Bab 7b

3.7K 396 11
                                    

Sepanjang jalan, Anastasia berusaha mengubur rasa kuatirnya. Sang papa selama ini selalu sehat dan tidak pernah mengeluhkan kesehatannya. Entah apa yang terjadi, mendadak masuk rumah sakit. Sebagai satu-satunya anak, Anastasia merasa sangat bersalah. Terlalu sibuk dengan urusannya, sampai melupakan sang papa. Ia setengah berlari menyusuri lorong rumah sakit, beberapa pengawal mengikutinya dari belakang. Linda mengatakan, suaminya dalam perjalanan kemari.

Anastasia tercekat di depan pintu ruang rapat saat melihat papanya berbaring di ranjang. Berusaha menguatkan hati untuk tidak menangis, ia mendekati ranjang dan duduk di tepinya. Hector tersenyum dengan selang infus dan oksigen terpasang di tubuhnya.

"Paaa, kenapa?" tanya Anastasia dengan suara bergetar.

Hector berusaha tersenyum dengan wajah pucat. Terbatuk kecil sebelum bicara. "Hanya kelelahan."

"Benarkah? Kenapa sampai dirawat?"

"Dada sesak."

Anastasia merasa matanya memanas. Meletakkan tangan sang papa di pipinya. Menahan isakan yang hendak keluar dari bibirnya.

"Jangan menagis Anastasia, papa nggak apa-apa."

Anastasia mengangguk, tenggorokannya tercekat. Saat bicara, suaranya terdengar berat dan parau. "Maaf, Pa. Kurang perhatian sama Papa. Sampai-sampai, Papa sakit pun aku nggak tahu."

"Bukan salahmu, lagi pula tubuh orang tua. Memang begini." Hector berusaha tertawa dan kembali terbatuk.

Anastasia meraih beberapa lembar tisu untuk mengusap wajah papanya. Kulit yang keriput, wajah yang mengernyit menahan sakit, serta mata yang sayu, kesan gagah menghilang dari dalam diri Hector. Mendadak Anastasia menyadari kalau papanya sudah sangat tua.

"Paa, setelah keluar dari rumah sakit, aku akan tinggal bersama Papa."

Hector menggeleng. "Nggak perlu. Kamu sibuk, dan pekerjaan jauh lebih penting."

"Tapi, Paa—"

"Papa hanya berdoa, semoga kamu cepat hamil dan punya anak. Papa ingin, sebelum mati bisa melihat cucu."

Anastasia memejam, membiarkan tangan sang papa tetap di pipinya. Perkataan sang papa tentang anak membuat hatinya teriris. Ia tidak tahu, bagaimana harus mengatakan keadaan yang sebenarnya terjadi. Kalau semua hal tidak seperti yang terlihat.

"Anastasia, bisakah permintaan papa tadi kamu penuhi? Papa tidak pernah minta apa-apa dari kamu, kecuali satu ini. Papa ingin cucu."

Anastasia mengangguk, menahan kesedihan. "Iya, Pa."

Hector tersenyum, mengusap pipi anaknya dengan punggung jarinya. Ia memejam, menepuk dadanya perlahan dengan tangannya yang bebas. Meskipun sedang sakit, ia tidak suka melihat anak perempuannya bersedih.

"Jangan menagis, papa senang kamu ingin mengabulkan permintaan orang tua ini. Anastasia, uang bisa dicari, karir bisa dikejar, tapi rumah tangga yang sempurna baru bisa terwujud dengan anak-anak." Saat bicara mata Hector menerawang menatap langit-langit kamar. "Selama ini, aku tidak pernah menekanmu soal anak, karena takut membuatmu stress. Tapi, akhir-akhir ini papa sangat merindukan suasana rumah yang ramai dan berisik. Aku ingin mendengar jeritan anak-anak di rumah. Aku sudah punya segalanya, Anastasia. Harta dan jabatan, kecuali tentu saja cucu yang lucu."

Semakin banyak Hector bicara tentang anak, semakin pedih hati Anastasia. Menyadari kalau selama ini terlalu egois dan tidak memikirkan papanya. Terlalu sibuk dengan dunianya sendiri dan lupa kalau sebagai anak, sudah membuat orang tuanya tidak bahagia. Rupanya, sang papa sama seperti laki-laki tua lainnya. Menginginkan cucu untuk melengkapi hari-hari.

Selesai bercakap, Hector yang kelelahan akhirnya terlelap. Anastasia merapikan selimut sang papa dan menahan air mata yang hendak jatuh. Anastasia mengusap pipi yang keriput, rambut yang memutih dan tulang yang menonjol karena papanya memang kurus. Entah apa yang dilakukannya selama ini, sampai lupa kalau ada keberadaan sang papa yang harus diperhatikan.

Anastasia menoleh saat pintu membuka dan suaminya muncul. Tanaka melepas jaket yang dipakainya.

"Bagaimana keadaan Papa? Dari bandara aku langsung kemari."

Anastasia mengusap air mata yang menetes di pipi. "Papa sepertinya kelelahan."

"Apa kata dokter?"

"Penyakit tua." Anastasia menatap suaminya, menggigit bibir dan menghela napas panjang. "Tanaka, bisakah kita bicara di luar?"

Tanaka yang sedang memperhatikan mertuanya, mengalihkan pandangan pada sang istri. "Ada apa? Sesuatu yang penting?"

Anastasia mengangguk. "Sangat."

Tanaka meletakkan jaket ke atas kursi, meraih jemari istrinya dan menggandeng menuju pintu. "Ayo, kita ke kafetaria."

"Jangan, kita bicara di taman saja."

"Oke-oke."

Mereka berdiri berhadap-hadapan di taman yang temaram. Hanya ada lampu kecil sebagai penerangan. Tidak ada orang lain di sana selain mereka, suara ngengat dan serangga terdengar jelas dari pepohan di sekitar mereka. Tanaka menatap istrinya lekat-lekat dalam kegelapan. Mereka berdiri di sini sudah hampir sepuluh menit dan Anastasia sama sekali tidak mengatakan apa pun.

"Anastasia, Sayang. Mau ngomong apa?" tanya Tanaka dengan tidak sabar.

Anastasia menggigit bibir, dengan tangan terkepal dan tubuh gemetar, bicara dengan suara lirih. Mengenyahkan rasa malu yang merambat dari hatinya.

"Aku bersedia, Tanaka."

Tanaka mengernyit. "Bersedia untuk apa?"

"Menerima tawaranmu, untuk mendapatkan bayi. Demi papaku." Anastasia mengakhiri perkataannya dengan pelan dan menunduk menatap tanah yang diselimuti kegelapan. Tidak menyadari tatapan suaminya yang bercahaya.

"Benarkah, Sayang? Kamu mau melakukan itu?" tanya Tanaka dengan kegembiraan yang tidak dapat disembunyikan.

"Hanya sampai aku hamil." Anastasia merasa kotor saat mengucapkan itu. Sadar kalau keputusannya akan mengubah banyak hal.

"Iya, Sayang. Tentu saja hanya sampai kamu hamil." Tanaka meraih tubuh Anastasia dan memeluknya erat. "Terima kasih, Sayang. Kamu bukan hanya menyelamatkan papamu tapi juga aku. Kamu membuat kami semua punya harapan baru."

Anastasia tidak mengerti apa maksud perkataan suaminya. Ia tidak paham tentang harapan yang diungkapkan Tanaka. Baginya, keputusan yang baru saja dibuat sudah merenggut harga dirinya dan membuatnya jatuh berkubang dalam rasa malu.

"Kamu tahu kabar baik, Sayang? Minggu lalu, Diego sudah menyatakan persetujuannya. Dengan syarat yang ketat dan rahasia, aku sarankan kalian berdua pergi berlibur. Aku akan mengatur waktu dan tempatnya."

Entah siapa yang paling gila di antara mereka, apakah dirinya, Tanaka, atau Diego. Tapi, mereka bertiga membuat perjanjian tidak masuk akal dan amoral, melibatkan tentang hancurnya harga diri, kestiaan dalam rumah tangga, dan juga seperti bersekutu dengan setan.
.
.
.
.
.

Di Karyakarsa bab 32

Between UsWhere stories live. Discover now