Bab 49

135 29 19
                                    

Hai! Hai!
Jeremy dan ....
Eh, Jeremy doang hadir lagi buat kaliaaan!
Di mohon untuk mempersiapkan diri untuk membaca part ini, jangan terlalu terbawa suasana ya!
Saya nggak tanggung jawab lho! 🤐

Cus langsung aja!
Pencet VOTE dulu biar rame!

Happy reading!

•••

Satu minggu kemudian ....

Langit mendung menyambut pagi setiap makhluk, hanya sesekali cahaya matahari menyembul malu-malu di balik awan dari ufuk timur sana. Menyinari sosok yang masih terbaring di atas ranjang perawatan di ruangan itu. Sosok itu masih enggan membuka mata, setelah peristiwa satu minggu yang lalu.

“Kondisinya sudah semakin membaik, kita berdoa saja semoga pasien segera sadarkan diri.”

“Kira-kira kapan dia akan sadar, dok?”

“Untuk masalah waktu, kami pun tidak bisa memastikannya. Tapi saya dan tim akan selalu memantau perkembangannya. Kalau begitu, saya permisi dulu.”  Setelah itu sang dokter pun keluar dari ruangan itu.

“Bagaimana kalau dia tidak juga sadarkan diri, Jo?”

Jonathan yang sejak hanya terdiam memperhatikan Jeremy -yang masih menutup mata- kini sudah menghembuskan napasnya. Ia menoleh, menatap Jessi yang juga ada di sampingnya. “Kau lupa? Dia Jeremy, lelaki brengsek ini tidak akan menyerah begitu saja,” ucapnya dengan senyuman kecil yang mengembang di bibirnya.

“Lebih baik kau temani Aika di sana. Aku yakin dia tidak akan kuat menghadapinya sendiri. Biar aku yang menjaga Jeremy di sini.”

Jessi terdiam sejenak, pandangannya mendadak mengabur, matanya memanas menahan tangis. “Apa tidak bisa ditunda dulu? Setidaknya menunggu Jeremy sadar, dan menyaksikannya. Bukankah akan sangat tidak adil untuk Jeremy?”

“Tidak bisa. Sudah terlalu lama ditunda, prosesnya pun sudah selesai. Kita bahkan tidak tahu kapan Jeremy membuka mata. Jadi lebih cepat lebih baik.”

“Bagaimana kita menjelaskannya nanti?” gumam Jessi dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya, yang langsung dihapusnya dengan kasar. “Kenapa harus berakhir seperti ini?” isaknya, sambil berlalu dari ruangan itu. Sebisa mungkin tak menangis di hadapan Jeremy.

Di sisi lain, Jo kembali menghembuskan napasnya. Menatap sahabatnya dengan tatapan nanar. “Maaf, Jer. Kita tidak bisa menunggumu. Sudah saatnya dia beristirahat dengan tenang.”

Setelah mengatakan itu, Jo beranjak sembari melepaskan jaketnya hingga menyisakan kemeja saja, lalu masuk ke dalam kamar mandi yang ada di ruangan rawat itu.

Tepat ketika Jo menutup pintu, mata Jeremy yang sejak tadi terpejam kini perlahan terbuka.
Pemandangan warna putih menyambut penglihatannya. Untuk sesaat Jeremy terdiam kembali menutup mata, mencoba mengumpulkan tenaganya. Tapi sial, ketika ingatan malam itu memenuhi pikirannya, yang membuat Jeremy segera kembali membuka mata. Perasaannya mendadak kacau. Marah, frustrasi, dan segala perasaan buruk menghampirinya. Kedua tangannya terkepal kuat.

Lalu percakapan Jo, dan Jessi beberapa saat lalu yang sempat ia dengar di tengah-tengah ambang kesadarannya membuat Jeremy tak bisa berdiam diri.

Tanpa kata-kata, Jeremy perlahan bangkit dari ranjangnya. Melepas masker oksigen yang sejak tadi menempel di hidungnya. Sejenak ia hanya terduduk mengatur napasnya karena menahan sakit di perutnya. Setelah itu, Jeremy turun dari ranjangnya, mencabut infus dari tangannya tanpa ragu.

I Get You, Love!Where stories live. Discover now