Wildest Dreams (1)

291 18 0
                                    

Sinar matahari berwarna keemasan menembus masuk melalui tirai kamar, yang tertiup pelan karena angin sore itu berhembus lebih kencang dari biasanya. Jarum jam di dinding menunjukkan saat itu pukul lima sore.

Yoon Jeonghan duduk di atas sofa berlengan dengan kedua kaki saling bertumpu satu sama lain. Tatapannya sibuk mengikuti arah jarum jam sementara tangannya menggenggam sebatang rokok dan tangannya yang lain berada pada kepala sofa.

Angin kembali berhembus membuat tirai kembali bergoyang. Jeonghan mengalihkan pandangan dari jam di dinding, kini memilih untuk menatap ke perbukitan nan jauh di sana. Bibirnya meloloskan tawa ringan. Jeonghan tidak menyesal sedikitpun merogoh kocek yang cukup dalam untuk menyewa kamar dengan pemandangan yang luar biasa fantastif sore itu. Apa yang dia keluarkan cukup sebanding dengan apa yang dia dapatkan : dengan kolam renang dan kolam air hangat pribadi, kamar berukuran sangat luas, balkon yang menghadap langsung perbukitan, dan ranjang yang sangat sangat besar.

Mengingat ranjang besar di dalam ruangan itu membuat rona kemerahan terbit di kedua pipi Jeonghan. Dia menggoyangkan pelan kepalanya, mengutuk dirinya sendiri.

"Bodoh..."  Jeonghan mengutuk dirinya sendiri. Ia membuang abu rokoknya ke dalam asbak. Satu tangannya yang bebas meraih gelas wine di atas nakas. Gelas ke empatnya. Jeonghan tertawa, menertawakan diri sendiri. Dia tidak memiliki toleransi yang tinggi pada alkohol. Tapi setiap kali berhadapan dengannya, toleransinya berubah.

"Baby..."

Jeonghan menegang di kursinya. Kepalanya menengadah, mendapati Choi Seungcheol berdiri di depan pintu kamar yang terbuka, dadanya yang bidang bergerak naik turun seiring ia menarik napas, perutnya yang telanjang mengikuti irama yang sama. Wajah Jeonghan merona, memperhatikan handuk tebal putih tanpa noda melilit pinggul Seungcheol dengan sempurna.

"Hmm..."

"Kau meninggalkanku..."  Jeonghan mematikan api dari batang rokok dan membuang rokoknya ke dalam asbak. Satu tangannya terjulur di udara, meminta Seungcheol untuk menyambutnya. Dengan langkah seribu Seungcheol bergegas, menerima tangannya, mencium telapak tangannya seperti yang biasa dia lakukan.

Jeonghan kembali merona.

"Mesin air hangatnya berfungsi dengan baik?!"

Seungcheol mengangguk. "Berfungsi dengan baik. Karena itu lah mereka menampilkan harga yang sangat mahal untuk kamar ini di situs travel."

"Aku tahu... karena itu aku memilih kamar ini untuk lari dari pekerjaan... So, stay?!"

Bibir ranum Seungcheol melengkungkan senyuman. Jemarinya meraih dagu Jeonghan, mengusapnya dengan ibu jari. "You know I can't."  Seharusnya Jeonghan tidak bertanya. Dia sudah tahu apa jawaban Seungcheol---dia akan selalu tahu bahkan sebelum Seungcheol membuka mulut. "Believe me, I want to..."

Jeonghan memaksakan diri untuk tersenyum. Ia mengangguk beberapa kali, memejamkan kedua mata saat merasakan sapuan hangat jemari Seungcheol di kulit wajahnya.

"Jam berapa pemotretanmu?!"

"Err..."  Jeonghan melirik jam di atas nakas. "Delapan pagi besok."

"You alright?!"

"Yeah, I am..."

"Great..."  Seungcheol kembali meraih wajahnya, menyapukan ciuman ke bibir Jeonghan. Dia mengecupnya pelan satu kali. Dua kali. Tiga kali. Sebelum ciuman itu berubah semakin intens, sebelum Jeonghan melarikan jemarinya di helaian rambut Seungcheol yang berwarna hitam.

Seungcheol mendesah di sela ciuman mereka, memberi akses pada Jeonghan untuk menelusuri mulutnya, merasakan manisnya lidah pria itu. Jeonghan memiringkan kepala, berusaha memperdalam ciuman mereka. Desah napas keduanya bersatu memenuhi ruangan. Beberapa menit yang terasa seperti beberapa jam, keduanya melepaskan pelukan dan ciuman mereka. Seungcheol kembali melarikan ibu jarinya di pipi putih Jeonghan membuat Jeonghan kembali mendesah.

"I want you to stay..."

"I know,"  Seungcheol balas berbisik. "But she needs me too..."

KUMPULAN SHORT STORIES SEVENTEENWhere stories live. Discover now