[47] Dipertemukan

2.3K 329 49
                                    

Cahaya matahari langsung menerobos masuk kala Nadiya membuka gorden kamar rawat Bergas selebar mungkin. Cuaca pagi sedang cerah-cerahnya berhias riuh klakson kendaraan di jalanan yang ramai, didominasi oleh budak korporat.

Cerahnya cuaca sedikit menggambarkan suasana hati Nadiya, wanita itu berjalan dengan senyum merekah menuju meja untuk menyiapkan sarapan sang anak. Ini hari ketujuh Bergas dirawat, setelah melewati cukup banyak drama naik turun kondisinya, bisa dibilang kondisi Bergas hari ini sangat baik dibandingkan hari-hari sebelumnya. Kemarin selang NGT sudah dikeluarkan dari hidungnya, sedikit demi sedikit ia sudah bisa makan makanan padat dengan tekstur lembut.

"Kamu makan bubur sum sumnya aja ya, dek. Biji salaknya jangan dulu, tanya dokter dulu ya, nanti." Ucap Nadiya seraya menyiapkan bubur sum sum buatan bunda yang baru diantarkan oleh Mang Didi. Semalam saat Ayu dan Adhi berkunjung, Bergas mengatakan ingin makan bubur sum sum buatan Ayu. Tapi sebenarnya Nadiya tidak berekspektasi jika ibu mertuanya itu akan membuatkannya di pagi-pagi buta seperti ini. Definisi demi cucu rela bangun subuh hanya untuk membuat bubur.

"Eh, bisa gak?" Nadiya yang sudah membawa semangkuk kecil bubur, berderap cepat saat Bergas berusaha duduk. Takut anaknya itu perlu dibantu.

"Bisa." Sahut Bergas walaupun sambil meringis. Hari ini Bergas merasa tubuhnya jauh lebih segar, tidak selemas kemarin-kemarin. Ditambah tadi Nadiya sudah menyeka tubuhnya, memakaikan body lotion dan parfume. Setelah ini Bergas akan menggencarkan rengekannya untuk meminta pulang ke rumah karena sudah merasa sangat sehat.

"Mau makan sendiri apa disuapin?" Tanya Nadiya setelah memastikan Bergas duduk dengan nyaman.

"Sendiri aja."

Nadiya tersenyum, senang melihat anaknya terlihat sudah jauh lebih baik persetan dari suara serak dan wajahnya yang masih pucat.

"Pelan-pelan, ya makannya." Nadiya meletakkan semangkuk kecil bubur sum-sum dengan biji salah yang disiram saus gula merah itu di atas overbed table di hadapan Bergas.

Bergas mengangguk, ia nampak antusias langsung meniup-niup bubur yang masih mengepul itu. Tangan kanannya memegang sendok, dalam hatinya sedikit merutuki tangan kirinya yang mendadak bengkak sehingga infusnya terpaksa dipindah ke tangan kanan.

"Enak, ga?" Tanya Nadiya penasaran.

Dengan mulut yang sedang mengunyah pelan biji salak yang sepertinya sengaja dibentuk dengan ukuran lebih kecil dari normalnya itu, Bergas mengangguk. Sebenarnya Bergas merasa ada yang berbeda dari rasa bubur tersebut, bukan tidak enak tapi seperti ada yang kurang.

"Enak, tapi kaya ada yang beda. Apa ya ..."

Nadiya mengibaskan tangannya di udara, "Halah, perasaan kamu aja. Itu karena mulut kamu kelamaan ga ngunyah makanan."

"Iya, kali ya."

Melihat wajah polos anaknya Nadiya ingin sekali tertawa, tapi ia tahan. Jelas rasa buburnya sedikit berbeda karena Nadiya sengaja tidak mencampurkan santan, hanya saus gula merah, itupun sedikit. Santan mengandung tinggi lemak yang membutuhkan waktu lebih lama untuk dicerna dan mengharuskan lambung memproduksi lebih banyak asam lambung. Jelas bukan makanan yang baik untuk lambung Bergas yang baru saja pulih.

"Papa, mana? Pagi-pagi udah ngilang. Bukannya ini weekend, ya?" Bergas celingukan mencari keberadaan Tio, pasalnya sejak bangun tidur Bergas belum melihat wajah papanya itu.

"Ada urusan bareng Om Dava, nanti siangan juga balik."

"Uhuk!" Bergas terbatuk di tengah-tengah menikmati sarapannya.

"Minum ..." Segera Nadiya menyodorkan air minum pada Bergas. Dia sedikit was-was saat Bergas berbatuk, dia takut Bergas malah muntah.

"Udah deh, ma. Kenyang." Bergas mendorong mangkuk yang belum kosong itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 28 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sa Bergas Where stories live. Discover now