah tidak ada orang lain, ia menatap istrinya dengan intens.

"Solusi kita akan melibatkan orang lain. Tenang saja, aku sudah memilih yang paling baik, yang paling cocok, untuk membantu kita."

Anastasia mengernyit tapi tidak mengatakan apa pun.

"Sayang, kamu kenal Diego dengan baik di antara semua pengawal kita. Kalian cukup akrab jadi harusnya membuat segalanya jadi sedikit lebih mudah."

"Diego?"

"Benar, dia yang bisa membantuku. Maksudku adalah, kamu dan dia, bercinta untuk mendapatkan anak bagi kita."

Anastasia ternganga, menatap suaminya dengan ekpresi tidak percaya. "Tanaka? Aku salah dengar bukan?" tanyanya.

Tanaka menggeleng. "Tidak, Anastasia. Kamu sama sekali nggak salah dengar. Itu memang solusi yang baik untuk kita berdua."

Anastasia menepis jemari Tanaka. Bangkit dari kursi dan menuding suaminya. "Apa katamu tadi? Kamu memintaku tidur dengan laki-laki lain?"

"Ssst, pelankan suaramu, Sayang. Di sini banyak telinga."

Anastasia berputar di tempatnya berdiri, memegang pelipis dan menatap suaminya dengan pandangan kesal. Tidak menyangka kalau Tanaka akan mengutarakan sebuah ide gila. Dari dulu suaminya memang cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, ia tidak peduli selama tidak merugikan mereka. Tapi, untuk kali ini menurutnya sudah sangat keterlaluan. Ide paling gila yang pernah didengarnya.

"Bisa-bisanya kamu menyuruhku tidur dengan laki-laki lain, hanya demi ambisi politikmu!" desis Anastasia geram.

"Sayang, kamu salah. Ini demi kita!" Tanaka berusaha meraih jemari istrinya tapi ditepiskan dengan kasar oleh Anastasia.

"Demi kita? Kamu menyuruhku bermain sex dengan laki-laki lain dan masih berani bilang demi kita? Tanaka, kamu berani sekali melakukan itu padaku!"

Anastasia lepas kendali, berteriak keras hingga suaranya bergema di ruang VVIP. Untungnya, di luar ruangan sangat ramai, kemungkinan ada yang mendengar teriakan Anastasia sangat kecil. Meski begitu, para pengawal yang berada di dekat pintu, termasuk Diego justru mendengar dengan teriakan Anastasia. Meskipun kata-katanya tidak jelas tapi mereka tahu kalau sang nyonya sedang marah. Tidak biasanya kalau Anastasia yang lembut, bisa mengumbar kemarahan seperti sekarang. Diego menghela napas panjang, tubuhnya menegang. Ia punya dugaan kalau kemarahan Anastasia pasti berhubungan dengan ide gila suaminya. Ia tenang, karena perempuan itu marah dan pasti menolak sama sepertinya.
.
.
.
.
Bab terbaru tersedia di Karyakarsa


Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang