29 - Denting merangkul telinga,

1.4K 215 217
                                    

Bandung, 1987

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bandung, 1987

Sungguh menakjubkan bagaimana suatu tempat dapat merangkum rasa cinta dan benci sekaligus. Pada masanya, rumah ini merekam masa kecil Lukas yang indah. Hidup bersama keluarga kecil bahagia dengan kedua orang tua yang amat menyayanginya. Ia masih membayangkan sore hari ketika ia dan Theo berjinjit di balik jendela, menatap langit di luar sana dengan mata membelalak, lalu mengamati layang-layang tertangga yang lagi-lagi tersangkut di atas pohon cemara. Di masa kecil, otot mereka begitu lincah bergerak ke sana-kemari, berlarian riang di atas halaman luas nan asri. Dua bocah itu seperti sepasang boneka tali yang dikendalikan orang paling bahagia sedunia. Di dunia Lukas kecil, kesedihan hanya sebatas wacana.

Seiring dewasa, Lukas belajar bahwa terlalu banyak matahari dapat menggersangkan hati. Ia mendapati hujan pilu sesekali menghampiri. Namun, tidak terlalu masalah karena rumah ini adalah sebaik-baik tempat kembali. Pilar-pilar kokohnya senantiasa menyokong hari-hari Lukas ketika ia sedang tidak baik-baik saja. Bagi Lukas, tidak ada air mata yang terlalu deras, karena lantai dingin rumah ini selalu menyerapnya sampai tuntas.

Setidaknya itu pikir Lukas, sampai tahun 1981 menghapus kata bahagia dari kamusnya. Dimulai dari Marlene yang menghilang sepuluh hari sebelum hari pemberkatan. Nahas, gadis itu ditemukan tewas di Sungai Cikapundung tiga hari setelahnya. Lantas, setelah puluhan tahun tidak pernah benar-benar mengenal apa itu sedih, di usia 27 tahun, Lukas tidak mengenal hal lain selain kesedihan. Kamus hidupnya berubah kelabu.

Itu titik balik hidup Lukas. Karena semenjak itu adalah rentetan mimpi buruk dan rumah ini gagal melindunginya. Atap perisai merah tidak sanggup lagi menghalau duka. Dinding-dinding putih diam saja, enggan menghibur ia. Bahkan pintu rumahnya terus terbuka, mengalirkan lebih banyak luka.

Menyakitkan bahwa segala tentang rumah ini tidak lagi sama. Hari ini, ketika Lukas menginjakkan kaki kembali, bau-bauan khas dari perabot kayu jati bahkan terasa asing di hidungnya. Lampu klasik di atas meja makan sebetulnya sudah menggantung puluhan tahun di sana, mengawasi Lukas dari bayi hingga dewasa—tetapi menatap kristal-kristal itu kembali sungguh janggal di matanya. Terlebih saat ia harus duduk di sini, di meja makan yang panjang dengan banyak kursi.

"Geuning ngalamun?---kok melamun?" tegur Juana—ibunda Lukas. Kerutan dalam mengelilingi sinar bahagia di matanya. Hatinya berbunga-bunga, berjumpa dengan putra sulungnya setelah sekian lama.

Pria itu tersenyum tipis.

"Geura emam, Kasep.---ayo makan dulu, Ganteng," titah Juana.

Lukas memandangi makanan yang berlimpah tanpa minat. Yang ia harapkan dari kedatangannya ke Bandung adalah bisa merasakan kelezatan masakan Juana. Daging gepuk yang gurih manis disajikan dengan nasi tutug oncom yang pulen, misalnya. Atau pesmol nila—comfort food-nya semasa kecil. 

Alih-alih satu panci bruine bonnen soup panas yang tidak menggugah selera. Juga satu pinggan stamppot bertabur sosis rookworst panggang. Bahkan tumpukan kroket dan sepiring besar ontbitjkoek yang teriris rapi justru membuat Lukas mual.

Senji ✔️ | DAINTY vol. 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang