Aduan Tangis

15 2 0
                                    

"Tuan putri...."

Itu suara Sofia membangunkanku, dan aku bangun lalu menyadari ada sesuatu yang berbeda.

"Hari apa ini, Sofia?" tanyaku memastikan sembari memintanya mengambilkanku air yang tersedia di meja kecil kamarku. Aku takut kembali pada hari ketika aku bangun.

"Sehari setelah Anda berulang tahun kemarin tuan putri."

Rasanya ingin menguraikan air mata terharu, karena aku berhasil melewati hari kemarin. Namun, itu tidak boleh. Aku masih tidak tahu hal-hal yang dapat membuatku kembali bangun di pagi hari ulang tahun ke-10ku.

Setelah itu, aku ditemani Sofia untuk mempersiapkan diri dan aku berencana menemui Willy yang katanya mengikuti kelas berpedang bersama kakak-kakak yang lain.

Mereka ternyata pergi ke tempat latihan yang agak jauh dari istana bagian ratu. Ya, aku tinggal di istana ratu sebagai satu-satunya putri kerajaan. Berbeda dengan kakakku Willy yang tinggal bersama Ibu. Aku di sini tinggal bersama kak Johan dan yang Mulia ratu. Pangeran Ernest sendiri tinggal di istana raja.
Aku tidak mengerti mengapa kami harus tinggal terpisah-pisah seperti ini, ketika seharusnya kami bisa bersama di istana yang megah ini.

Sofia tidak ikut denganku--ia bisa dibilang cukup tua bila disuruh mengikutiku, hanya dua pelayan pribadiku yang mengikutiku pergi ke tempat latihan.

Di sana aku melihat kak Willy tengah duduk dan meminum air di bagian dingin yang tidak terkena cahaya matahari. Rambut silvernya yang mencolok sama sepertiku sedikit kusam karena debu-debu yang menempel padanya. Namun, ketika aku datang dan membersihkan rambutnya ia masih enggan menatapku karena melihat kesengitan kak Johan dan Pangeran Ernest duel dengan pedang kayu mereka.

Badan kak Johan yang harusnya lebih muda 2 tahun dari pangeran Ernest membuatnya terlihat mendominasi di duel pedang itu. Ia lebih besar dan gagah dari Pangeran Ernest.

Dan aku terhanyut dengan suasana menegangkan itu sampai kak Johan akhirnya berhasil memukul pedang kayu Pangeran Ernest hingga terlepas dari tangan.

Seorang pelatih berusaha menghentikan mereka ketika pangeran Ernest hendak memukul Kak Johan dengan tangan kosong. Aku ikutan panik dan akan berlari ke mereka tetapi tanganku dihentikan oleh kak Willy yang akhirnya menyadari keberadaanku.

Ia menyuruhku untuk diam di tempat dan menghampiri pangeran Ernest yang menatap tajam dan seakan berteriak marah meski bibirnya diam dengan pukulan tangannya.

Aku tidak tahu apa yang dilakukan kak Willy, ia kemudian menjabat tangan yang digenggam kuat oleh pangeran Ernest dan memegang bahunya.

Perlahan tetapi pasti, ekspresi memerah pangeran Ernest memudar, dan ia yang kesal menghempaskan tangan kakakku dan pelatih tua mereka. Ia kemudian pergi dari tempat latihan prajurit yang sepi ini dengan diikuti pengawal pribadinya.

Sekarang, jadi aku yang kesal.

Kenapa tidak kak Johan aja sih yang jadi putera mahkota.

Yah, meskipun 7 tahun lagi aku akan mendengar kabarnya yang tewas di garis depan.

Dengan kekikukan kak Willy yang khas, ia kemudian mendatangiku lagi. Kak Johan juga datang bersamanya dan duduk di bagian dingin tempat kak Willy duduk tadi.

Kak Willy menanyai urusanku kemari. Namun, aku tidak mengatakan apapun dan langsung memeluknya. Kak Willy berusaha melepaskan diri dariku.

"Minnie, aku berkeringat dan kotor sekali. Tolong jangan peluk aku."

Namun, aku tidak mengindahkannya yang hanya mengenakan kaus biasa yang berkeringat parah ini. Aku hanya merasa ingin memeluknya setelah banyak hal yang terjadi padaku.

Don't Cry, WilhelminaTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon