[40] Pulang

4.1K 531 48
                                    

Selama dua bulan lebih Bergas mendapat perawatan di rumah sakit, hari-hari terlewati dengan berat. Rapalan permohonan selalu terucap dan air mata berkali-kali terjatuh dan tersenyum pun itu palsu, hanya formalitas bentuk semangat untuk yang sakit.

Tidak sekali dua kali Bergas bertanya dan menuntut kesembuhan, tapi tidak pernah ada jawaban pasti. Rasa sakit memegang kendali atas tubuhnya, baru sebentar Bergas merasa baik kemudian rasa menyakitkan kembali datang memborbardir tubuhnya. Itu terjadi seperti siklus, membuatnya tak pernah benar-benar baik.

Namun ketika Bergas sudah merasa di ujung asa dan berpikir mati akan jauh lebih baik, secercah harapan muncul. Akhirnya Bergas diperbolehkan pulang ke rumah.

Jelas semua orang turut berbahagia, meski sembuh belum atau mungkin tidak akan berpihak pada Bergas, setidaknya Bergas sudah jauh lebih baik dan akan terus membaik. Itu yang menjadi harapan semua orang.

Nadiya sampai menitikkan air mata saat melihat Bergas digendong turun dari mobil oleh Tio kemudian didudukan di kursi roda.

"Hati-hati, mas ..." Ucap Nadiya sambil menghapus air matanya.

Saat dipastikan Bergas sudah aman di atas kursi rodanya, Tio mendorongnya pelan memasuki rumah sedangkan dibelakangnya Nadiya mengekor. Karena kondisi Bergas yang belum memungkinkan untuk naik turun tangga, jadi Tio sudah mempersiapkan kamar tamu di lantai satu sebagai kamar sementara Bergas. Setidaknya sampai Bergas bisa berjalan normal lagi.

Demi kenyamanan Bergas, Tio sampai merenovasi kamar tersebut menjadi semirip mungkin dengan kamar Bergas. Mulai dari catnya, lampu, sampai layout kamarnya. Untuk kamar mandi juga didesain ulang agar lebih safety untuk kondisi Bergas sekarang dengan dipasang grab bar stainless steel di beberapa sisi sebagai tumpuan pegangan.

"Sementara kamar Bergas di sini dulu ya? Nanti kalo kakinya udah kuat baru pindah ke kamar yang di atas." Ujar Nadiya sambil membukakan pintu kamar baru Bergas.

"Gak apa-apa, kan?" Kali ini Tio yang bertanya. Ia kini sudah berjongkok di depan Bergas dan menggenggam tangan Bergas.

Bergas tersenyum, "Bisa pulang ke rumah ini aja aku udah bersyukur, pa ..."

Ini senyum tercerah Bergas semenjak kejadian itu. Tio juga sangat bersyukur. Saat dokter memberitahukan jika Bergas sudah bisa rawat jalan, diam-diam Tio pergi ke masjid rumah sakit. Ia bersujud sambil menangis mengucap syukur.

"Yaudah sekarang kamu istirahat ya, mama mau buat makan siang dulu. Any request?"

"Ayam gulai." Jawab Bergas.

"Sayurnya?"

"Ga mau sa-

"Harus makan sayur!" Tio langsung menyela. Dari kecil Bergas memang tidak terlalu suka sayur, tapi Tio dan Nadiya tidak pernah menormalisasi itu. Meskipun sedikit, mereka selalu membiasakan Bergas untuk makan sayur. Ya meski tak jarang harus dengan sedikit paksaan, seperti sekarang.

Bergas menggerutu, "Buncis bawang putih."

"Oke! Mama buatin versi paling enak di dunia." Nadiya langsung melangkah pergi meninggalkan Bergas bersama Tio di kamar. Tak sedikitpun merasa lelah, benar-benar baru sampai langsung  memasak. Padahal selama di rumah sakit, baik Nadiya maupun Tio tidak pernah bisa benar-benar beristirahat.

"Ayo sini papa bantu." Tio hendak membantu Bergas untuk naik ke kasur agar anak itu segera istirahat, namun Bergas malah menolak.

"Pa, masa baru nyampe langsung disuruh tidur si ..." Bergas protes.

Tio langsung berkacak pinggang, "Ya trus kamu mau ngapain?"

"Ya ngapain kek. Ini juga kenapa pake kursi roda. Kruk nya mana? Aku mau pake kruk aja."

Sa Bergas Where stories live. Discover now