Fast Pace (6)

75 9 2
                                    

"Jadi, apa yang mau kita coba lebih dulu?!"

Seungcheol bertanya sambil mengulurkan lengan. Jeonghan menatap lengan kekasihnya, kemudian beranjak menatap kedua irisnya. Selewat beberapa detik ia menghela napas dan menyambut lengan Seungcheol yang masih terjulur ke arahnya.

"Kita bisa mencoba wahana itu..."  Telunjuk Jeonghan menunjuk rel besar di hadapan mereka. Seungcheol menggelengkan kepala dengan cepat, jelas menolak mentah-mentah idenya. Jeonghan mendengus sambil menahan tawa. "Jangan bilang kau takut!"

Seungcheol mendengus. "Tidak takut! Aku hanya menyimpan yang terbaik sebagai penutupan."

Jeonghan memutar bola mata.

Mereka memutuskan untuk naik wahana ayunan besar yang berayun di udara. Masih terus menggenggam lengan Jeonghan, tangan Seungcheol yang bebas memasang sabuk pengaman untuknya sendiri, dan memastikan Jeonghan sudah memasang sabuknya dengan benar.

Wahana mulai bergerak, ayunan raksasa berputar cepat. Jeonghan melepaskan genggaman tangannya pada tangan Seungcheol membuat Seungcheol memprotes tindakannya. Jeonghan tertawa lebar, tangannya terjulur di udara sambil bertepuk tangan.

Selepas ayunan raksasa, mereka mencoba menaiki wahana cangkir raksasa yang berputar seratus delapan puluh derajat. Seungcheol berdiri di depan pintu masuk wahana sambil memegang perut dan wajah serta bibirnya tampak pucat setelah mereka selesai bermain. Jeonghan berdiri di sebelahnya, memijat tengkuk dan kepalanya, botol air mineral berada dalam genggaman.

"Aku tidak akan mau naik wahana ini lagi..."  Ucap Seungcheol sambil menyeka sudut bibir dengan punggung tangan. Jeonghan tertawa pelan.

"Apa yang mau kita naiki selanjutnya?!"

Kepala Jeonghan terjulur, menoleh ke kanan dan kiri. Booth kecil dengan banyak boneka pajangan dan replika senapan, bertumpuk-tumpuk kaleng, kolam renang plastik dengan banyak ikan mainan mengapung di atasnya menarik perhatian Jeonghan. Ia meraih lengan Seungcheol dan menariknya, setengah menyeretnya menuju booth tersebut.

Telunjuk Jeonghan teracung, menunjuk boneka kelinci besar berwarna merah muda. "Aku mau boneka itu..."

Seungcheol mendengus. "Aku bisa membelikanmu nanti."

"Tapi aku mau boneka yang itu, Seungcheol..."

Seungcheol memutar bola mata.

Penjaga booth seorang laki-laki muda dengan senyuman lebar yang sangat ramah. Ia memberikan replika senapan setelah Seungcheol menyerahkan beberapa lembar uang untuk permainan tersebut. Seungcheol sedikit mengambil langkah mundur, memposisikan replika senapannya, dan dengan satu kelopak mata tertutup ia mulai menembak kaleng-kaleng di depannya. Butuh empat kali menembak bagi Seungcheol untuk memenangkan boneka kelinci merah muda yang diinginkan Jeonghan. Dengan senyuman lebar Jeonghan menerima bonekanya, keduanya lalu berjalan ke arah wahana yang lain.

Matahari mulai kembali ke peraduan. Jeonghan mengajak Seungcheol untuk pergi ke akuarium raksasa yang ada di luar taman bermain. Masih sambil memeluk boneka kelincinya, Jeonghan berkeliling, membaca satu per satu nama-nama ikan yang tertulis di depan kaca akuarium.

Keduanya selesai mengunjungi akuarium menjelang pukul setengah enam sore. Jeonghan meminta Seungcheol untuk duduk diatas kursi rotan di luar taman bermain. Bando tanduk rusa yang ia dapatkan dari permainan lotre tebak angka menghias kepalanya, dan es krim rasa stroberi berada dalam genggaman.

"Seungcheol... terima kasih..."  Jeonghan menoleh, mengucapkannya sambil menjilat es krim dan tersenyum hingga kedua kelopak mata menyipit.

Seungcheol tidak merespon. Ia sibuk memperhatikan apa yang ada di hadapan mereka; sepasang kekasih yang sedang berjalan ke arah parkiran mobil sambil bergandengan tangan, sebuah keluarga kecil, seorang pria dan wanita yang tertawa sambil menggandeng lengan putri mereka.

"Terima kasih... setelah ini... ayo kita lupakan semuanya. Tinggalkan taman bermain dan akuarium dan semua yang kita lakkan hari ini."  Sambung Jeonghan.

Perlahan, Seungcheol menoleh ke arahnya, menatap Jeonghan dengan raut sulit dibaca. Selewat beberapa menit Seungcheol menghela napas dan bertanya dengan suara pelan. "Bagaimana kalau aku mau melihat akuarium itu lagi bersamamu?!"

Cuping hidung Jeonghan mengembang dan memgempis dengan cepat. Ia memalingkan wajah, tatapannya kini jatuh pada pasangan-pasangan lain di hadapan mereka.

"Kali pertama tahu tentang kau dan Doyoon... aku tidak bisa berpikir jernih. Aku melihat banyak skenario buruk di depan mataku, melihat bahwa aku pergi mengunjungi kantormu dan menemui Doyoon."

Kali ini Seungcheol benar-benar menahan napas. Dengan cepat ia menoleh ke arah Jeonghan. Ia bersumpah dalam hati bahwa ia mungkin saja mematahkan lehernya sendiri.

"Kau tahu?!"  Seungcheol tahu ia terdengar bodoh. Apa Jeonghan tahu?! Tentu saja. Jeonghan terlalu pintar untuk terus ia bohongi.

Jeonghan terkekeh. Ia menjilat kembali es krim stroberinya sebelum mengangguk satu kali. Dua kali. Tiga kali. "Apa aku tahu?! Tentu, Cheollie... aku bahkan melihat kalian berdua di depan kantormu... waktu aku melihatmu tertawa bersama Doyoon, aku tahu, aku kalah..."  Lagi, Jeonghan tertawa pelan. Kali ini sambil menggelengkan kepala. "Tapi... aku mau egois... waktu aku melihat kalian berdua aku pikir... aku mau tetap bersamamu. Kau bilang kita bisa mengadopsi anak anjing dan aku mau itu terwujud."

Seungcheol tidak tahan lagi. Ia memeluk Jeonghan dengan sangat erat, mengabaikan botol minumannya yang terjatuh, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Jeonghan. Jika saja ia bisa menangis, ia pasti sudah melakukannya. Alih-alih, ia terus meminta maaf, meminta maaf atas kesalahan dan kebodohan yang ia lakukan.

"Jadi... apa yang kau mau sekarang, Cheollie?! Hidup bersama Doyoon dan mengadopsi anak anjing kalian berdua dan melupakan kencan hari ini atau tetap bersamaku?!"

KUMPULAN SHORT STORIES SEVENTEENDonde viven las historias. Descúbrelo ahora